11.26.2012

Manusia (tidak) bertopeng.

Manusia pagi tak seramah pancaran sinar pertama matahari.
Mereka adalah paradoks dari gradasi cahaya itu sendiri.

Ibu-ibu bertubuh gemuk cemberut dimuka pintu rumahnya.
Tanpa sapa atau basa basi untuk ucap selamat pagi.

Menyusuri jalan untuk membeli semangkuk bubur kacang hijau,
lelaki bermotor merah melambatkan lajunya, memutar balik arah dan mengikuti langkahku pergi.
Bersiul menjijikan.
Rendahan, seperti biasa sejenisnya bertingkah.

Disebuah warung yang benderang dan tak remang,
lagi-lagi tingkah polah tetap rendah,
mata-mata yang memandang seperti ingin menelanku bulat-bulat
seperti menembus berhelai lapis sandang,
apalagi jikaku benar-benar telanjang?

Pemilik warung benderang yang pongah pun ikut ambil bagian,
permintaan serba ditiadakan,
satu penawaran dianggap seribu beban.

Pagi ini aku menemukan manusia-manusia yang belum sempat mengenakan topengnya.
Paradoks dari gradasi cahaya matahari,
tanpa topeng dipangkal pagi.





05.25 a.m

11.15.2012

Gloomey.

Menyembah bayangan dan siluet yang tak terdefinisi bahkan oleh ilusi.
Lalu menari dipekuburan.
Menjejak nisan tak bernama.
Dari leher yang terkulai pasrah ditali.
Selamat melangkah dari dunia penuh piksel ke dunia monokrom.




Poetry  : Jayu Julie
Draw   : Gelar Agryano Soemantri

11.11.2012

Kota yang Didekap Sunyi.



Colaboration :
Poetry : Jayu Julie
Foto    : Adnan Roesdi
Design : Rukii Naraya

11.08.2012

Belanja Kelamin*

Semalam tadi ia sang robot tak bermesin tanpa telinga kehabisan pelumas pada putaran geriginya, 
berlari ia ke supermarket seberang dan membuka pintu hingga engsel saling beradu,

ngik ngik ngik,

sisa pergumulan semalam dengan pelacur hylozoist membuatnya kehabisan tenaga,
dilucutinya harga diri dari yang tak lagi berharga

ia memiliki pelumas tapi ia tak memiliki kelamin
maka ia ingin membeli pelumas dan kelamin

ia ingin kelamin

di supermarket ini ia melihat kelamin digantung dimana-mana
berbagai kemasan terdisplay sesuai harga

ia ingin kelamin

ia ingin kelamin yang tak harus lagi dirangkai secara manual
tapi pelumas terlanjur mengering dan ia pun tersengal.

Lalu jatuh teronggok menjadi rongsok.





18 September 2012
*salah satu kumpulan teks untuk Antologi #Batpoet dan lirik lagu proyek kolaborasi dengan Gilang TP.

11.05.2012

Sekantung delusi di kantong kresek.



Sekantung delusi, mengobrak-abrik pagi./Air dari bola mata yang berkaca dan seuntai doa, untuk namaNya yang tak lagi disebut dengan takzim./Sajian dehidrasi./bermiligram dari sebutir untuk sarapan panjang dihari yang singkat./

Berapa yang sudah terselesaikan?/Dari berbagai tawaran majemuk./dari agresi rudal beberapa pesawat jet tempur berbeda./memborbardir labirin kesadaran./terselesaikan sampai akhir atau hanya sekedar euforia?/

Saat seorang ayah dengan airmuka lesu dan murung,
mengenggam boneka jerapah yang telah lusuh,
saat seorang lelaki yang keyakinannya telah hilang,
membuatkan lagu dengan sendu tanpa judul.

Saat yang lain hanya tahu bahwa mainan serupa jam tangan,
saat yang lain tahu bahwa fraktal hanya sekedar pecahan geometris,
saat yang lain hanya tahu tentang sepatah kata diungkapkan tanpa makna yang berarti,
disaat itu pula pecahan-pecahan alterego mulai berebut ambil posisi.
didalam sini dengan oase serotonin yang kadang mengering dan kadang meluap.

Karena berhala-berhala kini lebih bernyawa,
membaur menjadi manusia-manusia hylozoist,
masing-masing meyakini bahwa mereka berada ditangga paling atas,
atau setidaknya lebih atas...

Tak pernah ada penjara yang pantas untuk mengurung seorang kriminal yang diakui sebagai manusia baik dikoloninya.
Walaupun ia telah membunuh orang yang paling menyayanginya.
Walaupun ia telah-hampir melenyapkan nyala api yang kecil pada sebatang lilin kehidupan.




5 Movember 2012


10.30.2012

Segitiga.



Seorang residivis yang divonis hukuman mati kabur dari tahanan, lari ke hutan dan tersesat hingga dehidrasi.
Tiga hari terkapar di atas dedaunan kering. Luka yang memborok, pandangan yang kian kabur.
Dalam hati ia berdoa, "Tuhan, utuslah seseorang untuk menolongku. Tolonglah aku dengan caraMu"
Tapi hatinya yang lain sangsi atas apa yang ia minta.
"Ya, terserah cara-Mu."

Saat senja, seorang gadis kecil menghampiri, residivis bersorak dalam hati.
Dalam bias pada retinanya, gadis kecil itu seperti malaikat tak bersayap.

Kini mereka dalam jarak hanya 3 langkah.
Residivis tersenyum pada gadis kecil, "terpujilah malaikat penolongku."
Gadis kecil tersenyum pada residivis, berkata dalam hati,

"Malam ini kami akan makan daging. Akhirnya."

10.26.2012

Tentang 'Kanibal'.

Tepat pukul 4 sore, saat kopiku telah setengah cangkir lagi, saat bau sate mulai menguar dari dapur, dan saat Kurt Nyobain menunjukkan durasi 3 jam lebih 14 menit, akhirnya Kanibal-ku rampung. Menyelesaikan tulisan yang tak seberapa itu -buatku- ternyata membutuhkan waktu lebih dari 72 jam. Hingga ke titik terakhir pada paragraf terakhir, tanpa footnote. Itu belum termasuk penundaan dan jeda panjang atas alasan mood swings yang selalu memenangkan kendali.

Kanibal harusnya untuk 11 November-ku. Panjangnya hanya 1500 kata. Dengan pergantian judul sebanyak 9 kali, dan skripsiku sendiri berganti judul sebanyak 7 kali.

Kanibal bercerita tentang... atau menceritakan tentang... 
Entah apa yang mungkin disebut Sapardi sebagai tulisan yang terlalu emosional. Yang konon katanya beliau sendiri jika menulis selalu tanpa emosional. Bagaimana bisa?? Jika sepenggal sajaknya saja bisa menjadi begitu fenomenal dan melekat kuat dibenak para pendayu-dayu!

Kanibal ini...
Mungkin terlalu berlebihan jika aku menulis 1500 kata saja dengan menghabiskan beberapa hari. Karena yaa seperti disebut di awal, tulisan ini terlalu melibatkan ke-emosional-anku. Hingga mungkin sama sekali tak ada humor didalamnya kecuali sarkasme yang terkesan dipaksakan. Seolah-olah tulisan ini adalah tulisan terakhir seseorang yang sebentar lagi bunuh diri. 

Bagaimana rasanya menjadi penyendiri yang menyukai rasa sakit?
Ketika orang lain membaur dalam euforia kebebasan, ia sendiri malah mencari lautan nestapa untuk tenggelam dalam paradoks euforia itu. 
Ketika hidupnya dia bungkus dalam kotak monokrom,
Buku-buku di rak ia ganti menjadi pion-pion catur yang diletakkan secara acak.
Ketika ia lebih senang melihat ikan yang telah mengapung dengan perut yang menggembung di akuarium.
Dan ketika ia mulai merasa bosan, ingin sesuatu yang segar..... seperti daging.
Daging merah yang berkebalikan dengan dunia monokrom-nya.

Kanibal buatku seperti...
Seperti berlibur ke-lautan metafora. 
Dimana kita bisa tenggelam dan mengapung,
sesuai kadar garam untuk memerihkan luka.



Penghujung Oktober,
gelap gulita di Phantasmagoria.

*Pengantar tulisan ke 8, antologi 'Sirkus Alterego'

8.18.2012

#4 Gerbong.

Ada yang berteriak didalam sini, di rongga sebelah kiri. Ada letupan yang mendesak keluar, seperti ingin menyemburkan lava panas kapan saja.
Kata seseorang yang dekat denganku, yang telah menemaniku selama hampir dua tahun, berjalan bersamaku seperti memelihara anak macan. Bisa jinak kapan saja, bisa buas kapan saja. 
Berbicara denganmu lebih sulit daripada berbicara dengan Tuhan, katanya. 
Selama hampir dua tahun, aku tidak bisa benar-benar mengenalmu. Kamu bisa menjadi kekasihku yang sangat manis, tapi sewaktu-waktu bisa menjadi musuh besar, lalu sewaktu-waktu bisa juga menjadi teman yang paling setia, ataupun oranglain yang tidak pernah kenal sebelumnya, katanya.
Itu semua ia katakan jauh sebelum aku memutuskan untuk mendatangi seorang terapis.
Aku menyangkal ketika terapis bilang aku terkena gejala bipolar disorder.
Aku tertawa, meledeknya.
Ketika menjalani serangkaian tes membosankan itu, ternyata banyak ceklis tercentang.
Aku memandang wajah terapis itu penuh curiga. Aku?
Aku tidak depresi. Aku tidak sakit jiwa. Aku hanya seseorang yang datang dari Mars dan masih merasa kesulitan beradaptasi didunia sini. Ia menggeleng pelan, sambil tersenyum.
Aku memalingkan muka lalu melempar raut penolakan. 
Aku pulang dengan getir. 
Untuk rasa ketidakpercayaanku yang selalu aku pertaruhkan, aku percaya bahwa terapis itu hanya membuat lelucon demi uang konsulnya.
Aku menatap pergelangan tangan kiriku yang terdapat 6 garis tipis yang sebelumnya masih basah oleh sel darah merah.
Aku sudah bilang padanya, ini bukan menyakiti diri sendiri, tetapi ini adalah mengenalkan rasa sakit pada diri sendiri.
Aku mencibir istilah-istilah konyolnya yang sama sekali tidak kumengerti.
Tentang dopamine, serotonin, atau deretan konsonan yang membacanya saja susah, apalagi untuk mengingatnnya.
Tapi tiba-tiba aku teringat ia yang telah menemaniku selama hampir dua tahun.
Yang perkataannya hampir sama dengan diagnosa sang terapis, walaupun dengan bahasa yang sangat lebih sederhana. 
Ia bukan mendiagnosa, melainkan 'merasakan dengan nyata'.
Didalam komuter, aku memandang manusia. 
Adakah diantara kalian yang sama denganku? Lompat dari planet Mars dan sampai disini melalui mesin waktu?
Mungkin ada beberapa bagian partikel yang hilang ketika organ dipecah sinar gamma, sehingga aku menjadi begini.
Ternyata mereka disini menyebutnya bipolar disorder. 
Padahal mereka tak pernah merasa, bahwa sesungguhnya kita dilempar dari Mars oleh semesta.

***



Ujung tusukan sembilu serdadu.
Teruntuk, G.A.S dan AnurahmaJulia.














8.14.2012

#3 Dari Mars ke Phantasmagoria.

Benjamin Franklin pasti selalu tersenyum setiap melihat cermin.
Dan aku selalu terhipnotis untuk masuk lebih dalam ke Phantasmagoria.
Jauh dari Mars yang penuh ilusi, Phantasmagoria justru penuh delusi.
Disinilah si semut merengkuh gula menguntitku ke dunia mana saja.
Aku teringat dengan jalan yang kemarin aku lalui untuk menuju kedai kopi. Jalan yang sepi, sunyi dan bau pesing dimana-mana. Sebenarnya, masih ada jalan lain yang lebih manusiawi untuk dilewati. Ia begitu benderang, dengan banyak lampu bahkan di titik-titik yang tak perlu. Tapi aku benci terang, dan menyukai temaram. Aku benci terang yang menunjukkan semua bentuk wujudku, raut mukaku yang skeptis dan membosankan, atau gerak gerikku yang selalu salah dipusat sendinya. Aku berdiri menghadap bentangan jarak didepanku yang sebentar lagi akan kulewati. Aku melangkahi Mars, dan disini Phantasmagoria kucipta.

Satu langkah,
aku menjejak dengan santai tanpa takut bayanganku terinjak. Disini tak akan ada refleksi diri dalam bentuk apapun. Dan aku dengan senang hati rela untuk tak melihatnya.

Dua langkah,
aku tak perlu takut meninggalkan yang sudah kulewati dengan ayunan langkahku. Disana tak akan terlihat apa-apa, bahkan walau mataku mengernyit sampai ngilu untuk menangkap piksel yang nyata.

Tiga langkah,
Bau busuk ini tetap membuatku fokus untuk menetralisir kenyamanan yang sering membuai. Kenyamanan yang bisa membuatku merasa aman dan lupa bahwa banyak anjing jalanan disudut yang kerap mengintai dengan licik. Bau busuk ini menjagaku dan menjadi pondasi benteng curigaku.

Empat langkah,
Yang didepan, yang temaram, adalah tujuan dari semua kepasrahan yang kurenda. Jalan busuk ini adalah dunia Phantasmagoriaku. Ketika aku menyadari bahwa gelap tidak selalu dingin dan beku. Bahwa gelap membantuku bersembunyi dan melarikan diri dari kepengecutan yang membombardir. Oh tidak, aku tidak melarikan diri, tapi aku menyelamatkan diri.
Ketika aku tengah membenci terang, gelaplah yang memberi buaian dalam gendongan.

Phantasmagoria yang menyuguhkan paradoks dalam monokrom untukku. Ia tercipta karena cermin, tapi aku benci terhadap refleksi. Pantulan yang terkadang palsu dan raut protagonis yang hanya ada di atas panggung, senyum senyum senyum, jilat jilat jilat, tinggi tinggi tinggi. Dan buaran warna yang hanya hitam dan putih, seperti papan catur dan si aku yang selalu berharap mendapat posisi menjadi sang ratu yang dinamis. Si aku yang selalu dalam konteks yang-mengharap-belas-kasihan-untuk-bergerak-bebas dari si semut perengkuh gula.

Phantasmagoria,
dimana aku bersenggama dengan delusi, kubuat nyata tanpa refleksi
Cermin kupecahkan, lampu kupadamkan
Dan matahari kuning telah ku benci
Dari Mars aku melangkah ke Phantasmagoria
mencipta dunia yang kudamba,
tak peduli bahwa aku telah ditinggalkan realita.

#2 Kopi Antagonis

Semalam, pukul 11, aku menyeret langkahku ke kedai kopi di seberang rumah mukimku.
Pintu berderit ketika kubuka, barista menyambut dengan senyum yang terlalu lebar.
Untuk orang seskeptis diriku, senyuman-senyuman itu menjadi basi. Basa yang basi. Mereka yang terkonstruksi untuk memberikan senyum palsu pada orang yang mau bersimbiosa dengan pundi mereka. Untuk kali ini aku menaikkan daguku dan melengkungkan bibirku kebawah.
"Ekspresso." Ujarku dengan nada memerintah, bukan meminta. Dalam hati aku tersenyum menang.
Barista mengangguk dan tentu saja tak akan pernah acuh dengan gestur kesombonganku barusan. Aku tak peduli. Kepuasanku adalah ketika orang-orang palsu tadi harus tetap memberikan senyum palsunya walaupun pada yang tak ramah.
Aku memilih bangku disudut dalam yang posisinya kelihatan paling tidak kaku. Konsep interior kedai ini sungguh aneh. Bangku-bangku itu terasa lebih cocok ditempatkan di perpustakaan daripada di kedai kopi yang harusnya dibuat hangat. Rak-rak buku yang mungkin awalnya dijadikan untuk pemanis ruangan malah terlihat seperti 'pengeroyok' ketenangan yang kayunya terlalu menjulang. Tembok disenadakan dengan warna suguhan utama dikedai ini; coklat, krem dan hitam. Dibuat seolah-olah menegaskan bahwa tempat ini mau bagaimanapun adalah kedai kopi. Bangku berwarna kopi. Meja berwarna kopi. Tirai berwarna kopi. Dan barista yang tersenyum terlalu lebar dengan senyum kopi-nya, manis yang terlalu manis dan pahit yang terlalu pahit. Bukankah lebih baik ruangan ini disentuh warna sebaliknya? Warna terang atau pastel, yang membuat suguhan utama disini menjadi masterpis bagi maestro dan penggemarnya. Interior ruangan ini membuatku seperti dipaksa menceburkan diri ke lautan kopi.

Selera yang sangat payah.

Tapi yang paling payah adalah orang yang secara sadar memilih tempat yang berselera payah ini.
Waitress datang membawa pesanan dan memutus sesi penilaianku terhadap ruangan ini.
Aku hanya meregangkan bibir dan menaikkan alis seperlunya ketika perempuan itu menaruh ekspresso-ku di atas meja. Ia tersenyum dan berlalu, tetap dengan senyum basa basinya.
Seusai cangkir tersuguhkan, moodku perlahan naik menjadi setengah nyaman. Aku menatap refleksiku dipermukaan cairan hitam pekat. Bulat disana, dengan mata, hidung dan bibir yang saling berkerut. Ekspresi ekspresso. Selalu pahit dan beku. Kafein keras itu hanya memenuhi seperempat dasar cangkir, tapi pahitnya sudah menusuk pangkal penciuman. Aku menghirupnya dalam-dalam dan impulsif. Sebelum akhirnya lidahku berteriak untuk meminta haknya mengecap. Penciumanku mengalah.

Ekspresi ekspresso.
Rasa kosmik yang datangnya dari planet selain Mars.
Membuat kontradiksi antara perasa dan perasaan; pahit tapi membuat kepuasaan.
Seperti orgasme dengan semesta.
Rasa getir ini menghinggapi tulang rusuk, menjalari takut menjadi lumat.
Menggandakan detak jantung hingga posesif.
Tak lagi mempertanyakan, haruskah aku menjadi protagonis palsu?
Merenda hidup dengan banyak vokal untuk meraih lebih banyak,
lebih tinggi,
menjadi konsumtif penyembah kotak pandora.
Menyergap dilema, dan membelok lebih jauh.

Aku menyesap pahitnya dari ujung lidah sampai pangkal lidah. Respon otak menggerakkan kerutan dikening dan kerongkongan yang memberontak atas citarasa yang terlalu memelintir. Satu koma dua miligram kafein hanyut dilebur darah, diremas aliran yang kian deras dan memompa jantung menjadi agresif.

Inilah citarasa antagonis yang agung.
Pahit, sedikit getir, dan memberontak.

#1 Semut merengkuh gula.

Sudah pukul setengah tiga pagi.
Cairan gelap di cangkir. Ampas kafein membentuk mozaik abstrak di atas meja. 

"Saya tidak sedang berusaha membuat anda takut, saya hanya mengingatkan anda untuk berhati-hati dengan saya."

Aku membalik kertas dengan gontai, tarikan nafas enggan sinkron dengan rongga dada yang masih tolerir.
Masa lalu sejahat itu, masa lalu menderu membabi buta.
Masa lalu menerjang aku yang takut menyambut perubahan. Atau justru yang membuatku berubah menjadi takut?
Aku beranjak dari tempat tidur dan menyibak tirai. Hari belum menjadi bunga, masih kuncup dipeluk pekat. Tapi aku membayangkan seolah matari sudah tergantung di ujung timur. Menggelantung cantik dengan oranye keemasan yang berangsur menjadi kuning garang.
 Matahari, kenapa kamu tak berwarna ungu? Biar langit jadi sendu, biar tanah jadi berwarna abu.
Bukankah ungu adalah warna yang paling jarang ditemui di semesta ini, jadi mengapa kamu tak berwarna ungu saja, matari?
Kepalaku berat seperti habis dihantam martil. Padahal aku hanya menghabiskan larutan kafein, bukan alkohol.
Apa yang membuatku selalu terbangun dengan rasa lelah?

Bagai semut memeluk gula, direngkuh kuat wujudnya, dihisap habis manisnya.
Masa lalu menjadi semacam lintah yang menempel permanen di pembuluh darah.

7.27.2012

Menarilah jauh ke udara. *


Halkie talkie jalur hampa udara,

krsssk krrssssk krrssssk
'Disana siapa? ganti.'

krrssskkk krrsssk krrsssk
'Bisa kamu kirim oksigen? Atau hidrogen? Persediaan disini menipis karena dimakan aura negatif. Ganti.'

krsskkk krrsssk krrssssk
'Heiiiii...... Cepat jawab!'

krssssk krssssk krrrrsk
'Kamu membiarkan saya mati?'

bip.
'Akh, akhirnya menyambung juga.. Aku ketakutan! Ganti.'

'Kamu, meminta tolong , atau memberi perintah?'
bip.


***



Judul: *petikan lirik lagu 'sepasang kekasih yang pertama bercinta di luar angkasa'

7.26.2012

7.23.2012

Dari kicauan. @astutismekdon


"Berulangkali kubilang, jangan sedih. Tidak, aku tidak sedih, hanya ingin tidur dalam waktu lama."

"aku bosan dengan ritme playlist ini. Sebentar saja, ingin tidur lebih lama. Walaupun tidak menutup mata, krn ketenangan bukan di netra."

"Dari rangkaian frasa, coba coret kata 'tangguh'-nya. Sekali-kali, ingin berbaring dan menghindari bising."

'Boleh aku istirahat sejenak? Jika kau bilang tidak boleh, jangan lagi berteriak, berbisiklah dengan lirih. Aku masih mau mendengar."

Selatan, 16.29

7.09.2012

Drama Televisi.

meteor dari Mars

Semua dikemas seperti drama televisi. Memandang aneh pada yang tidak mengikuti. Berjalan sendiri tanpa mau menepi. Menutup tirai, menutup celah, tapi selalu ingin dimengerti. 

6.27.2012

KOPI episode 1

Kopi ternyata jahat, dan pantas jadi penjahat.
Karena segelas kopi bisa menjadi harapan.
Menjadi salah dan tidak boleh, karena menaruh sakral tidak pada tempatnya.
Melalui kopi jadi asik berbicara tanpa vokal.
Melainkan lebih takzim dan membuai.
Kopi,
Tidak sengaja jadi antagonis.

***
Diposkan di je-julie.tumblr.com pd tanggal 19/04/2012

6.26.2012

H-6 "alien menari alien"


Aku sedang menari dengan diriku sendiri
Dilantai dansa tanpa musik aku memutar kakiku dengan ketukan
Lalu kamu menghampiri dan bertanya,
'apa yang sedang kamu lakukan?'

Ambil saja kostum yang sama disana, 
lalu menari bersamaku seperti alien
dan kamu pun akan tahu,
apalagi kau bilang kamu menyukai keanehan

Lalu tunggu apalagi?
bukankah kita bertemu dalam suatu keanehan,
ambil kostum yang sama disana,
lalu menari bersamaku seperti alien
kita lakukan kebodohan bersama,
karena tidak ada yang lebih bodoh daripada tidak melakukan kebodohan

menari seperti alien,
menari dengan diri sendiri
yang kamu ikuti dengan senang hati.


***

haminenam, 27/6/2012
berdendang dan berdansa dengan diri sendiri. 



6.24.2012

H-9 'naskah drama kacangan'

Panggung berubah, kali ini menjadi panggung sederhana dengan korden warna cokelat, hangat. 
Tidak ada lampu sorot, tidak ada gemerlap lampu-lampu lain.
Iguana merayap dari dahan pohon ceri dan mengintip jendela hijau di seberang.
Disana ia menemukan senyum bulan malu-malu dari balik semak.
Senyum warna biru. Senyum hari Minggu.

01.00
Terjaga bukan karena adukan kafein, tapi karena adukan adrenalin. Mencuri-curi. Lagi.

01.14
Kali ini terlalu nakal. Mungkin sama-sama nakal. Senyum bukan lagi sebelah tangan, tapi kini saling bertukar.

01.20
Kembali ke menara. Tetapi aku gelisah. Didepan mataku ada seonggok beban yang tak memberikan senyum. Bahkan beramah tamah pun tidak. Maka aku ingin pergi, ingin pergi.

01.22
Menara menjadi sangat pengap. Tak ada panggung seperti tadi, kini panggung berganti menjadi panggung bobrok tanpa pelita. Suguhan visual yang seakan di neraka. Sekali lagi, aku ingin pergi.

01.25
Beban itu ternyata juga terbebani dengan adanya aku, ia pun pergi. Aku pun pergi, dengan senang hati.

01.30
Zat stimulan itu bukan lagi medium, idenya menjadi lebih agung daripada sekedar bergantian menyentuh bibir gelas dengan bibir masing-masing.

01.44
Aku melihatnya di satu meterku. Tetap dengan dunianya sendiri. Tahukah, aku selalu terobsesi dengan siapapun yang memiliki dunia sendiri. Obsesi itu terakhir terjadi kurang lebih dua tahun yang lalu. Dua tahun yang lalu, lalu saat ini?

02.00
A moon's smile. Lalu jika candu pada kafein ini tergantikan, harus bertanggung jawab pada siapa jika ku-terjerembab lebih jauh? Aduuh, itulah yang aku takutkan, bayanganku mendorong diriku untuk terjerembab lebih jauh, walaupun tetap, tanpa vokal dan verbal.

02.55
Posisi ini membelit, seperti ular yang lebih menyenangi belitannya daripada bisanya. Erat, erat, erat.. Candu, candu, candu.. Seperti dulu? Aku harap tidak. Yang ini lebih magis.

03.22
Aku kembali ke menara dengan langkah berat. Ia mengucapkan sebaris penutup manis, lebih manis dari gula buatan yang terdapat pada kafein yg biasa kami minum. Aku melempar senyum, tapi aku tak melihatnya membalasku. Karena aku segera berpaling dan menghilang dalam gelap. Terimakasih.

Setting berubah menjadi panggung bobrok yang redup. 
Tak ada atmosfer yang baik, tak ada warna yang bukan monokrom. Selalu monokrom dan tetap monokrom.
Beban itu kembali dan sama sekali tak melempar senyum.
Bersyukurlah karena aku sudah memprediksi ini sebelumnya, tak kubawa kehati, nanti juga akan biasa.
Disuguhkan seperti ini merupakan ujian.
Dan aku tahu, esok pagi aku akan terbangun dengan suguhan sakit hati.

Dan ternyata memang benar.

***


haminsembilan, dibawah pohon willow, didalam menara tanpa lampu.


6.21.2012

I don't like life when things get dull.

FRIDAY NIGHT SATURDAY MORNING.

Berjalan pergi dengan (tidak) mudah.



Ketika saya melihat ke dalam kelam mata anda, saya tak menemukan apa-apa lagi
bahkan untuk yang sekedar saya cari, dari kemarin
kenapa saya masih sempat bertahan,
karena saya kira anda masih menunggu
duduk tenang di ruang navigasi dan bersiap memegang kendali

Saya tidak ingin menjadi seseorang yang berjalan pergi dengan mudah
atau seperti parasit yang lupa inangnya
Banyak yang telah kita pertaruhkan, 
lalu saya dan anda sama-sama menjatuhkan senjata
dan menyerah pada ketidaksabaran

Kemarin saya sempat tumbuh berkat tangan anda,
lalu terlalu berhati-hati sehingga saya menggigit jari anda
Anda memukul saya, mengenyahkan begitu jauh

Dan saya dan anda pun sama-sama menyerah tentang kita.


6.06.2012

Panggung gemerlap akan selesai.


Secarik gambar diri, berdusta atas senyum yang telah lama menjadi mumi
Bukan lagi karena garis eyeliner atau sekepul asap tar
Goresan sketsa telah dihapuskan disana, untuk kesekian kali

Cepat atau lambat, lampu sorot dimatikan dan layar pun ditutup.

Nude Story.


“When my body and your body
Lie together under a white sheet
Your head on my arm
Your leg thrown over my leg
The whole long continent of you
The pale ridgeline of your ribcage and hip and thigh
Neighbor to me
There is nothing that needs to be explained
Or accomplished, the world is at rest and complete
And though
We drift apart in the eddies of the day
We will find our way back
To the slight hollows that mark the place
Where we lie now, astonished, saying nothing.”

- Garrison Keillor

6.01.2012

Bukan perlu mantel berbulu, tapi....


Kerongkonganku terasa sakit ketika aku mencoba menelan liur.
Aku tidak berupaya menahan liurku, karena aku tengah menahan butiran air yang lain agar tak jatuh.
Karena itu memalukan,
mungkin mataku akan basah dan memerah sehingga akhirnya mereka pun melihatnya.

Menahan rasa sedih untuk yang pertama kali, sejak beberapa tahun yang lalu.
Atas suguhan makan siang yang hambar.
Perjalanan yng melelahkan, 
dan ternyata tanah yang ku gali tidak berisi harta karun yang mereka perbincangkan.
Melainkan aku seperti menggali kuburanku sendiri.

Berharap si pengemudi adalah yang menemani nanti, tapi itu tidak mungkin.
Cukup mengagumi sampai rasa yang tak jelas ini perlahan terhabisi.
Dalam diam-diam dan rahasia pada angin yang kerap berkhianat menyampaikan.
Tak boleh lagi kujala tawa pada sesuatu yg tak boleh kumiliki.

Sudah lama mungkin aku tidak menggantungkan mantelku pada lemari itu, 
aku merasa tak aman dan tak percaya menitip harta usangku teronggok diam disana.
Tapi, sangat tak adil jika lemari itu kuabaikan karena dulu mantelku pernah dihangatkan disana.

Sambil menonton televisi aku mematung,
kopi telah mendingin sejak waktu yang lalu
genggaman membasah pada gagang cangkir yang retak.
Sudah lama tak pernah kunikmati lagi saat-saat ini,
selain kekosongan panjang dan dingin yang mematri.

Padahal layar sudah berkembang dan kemudi sudah terpasang,
Tapi aku masih diam memilih untuk tenggelam ataukah nekat kembali?
Semua seperti harga mati untuk yang tak pernah peduli.

Bukankah jarak menjadi relatif jika mengukur dengan rasa?
Mengapa masih saja kubersikeras menghitungnya dengan angka?
Imbasnya adalah ketidakpuasan yang berkepanjangan yang kurasa,
merasa tak puas diri, merasa tak percaya diri,
tapi aku malah diam dan tak mengejar dengan berlari.

Aku tidak sepenuh hati lagi.
Aku tidak memiliki apapun yang berarti.
Aku tetap sendiri walaupun bukan berarti aku mandiri.
Aku kehilangan kunci,

aku terdampar sejak lama di pulau es tak berpenghuni.







5.04.2012

Dihapuskan.


Sebutir penanda timur,
kini landung tenggelam di titik barat
Menghantar nyawa ke peti mati suri,
Menghapus jejak petang menjadi kasat.

Dari kisi karat dan membawa bayang, 
biru menuruni tangga menjadi jingga
Gradasi yang menjadi penanda,
Tentang teman sepermainan yang telah pergi

Kemana?
Sudah hilangkah jenaka dan senandung senja?
Masing-masing meniti tangga dan mengukur langkah
Menjala berlian dan permata,
tapi,
Lupa rumah, dan lupa jalan pulang.

Lalu aku ditinggal sendirian?
Dengan ayunan yang berderit pilu semacam sendu
Dan sebelum bulan digantung gagak,
foto usang telah kukubur

Disini telah hening, telah menjadi deretan tiang gantungan
Bukan lagi taman bermain yang dulu kita lukiskan.


***


Lenteng Agung, 4 Mei 2012.
Foto : Adnan Roesdi






3.18.2012

Empat puluh delapan jam, satu, dua...

Empat puluh delapan jam,
menjumpai lukisan.

Kosong,
dan mencari.

Kemana?

Obat berefek samar,
tidak menyembuhkan,
hanya membius.

Empat puluh delapan jam,

Satu?
bantal,
kopi,
kun,

Dua?
pasang,
lukisan,
lensa cembung.

kemana?

nice to......... :)


Membelok sebentar.

Hilang ingatan, setelah jatuh dan terantuk,
bahkan untuk mengingat arah pulang,
hanya tersisa tentang hangat yang mulai memudar
mungkin belum hilang, tapi akan

bukankah telah berlari amat jauh hingga tersesat
lalu bayang di genangan menjadi seraut A
menggradasi, menimpa dan melarut

dari kesamaan kalimat hampir membutakan,
dari samanya yang tergenggam, dan tautan jari,
berlari lagi makin menjauh

bukankah udara masih mengikuti, dari gemersik yang terus mengingatkan?
bahwa semua hanya liburan pendek,
untuk memulai kusut yang harus diurai

mulai menemukan ujung jalan,
dari bunyi besi ayunan tua penuh karat
seperti hipnosis,
seperti desakan,
berayun tanpa sosok, dilambung tanpa pernah tahu,
terhempas kapan?

Hampir sampai batas,
hanya gara-gara dua lukisan,
persis,
mirip,
dan menyihir.



3.15.2012

Runaway.



Like you to stay
Want you to be my prize

***

3.07.2012

em.

Aku pun belum berani,
untuk berniat memiliki lagi,,
bukankah,
sesuatu yang berharga dan langka selalu lebih indah untuk tidak dimiliki?
Agar tak ada rasa takut kehilangan,
sehingga malah memasukkannya ke kotak kaca,
dan membuatnya layu,
tidak, aku tak berani,
bahkan untuk sekedar bermimpi,
akan kupandangi saja,
kukagumi,
dan kucintai tanpa kusentuh,
hanya menatapnya kadang-kadang,
lalu kemudian merindukan diam-diam,
akan indah,
walau tak menggapai,
itu adalah langkah,
untuk mengingatkanku,
tentang artinya rasa, seperti dulu,
yang berharga memang tak harus dimiliki,
jangan lagi layu,
jangan lagi karenaku...

Selalu.

Aku menyampaikannya,
pada setiap angin yang berhembus,
dari selatan ke utara...

dan kadang hujan berkhianat,
pada awan yang menjadikannya,
lupa pada desahan amanat,
dan terbawa sampai pulang ke laut...

biarpun,
selalu terpaku pada pandangan pertama,
diujung gigir sana,
tetap membeku sampai membatu,
membuat biru menjadi abu...

aku rindu,
aku membiru,
aku meragu,
hampir terbujur...

dari mata sayumu, kutukar banyak,
dengan senyum dan sedih,
lalu menggambar dipasir,
menghapusnya,
menggambarnya,
menghapusnya,
menggambarnya,
dan giliran ombak yang menghapusnya...

Kekasih,
biar kau rindukan tugu itu tetap berdiri seperti dulu,
tidak,
semua adalah lintasan masa yang sengaja ditukar,
dengan air dari mata,
dengan perih dari hati,
dan membuatnya jadi lenyap dengan buih

dari alis tebalmu,
tempatku mengusap dan mengecup,
banyak yang kuukir di perjalanan,
dengan lengan kurusmu, kau bantu cukilanku,
merengkuh,
membuat candu untukku

tahukah,
keajaiban adalah ketika mata bertemu dan aku tertawan,
lalu kucuri start dan arus kulawan,
mengenggam gelangmu, menggoreskan eyelinermu,
tak pernah bergeser hingga sekarang
dari setiap asap yang kau hembus,
rela kutukar dengan nitrogen yang kugadai

selamat meminta maaf,
bukan di altar meminta ampun,
bukan di tiang harapan digantung,
aku selalu percaya hati yang memilih dimilikimu

aku selalu percaya hatimu,
aku selalu mencintaimu,
aku selalu merindukanmu,
aku selalu memilihmu,
aku selalu, aku selalu, aku selalu,

aku selalu tersiksa karena semua itu kurasa.



***





Untuk, selamat dimintai maaf.

2.20.2012

Merindu

Semalaman merindu, sauh yang terlepas belum juga menampakkan jarak

Sedang apa disana? Pasti kau pun sangat merindu

Masih ingat dengan permainan pareidolia kita?

Tentang kelinci-kelinci bulan?

Sejenak aku menangkap tanyamu, sedikit getir,

'mengapa kita terjauhkan dari dermaga?'

Mungkin ya, dermaga kita berbeda

Disini dermaga kita, jauh dari rimbun hutan dan pasir putih yang berkilau

Tapi dermaga kita selalu bermandi cahaya

Walau cahaya ungu bernada sendu, tapi itu bukan dari Hungaria

Itu cahayamu, cahaya yang kau suka


Semalaman merindu, merindu semua jejak yang kau buat

Segera kembali dan tantang lagi dengan berani,

tentu saja, karena kita tidak menghamba pada yang tak ramah

kita bukan orang-orang kalah


Semalaman merindu, maka kuputuskan berbincang dengan Neruda

Ia menyisipi kertas usang dan segenggam makna,

kuputuskan,

ini untukmu..

Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman,
berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!
Kereta kini melaju menembus hujan tanpa diriku.
Di Taltal musim semi belum kunjung tiba.

Tapi aku dan engkau, kasihku, kita bersama-sama,
bersama dari pakaian hingga tulang,
bersama di musim gugur, di air kita, di pinggul,
hingga akhirnya hanya engkau, hanya daku, kita berdua.

Bayangkan betapa semua bebatuan itu diangkut sungai,
mengalir dari mulut sungai Boroa;
bayangkan, betapa bebatuan itu dipisahkan oleh kereta dan bangsa

Kita harus saling mencinta,
sementara yang lainnya semua kacau, laki-laki maupun perempuan,
dan bumi yang menghidupkan bunya anyelir.

(Soneta, Pablo Neruda)


Selatan Jakarta, 21/02/2012

2.07.2012

Melancho(holic)


Murung itu sungguh indah, melambatkan butir darah...


Lalu, melancholia datang tanpa permisi, ga pake ngetuk, apalagi basa-basi..

Daripada nelangsa, kulangkahkan kaki kepersinggahan favoritku

Suasananya remang tapi bukan warung remak-remang

Banyak orang terkotak-kotak disana,

Mereka menggodaku, semua dan serempak

Keyes, King, Christhie, Sheldon, Albert, Pram, Stephany, Dee, Rusli, Muis dan lainnya mengerubungiku

Minta digoda dan dijamah

Bahkan mungkin juga minta diperkosa

Maaf, aku hanya bisa memerkosa kalian satu dulu, atau mungkin beberapa

Itu pun kalau aku kuat

"ah, tapi kamu selalu kuat."

Kata C.S Lewis, si Anglo-Irlandia

Maaf Lewis, malam ini aku tak tertarik denganmu.

Aku meraih Claudia, tapi tiba-tiba Calon Arang berteriak dari ujung sana,

"Binal!!! Aku hanya kau lirik, dasar nista!!"

Ah, si dukun itu, nantilah, kau sudah berkali-kali kubaca

Aku tetap meraih Claudia, si pasien rumah sakit jiwa yang cerdasnya tiada tara

Lalu, disana kami bercerita sambil sesekali saling mengelus punggung tangan

Aku biasa saja,

Claudia tidak biasa.

Respon tubuhnya terasa sedikit bergetar.

"Claudia, santai, aku hanya ingin kita berbagi murung."

Claudia tersenyum miring dan meredam hasratnya yang belok.


"Kalau kau murung, apa yang kau perbuat?"

Claudia memperlihatkan pergelangan tangannya, "self injury. Asik, nikmat."

Ada berpuluh goresan panjang mengerikan berwarna merah muda disana.

Aku menatapnya sok wajar, padahal dari ujung rambut sampai ujung vagina, sangatlah terasa ngilu.

"Kamu?"

Aku mengangkat bahu, "banyak. Bisa menyendiri, bisa menulis, bisa mencipta lirik lagu, bisa membenamkan kepala lama-lama di dalam bak, bisa konsentrasi membuat kentutku bersuara lebih baik.."

Claudia memutar bola matanya, "membosankan."

"Kalau kau senang, apa yang kau ekspresikan?"

Claudia bertanya tentang 'senang'.

Tahukah, yang biasa dipertanyakan seseorang adalah yang jarang mereka rasakan.

"Wajahku jadi mirip si Margareth."

Margareth si periang yang berseri.

"Hanya itu saja?"

Cemooh, sarkas, tapi penasaran.

Aku menatapnya prihatin, "Buatlah jadi merasakan."


Aku terdiam, kami terdiam.

Strawberry smootiesh tidak ikut diam, ia berteriak minta dicicip.


Inilah yang namanya menikmati murung, bagaimanapun caranya.

Malam ini hanya aku dan Claudia.



Nikmatilah saja kegundahan ini

Segala denyutnya yang merobek sepi

Kelesuan ini jangan lekas pergi

Aku menyelami sampai lelah hati


(Melancholia, Efek Rumah Kaca)