Benjamin Franklin pasti selalu
tersenyum setiap melihat cermin.
Dan aku selalu terhipnotis untuk
masuk lebih dalam ke Phantasmagoria.
Jauh dari Mars yang penuh ilusi,
Phantasmagoria justru penuh delusi.
Disinilah si semut merengkuh
gula menguntitku ke dunia mana saja.
Aku teringat dengan jalan yang
kemarin aku lalui untuk menuju kedai kopi. Jalan yang sepi, sunyi dan bau
pesing dimana-mana. Sebenarnya, masih ada jalan lain yang lebih manusiawi untuk
dilewati. Ia begitu benderang, dengan banyak lampu bahkan di titik-titik yang
tak perlu. Tapi aku benci terang, dan menyukai temaram. Aku benci terang yang
menunjukkan semua bentuk wujudku, raut mukaku yang skeptis dan membosankan,
atau gerak gerikku yang selalu salah dipusat sendinya. Aku berdiri menghadap
bentangan jarak didepanku yang sebentar lagi akan kulewati. Aku melangkahi
Mars, dan disini Phantasmagoria kucipta.
Satu langkah,
aku menjejak dengan santai tanpa
takut bayanganku terinjak. Disini tak akan ada refleksi diri dalam bentuk
apapun. Dan aku dengan senang hati rela untuk tak melihatnya.
Dua langkah,
aku tak perlu takut meninggalkan
yang sudah kulewati dengan ayunan langkahku. Disana tak akan terlihat apa-apa,
bahkan walau mataku mengernyit sampai ngilu untuk menangkap piksel yang nyata.
Tiga langkah,
Bau busuk ini tetap membuatku
fokus untuk menetralisir kenyamanan yang sering membuai. Kenyamanan yang bisa membuatku
merasa aman dan lupa bahwa banyak anjing jalanan disudut yang kerap mengintai
dengan licik. Bau busuk ini menjagaku dan menjadi pondasi benteng curigaku.
Empat langkah,
Yang didepan, yang temaram,
adalah tujuan dari semua kepasrahan yang kurenda. Jalan busuk ini adalah dunia
Phantasmagoriaku. Ketika aku menyadari bahwa gelap tidak selalu dingin dan
beku. Bahwa gelap membantuku bersembunyi dan melarikan diri dari kepengecutan
yang membombardir. Oh tidak, aku tidak melarikan diri, tapi aku menyelamatkan
diri.
Ketika aku tengah membenci
terang, gelaplah yang memberi buaian dalam gendongan.
Phantasmagoria yang menyuguhkan paradoks dalam monokrom untukku. Ia tercipta karena cermin, tapi aku benci terhadap refleksi. Pantulan yang terkadang palsu dan raut protagonis yang hanya ada di atas panggung, senyum senyum senyum, jilat jilat jilat, tinggi tinggi tinggi. Dan buaran warna yang hanya hitam dan putih, seperti papan catur dan si aku yang selalu berharap mendapat posisi menjadi sang ratu yang dinamis. Si aku yang selalu dalam konteks yang-mengharap-belas-kasihan-untuk-bergerak-bebas dari si semut perengkuh gula.
Phantasmagoria,
dimana aku bersenggama dengan delusi, kubuat nyata tanpa refleksi
Cermin kupecahkan, lampu kupadamkan
Dan matahari kuning telah ku benci
Dari Mars aku melangkah ke Phantasmagoria
mencipta dunia yang kudamba,
tak peduli bahwa aku telah ditinggalkan realita.
No comments:
Post a Comment
Pembaca yang baik, pasti meninggalkan komen, kripik dan saran..