6.24.2012

H-9 'naskah drama kacangan'

Panggung berubah, kali ini menjadi panggung sederhana dengan korden warna cokelat, hangat. 
Tidak ada lampu sorot, tidak ada gemerlap lampu-lampu lain.
Iguana merayap dari dahan pohon ceri dan mengintip jendela hijau di seberang.
Disana ia menemukan senyum bulan malu-malu dari balik semak.
Senyum warna biru. Senyum hari Minggu.

01.00
Terjaga bukan karena adukan kafein, tapi karena adukan adrenalin. Mencuri-curi. Lagi.

01.14
Kali ini terlalu nakal. Mungkin sama-sama nakal. Senyum bukan lagi sebelah tangan, tapi kini saling bertukar.

01.20
Kembali ke menara. Tetapi aku gelisah. Didepan mataku ada seonggok beban yang tak memberikan senyum. Bahkan beramah tamah pun tidak. Maka aku ingin pergi, ingin pergi.

01.22
Menara menjadi sangat pengap. Tak ada panggung seperti tadi, kini panggung berganti menjadi panggung bobrok tanpa pelita. Suguhan visual yang seakan di neraka. Sekali lagi, aku ingin pergi.

01.25
Beban itu ternyata juga terbebani dengan adanya aku, ia pun pergi. Aku pun pergi, dengan senang hati.

01.30
Zat stimulan itu bukan lagi medium, idenya menjadi lebih agung daripada sekedar bergantian menyentuh bibir gelas dengan bibir masing-masing.

01.44
Aku melihatnya di satu meterku. Tetap dengan dunianya sendiri. Tahukah, aku selalu terobsesi dengan siapapun yang memiliki dunia sendiri. Obsesi itu terakhir terjadi kurang lebih dua tahun yang lalu. Dua tahun yang lalu, lalu saat ini?

02.00
A moon's smile. Lalu jika candu pada kafein ini tergantikan, harus bertanggung jawab pada siapa jika ku-terjerembab lebih jauh? Aduuh, itulah yang aku takutkan, bayanganku mendorong diriku untuk terjerembab lebih jauh, walaupun tetap, tanpa vokal dan verbal.

02.55
Posisi ini membelit, seperti ular yang lebih menyenangi belitannya daripada bisanya. Erat, erat, erat.. Candu, candu, candu.. Seperti dulu? Aku harap tidak. Yang ini lebih magis.

03.22
Aku kembali ke menara dengan langkah berat. Ia mengucapkan sebaris penutup manis, lebih manis dari gula buatan yang terdapat pada kafein yg biasa kami minum. Aku melempar senyum, tapi aku tak melihatnya membalasku. Karena aku segera berpaling dan menghilang dalam gelap. Terimakasih.

Setting berubah menjadi panggung bobrok yang redup. 
Tak ada atmosfer yang baik, tak ada warna yang bukan monokrom. Selalu monokrom dan tetap monokrom.
Beban itu kembali dan sama sekali tak melempar senyum.
Bersyukurlah karena aku sudah memprediksi ini sebelumnya, tak kubawa kehati, nanti juga akan biasa.
Disuguhkan seperti ini merupakan ujian.
Dan aku tahu, esok pagi aku akan terbangun dengan suguhan sakit hati.

Dan ternyata memang benar.

***


haminsembilan, dibawah pohon willow, didalam menara tanpa lampu.


No comments:

Post a Comment

Pembaca yang baik, pasti meninggalkan komen, kripik dan saran..