8.14.2012

#3 Dari Mars ke Phantasmagoria.

Benjamin Franklin pasti selalu tersenyum setiap melihat cermin.
Dan aku selalu terhipnotis untuk masuk lebih dalam ke Phantasmagoria.
Jauh dari Mars yang penuh ilusi, Phantasmagoria justru penuh delusi.
Disinilah si semut merengkuh gula menguntitku ke dunia mana saja.
Aku teringat dengan jalan yang kemarin aku lalui untuk menuju kedai kopi. Jalan yang sepi, sunyi dan bau pesing dimana-mana. Sebenarnya, masih ada jalan lain yang lebih manusiawi untuk dilewati. Ia begitu benderang, dengan banyak lampu bahkan di titik-titik yang tak perlu. Tapi aku benci terang, dan menyukai temaram. Aku benci terang yang menunjukkan semua bentuk wujudku, raut mukaku yang skeptis dan membosankan, atau gerak gerikku yang selalu salah dipusat sendinya. Aku berdiri menghadap bentangan jarak didepanku yang sebentar lagi akan kulewati. Aku melangkahi Mars, dan disini Phantasmagoria kucipta.

Satu langkah,
aku menjejak dengan santai tanpa takut bayanganku terinjak. Disini tak akan ada refleksi diri dalam bentuk apapun. Dan aku dengan senang hati rela untuk tak melihatnya.

Dua langkah,
aku tak perlu takut meninggalkan yang sudah kulewati dengan ayunan langkahku. Disana tak akan terlihat apa-apa, bahkan walau mataku mengernyit sampai ngilu untuk menangkap piksel yang nyata.

Tiga langkah,
Bau busuk ini tetap membuatku fokus untuk menetralisir kenyamanan yang sering membuai. Kenyamanan yang bisa membuatku merasa aman dan lupa bahwa banyak anjing jalanan disudut yang kerap mengintai dengan licik. Bau busuk ini menjagaku dan menjadi pondasi benteng curigaku.

Empat langkah,
Yang didepan, yang temaram, adalah tujuan dari semua kepasrahan yang kurenda. Jalan busuk ini adalah dunia Phantasmagoriaku. Ketika aku menyadari bahwa gelap tidak selalu dingin dan beku. Bahwa gelap membantuku bersembunyi dan melarikan diri dari kepengecutan yang membombardir. Oh tidak, aku tidak melarikan diri, tapi aku menyelamatkan diri.
Ketika aku tengah membenci terang, gelaplah yang memberi buaian dalam gendongan.

Phantasmagoria yang menyuguhkan paradoks dalam monokrom untukku. Ia tercipta karena cermin, tapi aku benci terhadap refleksi. Pantulan yang terkadang palsu dan raut protagonis yang hanya ada di atas panggung, senyum senyum senyum, jilat jilat jilat, tinggi tinggi tinggi. Dan buaran warna yang hanya hitam dan putih, seperti papan catur dan si aku yang selalu berharap mendapat posisi menjadi sang ratu yang dinamis. Si aku yang selalu dalam konteks yang-mengharap-belas-kasihan-untuk-bergerak-bebas dari si semut perengkuh gula.

Phantasmagoria,
dimana aku bersenggama dengan delusi, kubuat nyata tanpa refleksi
Cermin kupecahkan, lampu kupadamkan
Dan matahari kuning telah ku benci
Dari Mars aku melangkah ke Phantasmagoria
mencipta dunia yang kudamba,
tak peduli bahwa aku telah ditinggalkan realita.

No comments:

Post a Comment

Pembaca yang baik, pasti meninggalkan komen, kripik dan saran..