8.18.2012

#4 Gerbong.

Ada yang berteriak didalam sini, di rongga sebelah kiri. Ada letupan yang mendesak keluar, seperti ingin menyemburkan lava panas kapan saja.
Kata seseorang yang dekat denganku, yang telah menemaniku selama hampir dua tahun, berjalan bersamaku seperti memelihara anak macan. Bisa jinak kapan saja, bisa buas kapan saja. 
Berbicara denganmu lebih sulit daripada berbicara dengan Tuhan, katanya. 
Selama hampir dua tahun, aku tidak bisa benar-benar mengenalmu. Kamu bisa menjadi kekasihku yang sangat manis, tapi sewaktu-waktu bisa menjadi musuh besar, lalu sewaktu-waktu bisa juga menjadi teman yang paling setia, ataupun oranglain yang tidak pernah kenal sebelumnya, katanya.
Itu semua ia katakan jauh sebelum aku memutuskan untuk mendatangi seorang terapis.
Aku menyangkal ketika terapis bilang aku terkena gejala bipolar disorder.
Aku tertawa, meledeknya.
Ketika menjalani serangkaian tes membosankan itu, ternyata banyak ceklis tercentang.
Aku memandang wajah terapis itu penuh curiga. Aku?
Aku tidak depresi. Aku tidak sakit jiwa. Aku hanya seseorang yang datang dari Mars dan masih merasa kesulitan beradaptasi didunia sini. Ia menggeleng pelan, sambil tersenyum.
Aku memalingkan muka lalu melempar raut penolakan. 
Aku pulang dengan getir. 
Untuk rasa ketidakpercayaanku yang selalu aku pertaruhkan, aku percaya bahwa terapis itu hanya membuat lelucon demi uang konsulnya.
Aku menatap pergelangan tangan kiriku yang terdapat 6 garis tipis yang sebelumnya masih basah oleh sel darah merah.
Aku sudah bilang padanya, ini bukan menyakiti diri sendiri, tetapi ini adalah mengenalkan rasa sakit pada diri sendiri.
Aku mencibir istilah-istilah konyolnya yang sama sekali tidak kumengerti.
Tentang dopamine, serotonin, atau deretan konsonan yang membacanya saja susah, apalagi untuk mengingatnnya.
Tapi tiba-tiba aku teringat ia yang telah menemaniku selama hampir dua tahun.
Yang perkataannya hampir sama dengan diagnosa sang terapis, walaupun dengan bahasa yang sangat lebih sederhana. 
Ia bukan mendiagnosa, melainkan 'merasakan dengan nyata'.
Didalam komuter, aku memandang manusia. 
Adakah diantara kalian yang sama denganku? Lompat dari planet Mars dan sampai disini melalui mesin waktu?
Mungkin ada beberapa bagian partikel yang hilang ketika organ dipecah sinar gamma, sehingga aku menjadi begini.
Ternyata mereka disini menyebutnya bipolar disorder. 
Padahal mereka tak pernah merasa, bahwa sesungguhnya kita dilempar dari Mars oleh semesta.

***



Ujung tusukan sembilu serdadu.
Teruntuk, G.A.S dan AnurahmaJulia.














8.14.2012

#3 Dari Mars ke Phantasmagoria.

Benjamin Franklin pasti selalu tersenyum setiap melihat cermin.
Dan aku selalu terhipnotis untuk masuk lebih dalam ke Phantasmagoria.
Jauh dari Mars yang penuh ilusi, Phantasmagoria justru penuh delusi.
Disinilah si semut merengkuh gula menguntitku ke dunia mana saja.
Aku teringat dengan jalan yang kemarin aku lalui untuk menuju kedai kopi. Jalan yang sepi, sunyi dan bau pesing dimana-mana. Sebenarnya, masih ada jalan lain yang lebih manusiawi untuk dilewati. Ia begitu benderang, dengan banyak lampu bahkan di titik-titik yang tak perlu. Tapi aku benci terang, dan menyukai temaram. Aku benci terang yang menunjukkan semua bentuk wujudku, raut mukaku yang skeptis dan membosankan, atau gerak gerikku yang selalu salah dipusat sendinya. Aku berdiri menghadap bentangan jarak didepanku yang sebentar lagi akan kulewati. Aku melangkahi Mars, dan disini Phantasmagoria kucipta.

Satu langkah,
aku menjejak dengan santai tanpa takut bayanganku terinjak. Disini tak akan ada refleksi diri dalam bentuk apapun. Dan aku dengan senang hati rela untuk tak melihatnya.

Dua langkah,
aku tak perlu takut meninggalkan yang sudah kulewati dengan ayunan langkahku. Disana tak akan terlihat apa-apa, bahkan walau mataku mengernyit sampai ngilu untuk menangkap piksel yang nyata.

Tiga langkah,
Bau busuk ini tetap membuatku fokus untuk menetralisir kenyamanan yang sering membuai. Kenyamanan yang bisa membuatku merasa aman dan lupa bahwa banyak anjing jalanan disudut yang kerap mengintai dengan licik. Bau busuk ini menjagaku dan menjadi pondasi benteng curigaku.

Empat langkah,
Yang didepan, yang temaram, adalah tujuan dari semua kepasrahan yang kurenda. Jalan busuk ini adalah dunia Phantasmagoriaku. Ketika aku menyadari bahwa gelap tidak selalu dingin dan beku. Bahwa gelap membantuku bersembunyi dan melarikan diri dari kepengecutan yang membombardir. Oh tidak, aku tidak melarikan diri, tapi aku menyelamatkan diri.
Ketika aku tengah membenci terang, gelaplah yang memberi buaian dalam gendongan.

Phantasmagoria yang menyuguhkan paradoks dalam monokrom untukku. Ia tercipta karena cermin, tapi aku benci terhadap refleksi. Pantulan yang terkadang palsu dan raut protagonis yang hanya ada di atas panggung, senyum senyum senyum, jilat jilat jilat, tinggi tinggi tinggi. Dan buaran warna yang hanya hitam dan putih, seperti papan catur dan si aku yang selalu berharap mendapat posisi menjadi sang ratu yang dinamis. Si aku yang selalu dalam konteks yang-mengharap-belas-kasihan-untuk-bergerak-bebas dari si semut perengkuh gula.

Phantasmagoria,
dimana aku bersenggama dengan delusi, kubuat nyata tanpa refleksi
Cermin kupecahkan, lampu kupadamkan
Dan matahari kuning telah ku benci
Dari Mars aku melangkah ke Phantasmagoria
mencipta dunia yang kudamba,
tak peduli bahwa aku telah ditinggalkan realita.

#2 Kopi Antagonis

Semalam, pukul 11, aku menyeret langkahku ke kedai kopi di seberang rumah mukimku.
Pintu berderit ketika kubuka, barista menyambut dengan senyum yang terlalu lebar.
Untuk orang seskeptis diriku, senyuman-senyuman itu menjadi basi. Basa yang basi. Mereka yang terkonstruksi untuk memberikan senyum palsu pada orang yang mau bersimbiosa dengan pundi mereka. Untuk kali ini aku menaikkan daguku dan melengkungkan bibirku kebawah.
"Ekspresso." Ujarku dengan nada memerintah, bukan meminta. Dalam hati aku tersenyum menang.
Barista mengangguk dan tentu saja tak akan pernah acuh dengan gestur kesombonganku barusan. Aku tak peduli. Kepuasanku adalah ketika orang-orang palsu tadi harus tetap memberikan senyum palsunya walaupun pada yang tak ramah.
Aku memilih bangku disudut dalam yang posisinya kelihatan paling tidak kaku. Konsep interior kedai ini sungguh aneh. Bangku-bangku itu terasa lebih cocok ditempatkan di perpustakaan daripada di kedai kopi yang harusnya dibuat hangat. Rak-rak buku yang mungkin awalnya dijadikan untuk pemanis ruangan malah terlihat seperti 'pengeroyok' ketenangan yang kayunya terlalu menjulang. Tembok disenadakan dengan warna suguhan utama dikedai ini; coklat, krem dan hitam. Dibuat seolah-olah menegaskan bahwa tempat ini mau bagaimanapun adalah kedai kopi. Bangku berwarna kopi. Meja berwarna kopi. Tirai berwarna kopi. Dan barista yang tersenyum terlalu lebar dengan senyum kopi-nya, manis yang terlalu manis dan pahit yang terlalu pahit. Bukankah lebih baik ruangan ini disentuh warna sebaliknya? Warna terang atau pastel, yang membuat suguhan utama disini menjadi masterpis bagi maestro dan penggemarnya. Interior ruangan ini membuatku seperti dipaksa menceburkan diri ke lautan kopi.

Selera yang sangat payah.

Tapi yang paling payah adalah orang yang secara sadar memilih tempat yang berselera payah ini.
Waitress datang membawa pesanan dan memutus sesi penilaianku terhadap ruangan ini.
Aku hanya meregangkan bibir dan menaikkan alis seperlunya ketika perempuan itu menaruh ekspresso-ku di atas meja. Ia tersenyum dan berlalu, tetap dengan senyum basa basinya.
Seusai cangkir tersuguhkan, moodku perlahan naik menjadi setengah nyaman. Aku menatap refleksiku dipermukaan cairan hitam pekat. Bulat disana, dengan mata, hidung dan bibir yang saling berkerut. Ekspresi ekspresso. Selalu pahit dan beku. Kafein keras itu hanya memenuhi seperempat dasar cangkir, tapi pahitnya sudah menusuk pangkal penciuman. Aku menghirupnya dalam-dalam dan impulsif. Sebelum akhirnya lidahku berteriak untuk meminta haknya mengecap. Penciumanku mengalah.

Ekspresi ekspresso.
Rasa kosmik yang datangnya dari planet selain Mars.
Membuat kontradiksi antara perasa dan perasaan; pahit tapi membuat kepuasaan.
Seperti orgasme dengan semesta.
Rasa getir ini menghinggapi tulang rusuk, menjalari takut menjadi lumat.
Menggandakan detak jantung hingga posesif.
Tak lagi mempertanyakan, haruskah aku menjadi protagonis palsu?
Merenda hidup dengan banyak vokal untuk meraih lebih banyak,
lebih tinggi,
menjadi konsumtif penyembah kotak pandora.
Menyergap dilema, dan membelok lebih jauh.

Aku menyesap pahitnya dari ujung lidah sampai pangkal lidah. Respon otak menggerakkan kerutan dikening dan kerongkongan yang memberontak atas citarasa yang terlalu memelintir. Satu koma dua miligram kafein hanyut dilebur darah, diremas aliran yang kian deras dan memompa jantung menjadi agresif.

Inilah citarasa antagonis yang agung.
Pahit, sedikit getir, dan memberontak.

#1 Semut merengkuh gula.

Sudah pukul setengah tiga pagi.
Cairan gelap di cangkir. Ampas kafein membentuk mozaik abstrak di atas meja. 

"Saya tidak sedang berusaha membuat anda takut, saya hanya mengingatkan anda untuk berhati-hati dengan saya."

Aku membalik kertas dengan gontai, tarikan nafas enggan sinkron dengan rongga dada yang masih tolerir.
Masa lalu sejahat itu, masa lalu menderu membabi buta.
Masa lalu menerjang aku yang takut menyambut perubahan. Atau justru yang membuatku berubah menjadi takut?
Aku beranjak dari tempat tidur dan menyibak tirai. Hari belum menjadi bunga, masih kuncup dipeluk pekat. Tapi aku membayangkan seolah matari sudah tergantung di ujung timur. Menggelantung cantik dengan oranye keemasan yang berangsur menjadi kuning garang.
 Matahari, kenapa kamu tak berwarna ungu? Biar langit jadi sendu, biar tanah jadi berwarna abu.
Bukankah ungu adalah warna yang paling jarang ditemui di semesta ini, jadi mengapa kamu tak berwarna ungu saja, matari?
Kepalaku berat seperti habis dihantam martil. Padahal aku hanya menghabiskan larutan kafein, bukan alkohol.
Apa yang membuatku selalu terbangun dengan rasa lelah?

Bagai semut memeluk gula, direngkuh kuat wujudnya, dihisap habis manisnya.
Masa lalu menjadi semacam lintah yang menempel permanen di pembuluh darah.