3.18.2012

Empat puluh delapan jam, satu, dua...

Empat puluh delapan jam,
menjumpai lukisan.

Kosong,
dan mencari.

Kemana?

Obat berefek samar,
tidak menyembuhkan,
hanya membius.

Empat puluh delapan jam,

Satu?
bantal,
kopi,
kun,

Dua?
pasang,
lukisan,
lensa cembung.

kemana?

nice to......... :)


Membelok sebentar.

Hilang ingatan, setelah jatuh dan terantuk,
bahkan untuk mengingat arah pulang,
hanya tersisa tentang hangat yang mulai memudar
mungkin belum hilang, tapi akan

bukankah telah berlari amat jauh hingga tersesat
lalu bayang di genangan menjadi seraut A
menggradasi, menimpa dan melarut

dari kesamaan kalimat hampir membutakan,
dari samanya yang tergenggam, dan tautan jari,
berlari lagi makin menjauh

bukankah udara masih mengikuti, dari gemersik yang terus mengingatkan?
bahwa semua hanya liburan pendek,
untuk memulai kusut yang harus diurai

mulai menemukan ujung jalan,
dari bunyi besi ayunan tua penuh karat
seperti hipnosis,
seperti desakan,
berayun tanpa sosok, dilambung tanpa pernah tahu,
terhempas kapan?

Hampir sampai batas,
hanya gara-gara dua lukisan,
persis,
mirip,
dan menyihir.



3.15.2012

Runaway.



Like you to stay
Want you to be my prize

***

3.07.2012

em.

Aku pun belum berani,
untuk berniat memiliki lagi,,
bukankah,
sesuatu yang berharga dan langka selalu lebih indah untuk tidak dimiliki?
Agar tak ada rasa takut kehilangan,
sehingga malah memasukkannya ke kotak kaca,
dan membuatnya layu,
tidak, aku tak berani,
bahkan untuk sekedar bermimpi,
akan kupandangi saja,
kukagumi,
dan kucintai tanpa kusentuh,
hanya menatapnya kadang-kadang,
lalu kemudian merindukan diam-diam,
akan indah,
walau tak menggapai,
itu adalah langkah,
untuk mengingatkanku,
tentang artinya rasa, seperti dulu,
yang berharga memang tak harus dimiliki,
jangan lagi layu,
jangan lagi karenaku...

Selalu.

Aku menyampaikannya,
pada setiap angin yang berhembus,
dari selatan ke utara...

dan kadang hujan berkhianat,
pada awan yang menjadikannya,
lupa pada desahan amanat,
dan terbawa sampai pulang ke laut...

biarpun,
selalu terpaku pada pandangan pertama,
diujung gigir sana,
tetap membeku sampai membatu,
membuat biru menjadi abu...

aku rindu,
aku membiru,
aku meragu,
hampir terbujur...

dari mata sayumu, kutukar banyak,
dengan senyum dan sedih,
lalu menggambar dipasir,
menghapusnya,
menggambarnya,
menghapusnya,
menggambarnya,
dan giliran ombak yang menghapusnya...

Kekasih,
biar kau rindukan tugu itu tetap berdiri seperti dulu,
tidak,
semua adalah lintasan masa yang sengaja ditukar,
dengan air dari mata,
dengan perih dari hati,
dan membuatnya jadi lenyap dengan buih

dari alis tebalmu,
tempatku mengusap dan mengecup,
banyak yang kuukir di perjalanan,
dengan lengan kurusmu, kau bantu cukilanku,
merengkuh,
membuat candu untukku

tahukah,
keajaiban adalah ketika mata bertemu dan aku tertawan,
lalu kucuri start dan arus kulawan,
mengenggam gelangmu, menggoreskan eyelinermu,
tak pernah bergeser hingga sekarang
dari setiap asap yang kau hembus,
rela kutukar dengan nitrogen yang kugadai

selamat meminta maaf,
bukan di altar meminta ampun,
bukan di tiang harapan digantung,
aku selalu percaya hati yang memilih dimilikimu

aku selalu percaya hatimu,
aku selalu mencintaimu,
aku selalu merindukanmu,
aku selalu memilihmu,
aku selalu, aku selalu, aku selalu,

aku selalu tersiksa karena semua itu kurasa.



***





Untuk, selamat dimintai maaf.