9.30.2011

Pesawatku mendarat dimana?


Pesawatku bukan terbang ke bulan, apalagi ke matahari,
tapi,
pesawatku terbang ke tempat yang paling dekat dengan hati..



Tetapi kadang-kadang langit terlalu sombong
hingga tangan kita tak bisa menggapai untuk sekedar bermimpi,
tetap hanya bisa melihat dari jauh dengan terdongak,
dan apakah ia akan mengerti?
kenapa ia begitu tinggi?



Lalu perlahan, aku melihat pesawatku dimakan langit yang tengah pongah,
Melebur bersama udara kering dan abu-abu,
aku melihat semua menjadi semu bahkan untuk sesuatu yang mengguyurku menjadi beku,



kenapa tak jawab tanyaku?
apakah aku masih tetap dipersimpangan jalan, dan tetap membatu?
mengapa kamu bisu?

Aku sedang merasa,
sendiri,
sangat sendiri,
dan selalu sendiri.





Penghujung September 2011
Foto : Adnan Roesdi
Teks : Jayu Julie






9.29.2011

Dejavu; 13/12/2010

ditulis tanggal : 13 Desember 2010 jam 6:27

Dan hari pun dengan lancang berganti
membuat aku jadi berpikir tak mengerti, apakah yang kemarin?
Mimpi yang gontai dan lesu
dibuatnya setengah lelah, dalam mati yang pendek, hanya 2jam
mimpi picisan, dan pagi pun merutuk
garis hitam dibawah mata kian kelam dan melekuk
cermin cemberut;
sial, kau buat refleksiku di puncak kesempurnaan sebuah kegagalan
buruk rupa dan merusak mata
garis getir di bibir, dan pantulan retina yang terlalu 'macam-macam'
begitu katanya
ah persetan
terlalu banyak yang lancang dari sekedar membuka hari dengan sekedar mematut si burukrupa
seperti pemabuk yang mencoba mengingat kejadian semalam
inginnya melempar kucing dengan kaleng
biar bisingnya jadi dua kali
pagi ini biar kubuat kusut
aku benci langkah jumawa manusia pagi yang ku lihat dari jendela kamar
benci mereka yang antusias melihat matahari
benci bumbu-bumbu yang baunya mulai menguar dari dapur
aku benci karena telah merasa bermimpi
dan aku benci karena sekarang telah pagi
dan pecundang pun merapatkan tirainya
tanpa ampun mengusir celah
dengan pongah kembali rebah
melempar kotak kecil elektronik yang layarnya menyampaikan senyum dari sebrang,
'met pagi!'
cih selamat pagi, ini edisi spesial untukku
melanjutkan marah pada mimpi, lagi
selamat pagi matahari, kita bertemu siang nanti.



selamat pagi di pengakhiran.

Merasakan yang paling sakit di ulu hati bukan atas lisan yang tersembur, tapi,
karena ternyata harus mengakhiri mimpi yang telah di buat panjang

Bangunlah!

Bukan waktunya untuk jatuh karena berdamai dengan diri sendiri pun belum berhasil.

Mengakhiri mimpi,
membakar kertas skenario yang dirancang jauh hari,
menghujamkan mata pisau lebih dalam lagi,
menutup mata dari tatapan kosong di pengakhiran
bukan ini yang di mau,
sakitnya bukan kepalang bahkan untuk jangka yang panjang.

terimakasih untuk pembaringannya hingga sempat bermimpi indah

9.28.2011

Dari seberang rel kereta


Dari celah yang menyelusupkan angin, sedikit kering,
angin yang datangnya enggan berangkat
Melihat sedikit ke celah jeruji dan hanya kotak-kotak yang bergerak
di jalur abu-abu yang tak pernah sunyi
Seperti gerak lambat dalam frame, seperti intipan melalui milimeter lensa
Waktu bukan lagi malas bergerak, tapi juga malas merayap dan merangkak
Diam dan bergeming menjadi pilihan yang paling tak boleh di undi
Marah pada suara gemuruh sayap burung besi yang tak izin untuk lewat,
di utara yang membiru
Botol-botol tanpa isi digulirkan kembali untuk membuang menit detik yang makin pongah

Dari seberang rel kembali menatap kosong,
pada ruang yang telah lama menyisakan dingin berkepanjangan
Dari seberang rel kembali tegap tanpa gerak,
stasiun masih jauh,
berdiri bukan untuk menunggu kereta,

tapi menunggu datangnya jeda.






Lenteng Agung, 28 September 2011
dari seberang rel kereta.




9.24.2011

Ruang July


"Apa kita makhluk asing, di tengah mereka?"
"Mungkin kita freak, dan aneh.."
"Atau anggapan kita saja?"

Kepulan asap dan coklat pada cangkir. Perlahan mendingin, lalu kami menggoyangkannya agar ampasnya melebur.

"Begadang lagi?"
"Dengan senang hati," aku tersenyum dan membuka bungkus kedua.
"Tembok kita sepi..."
"Itu berarti belum ada yang menggoda lagi angklung hidup kita."
"Iya, biasanya berisik, lebih berisik dari tembok di jejaring sosial."

Kami menatap satu persatu goresan acak dan kotor, pada bidang yang tak bisa disebut putih lagi itu.
Lalu mencibir,
terkikik,
dan tertawa.

"Aku sedang warna merah muda."
Ya, aku tahu, akhir-akhir ini kamu sedang berwarna merah muda.
Lalu bola mata kami berhenti pada goresan nama yang sama, orang yang berbeda.
"Punyaku, akan ditinggalkan sebentar lagi." Tergores disana dan aku menyambutnya dengan cengiran.
Lalu punyaku, "merebut dia dari pacarnya.",
Kamu menyambung, "misiku berhasil, dan misimu gagal."
Kami terkikik lagi.
Bukti kegilaan kami yang kesekian pun ikut menertawai.

"Aku sedang abu-abu."
Kini giliran sebuah nama menjadi tempat mata kami tertumbuk.
Nama terakhir yang kugores.
Nama yang hampir mendominasi deretan goresan-goresanku itu.
29 April 2011, "dia lagi sakit, hampir seminggu. Aku harus membuatkannya sayur bayam! :)"
Kami menghela dan menghirup lagi antara abu-abu dan coklat yang mendingin.

Dikamar ini, hanya kami yang menyenanginya.





27/09/2011
Dikamar copy paste tempat semua asap dan asa keluar. Untuk kami para perempuan tangguh.
Julie & Julia


Yang belum terjawab, dan masih koma,

Orang -orang yang memakai topeng, atau aku yang sendirian bertopeng?
Sedikit mengesalkan ketika terbangun ternyata bumi masih berputar dari kiri ke kanan, atau kanan ke kiri?
Mengapa ketika terbangun langit tidak abu dan hujan tidak turun?
Mengapa anak tetangga sebelah tetap menangis di pagi hari, di tempat dan jam yang sama?
Mengapa aku masih memutar lagu yang sama di list itunes-ku?
Mengapa aku masih mencintai orang yang sama dan membenci wajah yang sama?
Mengapa semua sepertinya memang harus berjalan begitu adanya dan tidak ada yang 'menyengat'?
Bolehkah?

Ketika ku seduh kopi, kenapa kopinya masih sama?
Ketika aku menyapa teman, kenapa kalimat sapanya masih sama?
Ketika aku menyalakan TV, kenapa program favoritku masih sama?

Mengapa tidak ada yang mengetuk pintu, dan memberiku kejutan 'menyengat'?


9.13.2011

I'histoire se repete!



Sejarah akan berulang,
ingin tidak ingin,
sadar tidak sadar
ini dejavu tentang Machbet yang berkudeta
dan Macduff yang akhirnya curiga

Tidak, Machbet tidak pernah berencana mengkudeta, ia hanya berdelusi waham kebesaran!
Bukankah ia bertemu tiga ahli nujum yang meramalnya akan menjadi penguasa besar?
Itu Machbet, kan?
Ini tidak dan ini bukan.
tapi.... sama-sama terlanjur akrab dengan kata rebut dan kudeta

haha

Macduff curiga dan marah
Hatinya tertutup kata terima
Hei, itu Macduff kan?
Ini tidak dan ini bukan.
tapi....... memang sama-sama merasa cemburu dan gelisah ditipu keterasingan

Hei Machbet, kau akan mati dengan kepala di tangan Macduff!
Hei Macduff, kau akan meraya karena kudeta digagalkan!
tapi, itu Machbet dan Macduff kan?
Ini tidak dan ini bukan.
Ini bukan tentang pengkhianatan dan bukan tentang rencana kudeta

haha

Ini adalah perjalanan
tentang kereta kuda yang melaju dipagut waktu
tanpa mantra atau ramalan ahli nujum
kereta yang sama,
jalan yang sama,
waktu yang sama,
dan....
perasaan yang sama.

I'histoire se repete!

Sejarah (memang) akan berulang,,
tapi... maukah menjadi penulis ulang sejarah dengan cerita yang baru?


***

"Rasanya seperti memesan capuccino kesukaan tapi barista malah membuatkan ekspresso strong 2 gelas. Banyak sih, tapi paiitt...."







Lenteng Agung, 13 September 2o11
*terimakasih untuk rasa sadarnya, semoga bukan untuk sementara dan bisa melaju lagi satu kereta suatu saat.










9.04.2011

jam pasir telah pecah

Jam pasir mengikis, lalu pecah
air menyurut sisakan kering
selamat berbahagia kata mereka
tapi tidak
disini makin membasah
ada parut terus menggerus
ada himpitan yang enggan menggembung, tak setolerir paru-paru
antara sesal dan kesal,
memburu dibelakang altar
sang penyelamat melepas tangan dan menjauh dengan wajah sama sedihnya
sama dalamnya paku terhujam

wajah-wajah itu menyambut hangat, tapi yg disambut dingin
ia hanya ingin penyelamatnya
memamerkan lagi penghiburannya dan menjala tawanya
tapi penyelamatnya hilang seiring bunyi seruling hammelin
hanya bisa meratap, tidak dengan airmata,
tapi dengan darah yang disayat dinadinya

ia memungut kaca jam pasir, tapi penyelamatnya tetap pergi
saat ini masih enggan berlari menyusuli,
tapi,
tetap berlutut, agar Tuhan memelihara bongkahan yang ada diantara ia dan penyelamatnya.