6.27.2012

KOPI episode 1

Kopi ternyata jahat, dan pantas jadi penjahat.
Karena segelas kopi bisa menjadi harapan.
Menjadi salah dan tidak boleh, karena menaruh sakral tidak pada tempatnya.
Melalui kopi jadi asik berbicara tanpa vokal.
Melainkan lebih takzim dan membuai.
Kopi,
Tidak sengaja jadi antagonis.

***
Diposkan di je-julie.tumblr.com pd tanggal 19/04/2012

6.26.2012

H-6 "alien menari alien"


Aku sedang menari dengan diriku sendiri
Dilantai dansa tanpa musik aku memutar kakiku dengan ketukan
Lalu kamu menghampiri dan bertanya,
'apa yang sedang kamu lakukan?'

Ambil saja kostum yang sama disana, 
lalu menari bersamaku seperti alien
dan kamu pun akan tahu,
apalagi kau bilang kamu menyukai keanehan

Lalu tunggu apalagi?
bukankah kita bertemu dalam suatu keanehan,
ambil kostum yang sama disana,
lalu menari bersamaku seperti alien
kita lakukan kebodohan bersama,
karena tidak ada yang lebih bodoh daripada tidak melakukan kebodohan

menari seperti alien,
menari dengan diri sendiri
yang kamu ikuti dengan senang hati.


***

haminenam, 27/6/2012
berdendang dan berdansa dengan diri sendiri. 



6.24.2012

H-9 'naskah drama kacangan'

Panggung berubah, kali ini menjadi panggung sederhana dengan korden warna cokelat, hangat. 
Tidak ada lampu sorot, tidak ada gemerlap lampu-lampu lain.
Iguana merayap dari dahan pohon ceri dan mengintip jendela hijau di seberang.
Disana ia menemukan senyum bulan malu-malu dari balik semak.
Senyum warna biru. Senyum hari Minggu.

01.00
Terjaga bukan karena adukan kafein, tapi karena adukan adrenalin. Mencuri-curi. Lagi.

01.14
Kali ini terlalu nakal. Mungkin sama-sama nakal. Senyum bukan lagi sebelah tangan, tapi kini saling bertukar.

01.20
Kembali ke menara. Tetapi aku gelisah. Didepan mataku ada seonggok beban yang tak memberikan senyum. Bahkan beramah tamah pun tidak. Maka aku ingin pergi, ingin pergi.

01.22
Menara menjadi sangat pengap. Tak ada panggung seperti tadi, kini panggung berganti menjadi panggung bobrok tanpa pelita. Suguhan visual yang seakan di neraka. Sekali lagi, aku ingin pergi.

01.25
Beban itu ternyata juga terbebani dengan adanya aku, ia pun pergi. Aku pun pergi, dengan senang hati.

01.30
Zat stimulan itu bukan lagi medium, idenya menjadi lebih agung daripada sekedar bergantian menyentuh bibir gelas dengan bibir masing-masing.

01.44
Aku melihatnya di satu meterku. Tetap dengan dunianya sendiri. Tahukah, aku selalu terobsesi dengan siapapun yang memiliki dunia sendiri. Obsesi itu terakhir terjadi kurang lebih dua tahun yang lalu. Dua tahun yang lalu, lalu saat ini?

02.00
A moon's smile. Lalu jika candu pada kafein ini tergantikan, harus bertanggung jawab pada siapa jika ku-terjerembab lebih jauh? Aduuh, itulah yang aku takutkan, bayanganku mendorong diriku untuk terjerembab lebih jauh, walaupun tetap, tanpa vokal dan verbal.

02.55
Posisi ini membelit, seperti ular yang lebih menyenangi belitannya daripada bisanya. Erat, erat, erat.. Candu, candu, candu.. Seperti dulu? Aku harap tidak. Yang ini lebih magis.

03.22
Aku kembali ke menara dengan langkah berat. Ia mengucapkan sebaris penutup manis, lebih manis dari gula buatan yang terdapat pada kafein yg biasa kami minum. Aku melempar senyum, tapi aku tak melihatnya membalasku. Karena aku segera berpaling dan menghilang dalam gelap. Terimakasih.

Setting berubah menjadi panggung bobrok yang redup. 
Tak ada atmosfer yang baik, tak ada warna yang bukan monokrom. Selalu monokrom dan tetap monokrom.
Beban itu kembali dan sama sekali tak melempar senyum.
Bersyukurlah karena aku sudah memprediksi ini sebelumnya, tak kubawa kehati, nanti juga akan biasa.
Disuguhkan seperti ini merupakan ujian.
Dan aku tahu, esok pagi aku akan terbangun dengan suguhan sakit hati.

Dan ternyata memang benar.

***


haminsembilan, dibawah pohon willow, didalam menara tanpa lampu.


6.21.2012

I don't like life when things get dull.

FRIDAY NIGHT SATURDAY MORNING.

Berjalan pergi dengan (tidak) mudah.



Ketika saya melihat ke dalam kelam mata anda, saya tak menemukan apa-apa lagi
bahkan untuk yang sekedar saya cari, dari kemarin
kenapa saya masih sempat bertahan,
karena saya kira anda masih menunggu
duduk tenang di ruang navigasi dan bersiap memegang kendali

Saya tidak ingin menjadi seseorang yang berjalan pergi dengan mudah
atau seperti parasit yang lupa inangnya
Banyak yang telah kita pertaruhkan, 
lalu saya dan anda sama-sama menjatuhkan senjata
dan menyerah pada ketidaksabaran

Kemarin saya sempat tumbuh berkat tangan anda,
lalu terlalu berhati-hati sehingga saya menggigit jari anda
Anda memukul saya, mengenyahkan begitu jauh

Dan saya dan anda pun sama-sama menyerah tentang kita.


6.06.2012

Panggung gemerlap akan selesai.


Secarik gambar diri, berdusta atas senyum yang telah lama menjadi mumi
Bukan lagi karena garis eyeliner atau sekepul asap tar
Goresan sketsa telah dihapuskan disana, untuk kesekian kali

Cepat atau lambat, lampu sorot dimatikan dan layar pun ditutup.

Nude Story.


“When my body and your body
Lie together under a white sheet
Your head on my arm
Your leg thrown over my leg
The whole long continent of you
The pale ridgeline of your ribcage and hip and thigh
Neighbor to me
There is nothing that needs to be explained
Or accomplished, the world is at rest and complete
And though
We drift apart in the eddies of the day
We will find our way back
To the slight hollows that mark the place
Where we lie now, astonished, saying nothing.”

- Garrison Keillor

6.01.2012

Bukan perlu mantel berbulu, tapi....


Kerongkonganku terasa sakit ketika aku mencoba menelan liur.
Aku tidak berupaya menahan liurku, karena aku tengah menahan butiran air yang lain agar tak jatuh.
Karena itu memalukan,
mungkin mataku akan basah dan memerah sehingga akhirnya mereka pun melihatnya.

Menahan rasa sedih untuk yang pertama kali, sejak beberapa tahun yang lalu.
Atas suguhan makan siang yang hambar.
Perjalanan yng melelahkan, 
dan ternyata tanah yang ku gali tidak berisi harta karun yang mereka perbincangkan.
Melainkan aku seperti menggali kuburanku sendiri.

Berharap si pengemudi adalah yang menemani nanti, tapi itu tidak mungkin.
Cukup mengagumi sampai rasa yang tak jelas ini perlahan terhabisi.
Dalam diam-diam dan rahasia pada angin yang kerap berkhianat menyampaikan.
Tak boleh lagi kujala tawa pada sesuatu yg tak boleh kumiliki.

Sudah lama mungkin aku tidak menggantungkan mantelku pada lemari itu, 
aku merasa tak aman dan tak percaya menitip harta usangku teronggok diam disana.
Tapi, sangat tak adil jika lemari itu kuabaikan karena dulu mantelku pernah dihangatkan disana.

Sambil menonton televisi aku mematung,
kopi telah mendingin sejak waktu yang lalu
genggaman membasah pada gagang cangkir yang retak.
Sudah lama tak pernah kunikmati lagi saat-saat ini,
selain kekosongan panjang dan dingin yang mematri.

Padahal layar sudah berkembang dan kemudi sudah terpasang,
Tapi aku masih diam memilih untuk tenggelam ataukah nekat kembali?
Semua seperti harga mati untuk yang tak pernah peduli.

Bukankah jarak menjadi relatif jika mengukur dengan rasa?
Mengapa masih saja kubersikeras menghitungnya dengan angka?
Imbasnya adalah ketidakpuasan yang berkepanjangan yang kurasa,
merasa tak puas diri, merasa tak percaya diri,
tapi aku malah diam dan tak mengejar dengan berlari.

Aku tidak sepenuh hati lagi.
Aku tidak memiliki apapun yang berarti.
Aku tetap sendiri walaupun bukan berarti aku mandiri.
Aku kehilangan kunci,

aku terdampar sejak lama di pulau es tak berpenghuni.