8.30.2010

Part Dua yang Sempat Hilang.

Kalau ngga dipaksa teman, mungkin saat ini aku mustahil ada di Aula ini. Riuh, ramai, dan banyak degungan suara yang berasal dari banyak mulut dan membuat telingaku pengang. Orang-orang berseliweran dengan sibuknya yang aku sendiri bingung mereka menyibukkan apa. Temanku malah ngalor ngidul dengan kenalannya. Otomatis aku bengong sendiri, dan hanya bisa memutar bola mataku dengan jengah.

“eh, besok ikut diskusi umum yuk, di Aula Ibnu Katsir, mantep loh mentornya mahasiswa semua.“

Dan ya, aku menyesal karena akhirnya menjawab “iya deh“ untuk mengiyakan paksaan temanku itu. Dia datang ke rumahku tiga kali, pagi siang dan malam hanya untuk memaksaku ikut dengannya. Daripada tengah malam nanti dia masih saja datang untuk berkeras kepala, maka lebih baik kuturuti saja maunya.

“Tau gini mending gw nonton film korea deh!“. Tentu saja aku tak bisa berhenti merutuk karena si teman masih dengan santainya mengabaikanku. Sesekali melambaikan tangan meyuruhku bergabung, tapi otakku memerintahkan semua sendi kakiku untuk tetap ditempat. Ku buka modul hitam putih yang tadi dibagikan panitia, ‘Menantang arogansi Amerika ala Evo Morales, Ahmadinejad, dan Hugo Chavez. Bisakah Indonesia menerapkan?‘. Oooh my God!! Jengahku makin menjadi-jadi. 2 jam aku akan terjebak dengan kemonotonan ini. Membicarakan sesuatu yang menurutku takkan ada ujungnya dan lagi-lagi hanya akan berhenti pada garis yang nihil.

Niat dan tekadku untuk kabur dari keabstrakan ini hampir saja bulat, kalau saja tidak melihat secarik kertas kecil yang terselip di modul tadi. “Kupon makan siang, berlaku untuk satu orang”. Aha! Ternyata masih ada oasis di tengah kegersangan dilemma yang daritadi memerangkapku disini. Baiklah, untuk sementara aku menyerah dulu. Mungkin sampai jam makan siang nanti usai. Senyumku mulai terasa lepas dan lega, akhirnya ada juga yang ku tunggu disini. Haha…

Dengan keceriaan yang tiba-tiba muncul entah darimana, aku membolak-balik lagi modul yang kini serasa ringan untuk kubaca. Tiba-tiba mataku langsung terpaku pada satu nama salah satu mentor, satu nama yang langsung membawaku pada pusaran ingatan tentang perjalananku sebulan yang lalu di bis itu. Satu nama sama yang juga tergores di sudut kiri sebuah buku yang berjudul Biografi Ahmadinejad. Nama itu yang membuatku selalu berdebar, menyesal dan merindu selama sebulan ini. Aku mengerjap tak percaya, benarkah? Benarkah dia atau nama itu memang nama yang yang pasaran?

Moderator membuka acara dengan cepat dan simple, memperkenalkan mentor-mentor yang akan membawa diskusi ini selama beberapa jam kedepan. Mataku tambah membulat ketika melihat sosok lelaki itu, berkemeja hitam, rambutnya yang masih setengah gondrong namun tertata rapi, jam tangan hitam besarnya yang tetap kokoh, dan tentu saja, hidung terbagus yang pernah kulihat masih bertengger di wajahnya yang menarik. Dan itu memang dia, yang namanya selalu ingin kusebut.

***

Tentu saja aku masih ingat dia, lewat layar dua dimensi komputer dirumah, pada akun Friendster yang dulu sempat saling bertukar. Tapi ternyata aku hanya bisa melihatnya disitu saja. Tak ada kata selanjutnya, selebihnya, atau bahkan selain itu. Aku megiriminya email sebanyak delapan kali dan tak pernah ada balasan. Walaupun mungkin dia juga bingung harus membalas apa untuk emailku yang sangat ngga penting dan konyol-konyol itu. ‘hai ka, kapan naek bis lagi ?’, ‘bukunya monoton bikin boring. Ntar-ntar kasih komik doraemon aja ya !’, ‘kalo naek bis bawa cemilan dong..kan enak ngobrol sambil ngemil‘, ‘ka idungnya dapet darimana dah, ko bengkoknya alus banget kaya di amplas..‘, ‘diharapkan kepada para mahasiswa untuk belajar yang rajin...‘.

Kecuali, pada satu waktu pukul 23.00 hari Rabu, duabelashari setelah pertemuanku dengannya. Satu inbox di emailku darinya itu membuatku tak bisa berhenti senyum, berhenti bermimpi, berhenti untuk menyebut namanya berulang-ulang dengan ketidaksadaranku dan berhenti mengejar sosoknya dibayanganku. Cerita tentangnya yang tadinya ku anggap hilang jadi terangkat lagi di permukaan.

‘Ada gadis yang aneh, sendirian di bis, ngga bisa duduk diam dan membuatku sedikit jengah. Daripada dudukku jadi ikut tak nyaman, aku basa-basi menawarkan buku yang kubaca agar dia sedikit tenang. Dan memang dia jadi sedikit tenang. Padahal aku tau dia hanya membacanya secara basa-basi juga. Ternyata ketika gadis itu tersenyum, aku merasa harus menyapanya dan bertukar cerita ringan tentang kemasing-masingan kita. Gadis yang cukup aneh dan unik, sangat menarik, ceritanya mengalir dan membuat perjalananku serasa hanya 2 menit untuk sampai tujuan. Oke gadis, semoga bisa ketemu lagi nanti. Jangan ragu untuk menyapa kalau aku lupa menyapa. Hehehe… DB .‘

Setiap hari email itu pasti selalu ku baca, lebih dari dua kali. Akun Friendsternya apalagi, sampai aku hapal di luar kepala tentang profilnya. Seperti orang bodoh aku yakin sekali suatu saat akan bertemu lagi dengannya. Dan nekatku bertekad, pasti akan ku kejar kalau ku temukan dia nanti. Kalau aku dan dia bertemu lagi, dimanapun itu.

Maka di Aula itu, setelah moderator menutup acaranya, dan mempersilahkan para mentor yang pintar-pintar itu meninggalkan mimbar, aku langsung beranjak tergesa mengejar lelaki itu. Dia bilang jangan ragu menyapanya kalau dia lupa menyapa, maka untuk yang satu ini aku punya alasan. Sebelum aku memanggil namanya, lelaki itu keburu berbalik dan melihatku yang terengah-engah menghampirinya, matanya membulat, senyumnya mengembang. Aku pura-pura tak melihatnya padahal jelas-jelas dia melihatku mengejarnya. Aku ingin dia yang menyapa duluan, ingin dia tak lupa untuk menyapaku.

”Hei gadis aneh! Nongol disini juga ternyata… Ga salah deh ni firasat bilang bakal ada kamu.. hehehe.. Ayo makan siang bareng, aku mau jawab kenapa idungku bengkoknya bagus… Sekalian mau ngasih komik doraemon nih !”




*Aula Ibnu Katsir, Pusdiklat. Untuk mengejar yang hilang, aku berani terengah-engah*

(Sambungan Ini Part Satu-ku) Masih bersambung..



Lebaran nanti.


Ceritanya ini kan puasa yang ke duapuluhsatu ya, tapi kenapa gw ga ngerasa udah lama dah? Kayanya baru kemaren-kemaren mulai puasa, n lebaran masih jauuuuuuh di depan mata. Tau-tau nyokap gw ngesms, "neng, mo pulang kampung duluan apa rame-rame?". Aiiih ternyata lebaran bentar lagi, kurang lebih sepuluh hari lagi. Ade gw dirumah dah ribut-ribut pengen baju lebaran ma mukena baru. Gw cuma nyengir-nyengir aja, waktu bocah juga gw gitu. Malah kemaren-kemaren ikut ribut juga minta jatah baju lebaran.
Tapi ada yang bikin gw sedih buat lebaran kali ini.. Pertama, nenek gw meninggal beberapa bulan yang lalu, padahal rumahnya itu jadi basecamp buat keluarga besar n almarhumah satu-satunya alesan para keluarga buat pada ngewajibin mudik ke Garut n ngumpul. Kita suka bikin acara-acara seru, kaya outbound, tuker kado, turnamen futsal, atau gathering food. Dengan jumlah sodara sepupu yang seabrek-abrek nandingin jumlah orang sekampung, tentu aja acara keluarga jadi rameeee banget! Tapi sekarang emak (sebutan gw ke nenek gw) udah ga ada, jadinya pada males-malesan mudik deh. Keluarga gw aja berencana lebaran di Bekasi aja, baru udahnya pulang kampung. Yaaah,, takbiran ga bakal serame taun kemaren deh.
Alesan kedua yang bikin sedih, sepupu-sepupu gw satu persatu pada kawin n ga asik lagi di ajak gokil-gokilan. Udah gitu yang cewe pasti pada ikut suami pulang kampungnya. Padahal umurnya ga pada jauh dari gw, tapi ngapa pada kawin cepet sih?? aneh ah. Yang masih lajang bisa di itung pake jari deh! Palingan nyisa bocah-bocah skalian ma ponakan gw yang sama bejibunnya ma tante n omnya. Sedih sedih,, tapi mau gimana lagi?
Ternyata waktu buat gw berjalan cepet banget, entah karena gw yang easy going, atau juga yang bawaannya bahagia mulu. hahahaha, gaya amat ya.
Jadi inget waktu bocah dulu, dengan jumlah sepupu yang sama jumlahnya sama 2 kesebelasan sepak bola, (malah kayanya lebih n bakal nambah lagi ni), kita biasa tidur rame-rame sampe numpuk-numpuk, mandi juga kadang rame-rame. N seperti biasa, gw selalu jadi bocah paling rese yang bikin onar mulu. Entah itu nyemplung-nyemplungin ketupat mateng ke kolam ikan,, nyomot-nyomot kue kering buat tamu,, bikinin tamu minum pake aer mentah,, pokonya troublemaker lah kalo kata tante-tante gw...
Jadi kangen masa kecil gw,, bahagia banget kayanya.. tapi ya sudahlah, sekarang jalanin yang didepan mata aja.. Dan mau ga mau gw harus nerima apapun keadaan pas lebaran nanti... Apakah bakal sepi,, atau sekalian aja gw ramein lagi, yang penting, kita sambut lebaran dengan niat yang suci...

Ini Part Satu-ku.

Waktu itu, adalah satu perjalananku dari rumah nenekku di Garut menuju Bekasi, rumahku. Dengan menaiki bis besar berwarna putih dan berpalet merah yang lumayan nyaman, aku mengarungi perjalanan seorang diri di pojok kanan salah satu bangku. Kesukaanku tentu saja, menghabiskan 4 jam kedepan dengan mendengarkan Jason Mraz-ku lewat kabel headset MP4 kesayangan, mencoba menyelonjorkan kaki dan mencari posisi sesantai mungkin, dan memejamkan mata walaupun kadang terbangun karena guncangan bis. Bangku disampingku kosong, dan aku selalu berharap jikalau diduduki orang, semoga saja orang itu tidak menghabiskan jatah dudukku karena pantatnya yang lebar. Karena pernah suatu kali, aku begitu tersiksa sepanjang perjalanan karena orang disebelahku mendesakku dengan ketambunannya tanpa rasa salah. Ah dasar ibu-ibu, aku hanya bisa menggeram dalam hati dan menikmati berjam-jam perjalananku dengan muka basi.

Di perbatasan Garut-Bandung bangkuku sedikit terlonjak, dan ketika membuka mata, sesosok lelaki sedang tersenyum sopan sambil menganggukan kepalanya meminta izin mengisi bangku disampingku. Aku membalas senyumannya dengan anggukan juga dan air muka yang menunjukkan kelegaan, 'syukurlah pantatnya hemat', ujarku dalam hati. Mataku belum teralih dari matanya. Si lelaki menaruh tasnya di atas lalu duduk kembali, dan mataku tak bisa berhenti untuk mengekori setiap geriknya. Lelaki itu, kira-kira berumur tiga atau empat tahun di atasku, berkaos kerah hitam rapi, rambut setengah gondrongnya sedikit berantakan tapi justru membuat wajahnya yang memang sudah menarik jadi makin menarik. Hidungnya bagus sekali, hidung terbagus yang pernah kulihat mungkin (haha), dan alis matanya tebal hitam pekat. Jam tangan hitam besar melingkari pergelangan tangan kanannya yang coklat. HP dalam genggaman tangan kirinya, dan MP4 dalam genggaman yang satu lagi. Beberapa buku tertumpuk dipangkuannya.

Merasa diperhatikan, lelaki itu memalingkan wajahnya sedikit ke arahku, dan tentu saja aku tidak gelagapan karena aku sudah memperkirakan respon itu. Dia tersenyum lagi, tapi anehnya, benar-benar hanya tersenyum, lalu tenggelam dengan MP4 dan buku yang entah sejak kapan menggantikan posisi HP-nya. Aku terkikik geli dalam hati dan mengernyitkan dahi. Penasaranku dibuatnya jadi dua kali lipat. Siapa namanya? Darimana dia datang? Mau kemana? Dan mengapa aku begitu tertarik pada orang yang kebetulan duduk disampingku ini? Rasa kantuk yang kupancing tadi langsung menguap begitu saja dan terambil alih oleh debaran yang agak berlebihan menurutku. Menyadari kalau aku berlaku konyol sendiri, aku pura-pura tidur dan mengusap mataku agar terpejam. Semoga saja niat usilku ini hilang sendirinya seiring dengan pejaman mataku.

Tapi ngga bisa! Justru rasa penasaranku makin menggumpal dan tersedot oleh sosok disampingku ini. Aku bergerak gelisah, jatah dudukku seperti menyempit dan lebih terasa terdesak daripada ketika didesak oleh ibu-ibu tambun. Selama sekian menit aku terus mengubah posisi dudukku seakan-akan sedang duduk di kursi kopaja yang keras, bukan dibangku bis yang empuk. Otakku terus mencari alasan dan cara untuk bisa menyapanya, mengajaknya membunuh waktu yang membosankan ini dengan berbincang, tapi bagaimana kalau ajakanku tidak pada tempatnya dan tidak wajar? Aku menghela napas lagi. Membenci rasa tertarikku yang datangnya tak di undang. Tiba-tiba si lelaki mengasongkan buku yang tadi di bacanya, aku tehenyak dan menyalahkan diriku atas kegelisahan dan ulah tololku tadi. ‘Aduuh,, pasti tu cowo bete gara-gara gw ga diem banget duduknya, macem ambeien aja!‘ sesalku dalam hati. Aku menatap buku itu dengan pandangan bingung dan lelaki itu menjawabnya sebelum sempat ku tanyakan.

“baca aja, biar ngga bosen di perjalanan. Tu juga kalo ngga pusing baca dalem bis.“

Aha! Akhirnya percakapan perdana dimulai juga. Walaupun aku tahu, pasti dia menganggap gelisahku ini sebagai tanda kebosanan. Rasa sesalku tadi berkurang sedikit. Aku tersenyum menang padahal aku sendiri tidak tahu kenapa harus merasa menang. Tanpa banyak tanya lagi, aku membuka sampul halaman buku yang berwarna hitam itu dan mendapati goresan nama di sudut kirinya, “Dw* Bu****n“ (sengaja ku sensor karena nama ini bukan nama fiktif belaka, maka kita singkat saja menjadi DB). Nama itu tiba-tiba menjadi sangat menarik daripada judul buku yang tadinya sempat membuatku penasaran. Aku membolak-balik halaman buku itu dan pura-pura serius membacanya, menyusuri secara asal biografi Ahmad Dinejad yang menurutku agak monoton.

“maaf ka, aku pusing, bisnya terlalu berguncang.“ Aku mengembalikan buku itu ke pangkuannya. Lelaki itu mencopot earphonenya, mem-pause MP4-nya, dan lagi-lagi meresponku dengan senyuman.

“oke, saya simpan ya kalo gitu.." lelaki itu menyelipkan buku tadi di antara 3 tumpukan bukunya yang lain. Aku memperhatikannya sambil menunggu. Lalu lelaki itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku, "Ngomong-ngomong, mau kemana? Mau ke Bekasi juga?”

Aku tersenyum lebar. Entah kenapa, untuk kedua kalinya aku merasa menang tanpa alasan jelas, dan percakapan singkat itu membuka perbincangan hangat selanjutnya selama sisa perjalananku. Di terminal kami berpisah dengan bertukar senyuman, bertukar akun friendster (facebook belum terlalu eksis waktu itu) dan anehnya kami tidak bertukar nomor HP sama sekali. Namun di memoriku kini banyak tersimpan kata kunci tentangnya yang kudapat dari perbincangan tadi.

Tentang dia yang tengah berkuliah di Universitas negeri di Bandung, tentang rumahnya di Bekasi yang tak jauh dari rumahku, dan tentang hal-hal ringan dan standar yang menjadi tidak biasa di ruang kesanku kepadanya. Bahwa, lelaki ini cerdas, sopan, dan rendah hati, juga tentu saja menarik secara fisik selain kepribadiannya. Empat jam itu telah memagut setengah hatiku untuk terus mengingatnya.





*Cipularang, melompati waktu ke tahun-tahun kebelakang.*

Part 1, artinya masih bersambung. :)

8.28.2010

Lukisan Jumat.

17 Ramadhan,
Langit malam jernih
Petang tadi telah tertumpah airnya,
dan memberi hadiah, lukisan Jumat yang bukan untuk sekelebat dilihat.

3 sahabat yang sedang mesra,
berangkulan dan bercengkrama
Bulan, Mars, dan Bumi
mengantar malaikat
Turun ketanah singgah
Mengganti lapar, haus dan nafsu yang ditahan, dengan beribu buih-buih penghargaan tuhan.
Ikut tersenyum, simetris
berbaris
manis.
Menyatukan terangnya
Membuat senyum terekah, indah
Membuat ucap melontarkan puji
Hanya untuk sang maestro lukisan Jumat.

Subhanallah..




Langit Ciputat, 27/08/10
17 Ramadhan

8.23.2010

Memangnya kenapa kalau aku adalah AKU?

Ini memang cerita tentangku, karena aku adalah si pembuat cerita dan aku yang berhak menentukan siapa orang pertama, kedua, atau ketiga.
Ada dimana aku?
Sebagai apa aku?
Sebagai naratorkah? Sebagai orang keberapa?
Dus, itu tak penting. Aku hanya ingin menceritakan tentang sebagian diriku, seperempat, setengah, seporsi, dan terserah kalian inginnya berapa.
Aku kurang ingin peduli.
Aku, si perempuan Juli.
Aku selalu ingin berteriak, tapi tak ada tempat. Aku ingin benci semua orang, tapi kenapa?
Aku masih membutuhkan alasan,karena aku bukan pelebaya yang menjagal orang.
Malas untuk membuat sinopsis, aku hanya ingin semua orang tahu tentang aku dan ke-aku-anku.
Memangnya kenapa jika aku egois,hah?
Aku menakar egois dari gelas takar yang benar
Bukan dari timbangan layu yang jarumnya bengkok
Aku adalah hak!
Aku adalah suara yang ingin terdengar dan didengar
Tidak, aku tidak ingin jadi adagio
Inginnya lantang seperti adzan yang biasa kudengar dikala subuh
Tetap tedengar, padahal setan sedang bersusahpayah membelai pendengaran dan sayup mataku.
Ingat, ini tentang ceritaku, dan cerita tentangku.
Jangan kau interupsi, atau kau kan kuhabisi.
Tak sudi untukku memeluk lutut, beradu dahi dengan sikut, airmata ini tumpah bukan untuk yang sepele.
Aku bergeming di atas pecahan kaca, walau tak bersandal
Aku adalah jalinan astrasit, walau tak berkelip
Aku adalah saya yang mengaku 'aku'
Dan mengapa masih saja kau ragukan?






***
Si 'aku' disini adalah yang seorang rebel, egois, tervonis, dan hanya ingin membela dirinya dari persiflase orang2, lewat kata-kata yang tak ingin dan tak sempat dipilih2 dulu.


Terimakasih!

Hari ini ngga terawih, dikarenakan masih cape baru perjalanan jauh.
Seseorang dari masa lampau, sempat menjemput dan mentraktir makan.
Seperti tak ada lagi garis kekakuan seperti dulu,,
senyumnya masih sama, tawanya juga.
Saat ini kita memang masih sama-sama sendiri..
Tapi dipastikan bukan untuk membuka harapan lagi.
Bersepakat untuk jadi orang yang baru, memulai dari nol..
Dia yang baru selesai dengan perempuannya, dan aku yang mungkin baru akan mulai dengan yang lain.
Bukankah hubungan baik tidak dilarang..
Baiklah kalau begitu,,aku senang bisa bertemu lagi.
Terimakasih untuk yang tadi.

sampai jumpa!

Saya memutuskan untuk berhenti.
Untuk mundur, tapi bukan menyerah,
Atau kalah.
Biar lain waktu saja meneruskan
semoga jejaknya belum terhapus, sehingga bisa tetap jadi pijakan.
Semoga keanehan ini tetap keras kepala.
Sama batunya dengan si empunya.
Sampai jumpa di jam yang sama, dan tanggal berbeda.
Sendiri memang merisaukan, kalau mengutip teman berkata.
Ejekan yang sadis, tapi bisa buat saya tersenyum.

Tak apa sendiri dulu,
Begini mungkin lebih baik untuk saat ini.
Untuk rasa yang tertinggal, saya tak berusaha untuk menghapusnya.
Biar saja disapu ombak malam, atau diselimuti lumut yang lembab.
Nanti kalau weker alarm berbunyi lagi, baru saya akan bangun.
Saya pasti beri senyum terbaik yang saya punya.
Kita beri sang waktu kesempatan untuk melompat

Sampai jumpa, dageraad.

Malam merah jambu

Jantung, berhentilah berdegup kencang,
berdetaklah, adagio
Ini malam bukan malam merah jambu
Pekat sudah menitahkanku meraba rasa
Ada yang janggal, di bagian sini
Ada roman yang muncul dan bergradasi,
dan ada retak yang berderak dan lenyap.
Seperti adas pecah yang tak berfungsi lagi, tapi bintangnya tetap terlihat.
Dahi yang berkerut, yang haus nadam; tentang hati dan perasaan.
Hatiku,
Perasaanku,
Apa semua ini hanya quasi yang blur?
Atau memang kekonkritan yang kulukis dengan manipulasi abstrak?
Aku masih tersipu untuk mengakui,
Terlalu malu untuk berasumsi.
Duhai, Ada apa dengan malam ini,
Padahal ini bukan malam merah jambu

Plane (Jason Mraz)

Drain the veins in my head
Clean out the reds in my eyes to get by security lines
Dear x-ray machine
Pretend you don't know me so well
I won't tell if you lied
Cry, cause your droughts been brought up
Drinkin' cause you're lookin so good in your starbucks cup
I complain for the company that I keep
The windows for sleeping rearrange
When I'm nobody
Well who's laughin now

I'm leaving your town, again
And I'm over the ground that you've been spinning
And I'm up in the air so baby hell yeah
Well honey I can see your house from here
If the plane goes down, damn
I'll remember where the love was found
If the plane goes down, damn

Damn, I should be so lucky
Even only 24 hours under your touch
You know I need you so much
I cannot wait to call you
And tell you that I landed somewhere
And hand you a square of the airport
And walk you through the maze of the map
That I'm gazing at
Gracefully unnamed and feeling guilty for the luck
And the look that you gave me
You make me somebody
Oh nobody knows me
Not even me can see it, yet I bet I'm

I'm leaving your town again
And I'm over the ground that you've been spinning
And I'm up in the air, so baby hell yeah
Oh honey I can see your house from here
If the plane goes down, damn
I'll remember where the love was found
If the plane goes down, damn

You keep me high minded
You get me high

Flax seeds, well they tear me open
And supposedly you can crawl right through me
Taste these teeth please
And undress me from the sweaters better hurry
Cause I'm heating upward bound now
Oh maybe I'll build my house on your cloud
Here I'm tumbling for you
Stumbling through the work that I have to do
Don't mean to harm you

By leaving your town again
But I'm over the quilt that you've been spinning
And I'm up in the air, said baby hell yeah
Oh honey I can see your house from here
If the plane goes down, damn
I'll remember where the love was found
If the plane goes down, damn
I'll remember where the love was found
If the plane goes down, damn
I'll remember where the love was found
If the plane goes down, damn
Damn
Damn
Damn, you

You keep me high
You keep me high minded
You keep me high
You keep me high minded

Kopinya capuccino.

Seperti ketika aku bilang dan merasakan,
aku mencintai hujan.
Padahal untuk rasa yang tak tersampaikan, kau tahu, kau dengar, dan kau mengerti.
Dari setiap huruf yang kau ketik disini, di dimensi 2 yang datar, seolah aku menyentuh dari ujung jari disini sampai disana, keypad tempat jarimu mengucap..
Ku baca tak cukup 2x, kusimpan difolder khusus.
Folder namamu dan folder di bilik lain.
Seperti ketika aku bilang, aku suka kopi.
Dari kopi perbincangan tersambung, dari kopi terburailah endapan rasa.
Tentang laranganmu,
tentang janjimu,
teraduk pada segelas kopi.
Waktu itu, kopinya capuccino.
Hey, mataku tetap nanar menatap sosokmu yang biasa duduk disitu
Gelisah jika tak ku tangkap, baik oleh mataku atau telingaku.
Dari 3 huruf ditambah tanda seru,
ada senyum yang terekah disini.
Kau, yang memang tak akan tergapai, tapi kau sama dengan hujanku dan kopiku.
Sampai jumpa pada pertemuan dan perbincangan selanjutnya.




'dikantin fdk : "gw traktir kopi ya!"

From DB, 7 tahun yg lalu.

Duduklah disini,
untuk jiwa yang merasa lelah.
Bilang pada yang lain,
kalau kamu baik2 saja
agar mereka tidak terus mencecarmu,
tentang kabar yang sebenarnya rapuh
jangan, jangan hilangkan senyum
karena senyum adalah keindahan
kesempurnaan dari ragamu
dari hatimu
dari tulusmu

duduklah disini
bersama bayangan pohonku
biarkan daunku merunduk, membelai senyum nyenyakmu
mengusir kepongahan dari bulir mimpi burukmu
aku memang jauh, tapi rantingku selalu mendekapmu

duduklah disini,
jangan menunggu datangnya besok
jangan menunggu sakit itu terasa
jangan menunggu untuk dipedulikan orang

katakan kamu baik2 saja, dan tetap tersenyum
sekarang duduklah disini, karena aku menemani
walaupun ku jauh,
aku ada dibilik hatimu.


. From DB, 04 July 2003 .
3/4 penggalan tulisan, dari seseorang yang pernah hadir 7tahun yg lalu, untuk seseorang yang menulis kembali tulisan ini di notes facebooknya, dengan sedikit tambahan.

Tak pandai merayu.

Malam ini, berdoa lagi.
Malam ini, bersujud lagi.
Kadang bosan, tapi aku tahu, Dia tak pernah bosan untuk ku rayu.
Tiap malam ku rayu, rayu dan rayu.
MemberiNya parsel doa.
Yang isinya pinta dan harapan.

Lalu besok mungkin ku lupa.
Ku lupa merayuNya, lupa mengapeliNya.
Ah, ada piala dunia.
Ah, ada deadline.
Ah, ada sambung cerita.

Dia cemberut, tapi tak merajuk.
Tapi dicerabutNya bantal itu,
bantal kenyamananku.
Di permadani itu,
yang kucumbui tiap malam dengan dahiku.
Yang ada gambar masjid warna biru.

Oh, tak pandainya aku ternyata.
Galau gelisah yang tak dinyana.
Labirin kubikku sesak terasa.
Aku harus terus merayuNya
walau aku tak pandai merayu.
Biar Dia memberi marshmallow-Nya lagi, yang empuk, manis, dan nyaman.
Itu bantalku.

6.26.2010

Hanya alter-ego, ya, aku.

Hanya menyembunyikan, bukan muka dua
Adaptasi yang payah
dan ya, aku memang susah
Bukan tentang dialog dan monolog
Hanya lakon bagianku
Tertulis dinaskahnya, naskah yg tidak kacangan;
"peran: obsesif, impulsif "
si tempo konseptual, ya, aku.
Maaf, jika tetap saja dangkal
maaf, jika lagi-lagi soal panggungku dan hanya 'si a dan si b' diriku
tapi aku bukan si dasamuka
aku hanya alterego.

Hujan, kopi, aku.

Hujan,
kopi.
Rain, and coffee.
Bukan gerimis yang plin plan.
Bukan kopi hitam yang termarjinalkan.
Tapi hujan 'setengah' deras,
yang berbunyi,
dan yg punya bau tanah basah.
Kopi yang muda,
yang konsisten dgn ampasnya,
dan berproses kognitif di otak sini.

Hujan, dan kopi.

Selalu jadi 'Batman dan Robin' untukku.




"love rainy, love coffy"

Revisi & Grade, and i'm stuck! 'hiperbolisku dari ujung semester.'

Ketika JUDUL jadi penentu.
Kanan yang berPENDAHULUAN.
Masalah,
yang harus berLATAR diBELAKANG.
Selalu harus ada RUMUS dibalik TUJUAN.
Dilampirkan keunikan yang jadi PERBEDAAN,
diBANDING-bandingkan dengan masa lalu.
Tertolok ukur di kertas A4.

TEORI dengan LANDASANnya.
HIPOTESIS dengan segala UJInya.

Analisis, statistik, asumsi klasik..
Ingin enyah dari semua ini.
Dari kerangkeng semua metode.
Cari, gali, ulas!
Terus dan terus!
Dan aku muak!

Kenapa harus ada variabel yang 'dipaksa' untuk berkaitan?
Kenapa harus ada dependen
jika independen telah eksis?
Cukup.
Berhenti.
Stop.
End.

Dan memang benar2 berhenti.

Ketika dosen 'hakim' ketok palu,
"revisi; ganti judul, atau lanjut dgn resiko penurunan grade"

proposal skripsi ini menggradasi kesadaranku.

Perempuan pemenang.

Lelaki, umur, dan zaman;
Kau hitung digit, di rentang memori.
Ku bilang berhenti,
bukan sekadar interupsi.
Dalam alfabeta
Kau tetap mengeja,
a, be, ce, de, e..
a, i, u, e, o..
Ku ingin titik, kau hadirkan koma.


Aku, dan bagimu;
Hanya minor.
Durasi yang pendek.
Yang berorientasi tak berdaya.
Kasta terbawah.
Retardasi mental.
Sekedar 'orb' yang kasat mata.
Bisikan halus yang hanya kebetulan berdesir.


Dan,
Kau dan waham Firaun-mu.
Abu lahab, Hitler, Bush, atau Qorun sekalipun.
Sama, serupa, satu jasad dalam sosiokultural.
'Dan moga berakhir nyawa dalam ketakutan.'
Dalam waham yang sama; megalomania.
Merasa 'a'-mu adalah absolut, mutlak.
Merasa sang Alpha dan aku si beta.
Merasa John Dewey dan aku si pasien skizofrenia.
Merasa telah bersumbang rusuk kanan komposisi tanah liat.



Tapi aku, dan bagiku;
akar ilalang,
R.A Kartini,
dan Aisyah istri Nabi.
Cukup dan hanya itu.
Bulir keringatku akan tetap menetes.
Suaraku akan tetap didengar,
oleh telinga Tuhan.
Tetap jadi pemenang, dalam lakon dan peran.


Untuk aku;
perempuan yang berdiri di atas dunia.

Hidup dan matematika

Tak butuh teori,
karna telah kuhapal persamaan dan komponennya.
Aku, balita.
Mungkin butuh elaborasi.
Tertatih,
dalam gelap tetap meraba
Antara kuadrat dan pangkat
antara x dan y.
Terpaku pada sama-dengan
Mencoba memanipulasi,
tapi ternyata ini ilmu pasti.


Hasil yang tidak menggantung,
titik-titik harus terisi, dan lengkap dengan rumusnya.
Sekian dibagi sekian,
lucu.
Haruskah dibagi-dibagi, sedang aku tidak ingin membagi?
Sekian dikali sekian,
serakah.
Kenapa tidak berhenti, dan terus ingin melipatgandakan?
Harusnya,
semua berhenti setelah sama-dengan.
Dan bertepi pada angka mati, tanpa manipulasi.
Sealur pada rumus.
Entah,
ingin rumus yang salah,
atau rumus yang benar.
Semua akan berhenti di ujung, angka dan intervalnya;
kuantitas absolut.
Untuk pencapaian nilai yang juga absolut.

Nilai A.
Nilai milik Tuhan.


Ternyata, hidup (hampir) sama-dengan matematika.

Terus begini.

Tak pernah ku mengharap sepiku akan begini
Awan yang berkhianat
Angin yang tak amanat
dan hati yang laknat

Ketika semua tak sama lagi, ku seperti ikut menjadi semu
Seakan dulu adalah tak nyata
Dan masa lalu yang membuat nyeri daripada malam yang punya rahasia
Padahal ingin menjerit, tapi ini hampa,
tak ada.
Dan tak nyata.
Dan aku coba untuk terus berspekulasi
Bahwa silamku memang nisbi.
Bias,
dan tak pekat.
Mungkin akan ku anggap mimpi,
hingga tak satupun yang menyisakan bekas
Bahkan untuk rasa sakit yang tiada
Tak ku punya perih,
namun ku tak kebal.
Yang harusnya menjadi bukti kalau aku tak semu, walaupun jemu.

Ternyata aku harus terus begini.

5.16.2010

Pada cermin yang salah

Aku melihat cermin temanku yang besarnya seukuran badan, wow besar.. tapi disana sedikit buram dan banyak bercak-bercak (mungkin karena umur cerminnya yang udah tua atau kurang terawat). Untuk melihat pantulanku pun sedikit ngga jelas. Aku berpaling ke si pemilik cermin, "gantilah cerminnya, ngga enak buat ngaca. Mana jelas kalau cerminnya agak burem begini.."
Temanku tertawa, dan mengelus permukaan cerminnya dengan sedikit bangga, "biarin, justru karena burem jadinya ngga terlalu keliatan jerawatku, noda-noda di wajah, atau apa kek yang jelek-jelek di badanku..".
Aku ikut nyengir, ternyata ada satu lagi manusia yang cukup aneh yang aku kenal. Tanpa sadar, aku jadi penasaran dengan kata-katanya. Agak jauh di depanku berdiri refleksi diriku, aku mengamatinya dari kepala sampai kaki. Haha... ternyata bener, tai lalat di pipiku pun jadi ngga terlalu mencolok karena di bagian wajahku yang lain ada bercak-bercak dari cermin yang ikut terlihat. Dan karena si cermin agak burem, bayangan diriku agak sedikit bias dan anehnya mataku seperti ikut termanipulasi! "kekurangan-kekurangan"ku jadi ikut terbiaskan dan aku sama sekali ngga ingin berkomentar, "ih wajahku banyak nodanya,, ih bagian tanganku gendut banget... bla dan bla... "
"Yaa dia jadi penasaran... bener kan, kalo ngaca pake cerminku itu jadi ga banyak komentar..."
Lagi-lagi aku cuma bisa nyengir (plus) sedikit membenarkan. Kadang di cermin itu emang banyak setannya, bikin betah lama-lama di depannya cuma buat matut-matut diri atau ngeluh kekurangan-kekurangan di badan.
***
Temanku telat masuk kuliah, dan memang bukan dia namanya kalo ngga telat kuliah. Setengah jam setelah dosen masuk kelas, temanku baru datang. Begitu dia masuk kelas, teman-teman sekelasku langsung tergelak. Baju oh baju yang dia pakai ternyata terbalik! Sukses memperlihatkan label baju dan segala noda-noda "kuning-keringat" di baliknya! Temanku yang pemalu itu langsung berlari lagi keluar kelas, dan jam-jam berikutnya dia ngga datang lagi. Ketika aku main ke kamarnya, ternyata cermin usangnya sudah berganti. Yang ada sekarang adalah cermin-super-jelas yang sepertinya 'high quality mirror'. Bahkan dari jauh pun aku bisa melihat bekas jerawat di dahiku.
"Kapok.. ternyata aku ngaca pada cermin yang salah. Niatnya biar ngga banyak ngeluh sama badan, malah kejebak sendiri. Emang salahku sih tadi kesiangan n buru-buru, tapi kalo aja ngga ngaca di cermin jelek itu, aku ngga mungkin dapet malu gara-gara baju kebalik. Padahal tadi aku dah ngaca 2 kali loh...."
Dan aku pun hanya bisa tersenyum.
***
Yang di atas hanya ilustrasi fisik. Intinya sih, bukan masalah "kekurangan di badan" yang mau di omongin.
Adalah hal yang menurutku salah, ketika kita tahu dan menyadari kekurangan-kekurangan kita, tapi kita malah bersembunyi dari itu semua atau bahkan terbenam begitu saja.
Kekurangan bukan cuma harus diterima dengan apa adanya, tapi kekurangan punya space yang disediakan untuk diperbaiki dan dicari kelebihannya. Bukannya malah bercermin pada hal-hal yang bisa mengkamuflasekan kekurangan tersebut menjadi hal yang tidak penting dilihat dan harus diterima apa adanya begitu saja. Jangan cukup puas terhadap apa yang hanya tampak di mata kita, karena banyak kelebihan lain yang bisa kita temukan.
Berkacalah pada cermin yang jelas, akui kekuranganmu, cari space untuk mencari kelebihan dan memperbaiki.. and TARAA... it's new me!

(Terserah sih mau menyimpulkan pelajaran apa dari ilustrasi cerita di atas.. Yang pasti aku ingin akhir kesimpulan itu adalah sesuatu yang positif.)



5.15.2010

Berdiri, berlari! Berdiri dan berlari!!!

Kadang, ada rasa lelah yang tersampir...
Ada rasa menyerah yang berdesir..
Kalau saja aku tak ingat,, bahwa aku masih memiliki tangan..
kaki..
dan akal untuk berpikir..
Aku malu untuk berhenti..
Aku malu untuk terlunglai..
Walau tanpa daya, aku masih ingin berlari.

Selama masih ada tanah untuk berjejak
dan waktu yang masih senang berkejaran denganku
Aku tak ingin berhenti.
Dan jangan.
Jangan biarkan aku kalah.

Jangan biarkan titik mengakhiriku.
Belum waktunya jatuh tempo,
aku masih ingin terus berdiri dan berlari.





5.14.2010

And Jason Mraz and Paramore and MUSE

"And it takes no time to fall in love
But it takes you years to know what love is
It takes some fears to make you trust
It takes those tears to make it rust
It takes the dust to have it polished"
(Life is Wonderful, Jason Mraz)






"How much pain has cracked your soul?
How much love would make you whole?
You’re my guiding lightning strike

I can’t find the words to say,
But they’re overdue,
I’ve traveled half the world to say,
I belong to you"
(I Belong To You, MUSE)



"Don’t know what I want
But I know it’s not you
Keep pushing and pulling me down
But I know in my heart it’s not you.."
(I Caught My Self, Paramore)

Karena hidup di rancang untuk mencoba

Skeptis, pesimis, atau bahasa halus yang berinti pada ketidak-pedean.
Hal yang kadang sepele namun melekat, tidak diakui namun tampak, dan seharusnya tidak ada tempat untuk itu.
Hidup dirancang untuk mencoba (berusaha), bukan untuk di angan-angankan saja.
Ada yang kita kejar, ada yang kita tunggu, dan ada yang kita inginkan.
Di tengah jalan itu ada proses, ada petunjuk yang berarah pada tujuan yang ingin kita capai.
Apapun kekurangan, pasti berdampingan dengan kelebihan.
Benar-benar ngga ada tempat untuk tiga sekawan itu kan?
Mencoba mencoba mencoba, biarlah dengan sedikit keluhan.
Karena itu menandakan, ada keringat yang menunjukkan usaha.
Mencoba itu sama dengan belajar.
Dan karena hidup dirancang untuk mencoba.