6.26.2010

Hanya alter-ego, ya, aku.

Hanya menyembunyikan, bukan muka dua
Adaptasi yang payah
dan ya, aku memang susah
Bukan tentang dialog dan monolog
Hanya lakon bagianku
Tertulis dinaskahnya, naskah yg tidak kacangan;
"peran: obsesif, impulsif "
si tempo konseptual, ya, aku.
Maaf, jika tetap saja dangkal
maaf, jika lagi-lagi soal panggungku dan hanya 'si a dan si b' diriku
tapi aku bukan si dasamuka
aku hanya alterego.

Hujan, kopi, aku.

Hujan,
kopi.
Rain, and coffee.
Bukan gerimis yang plin plan.
Bukan kopi hitam yang termarjinalkan.
Tapi hujan 'setengah' deras,
yang berbunyi,
dan yg punya bau tanah basah.
Kopi yang muda,
yang konsisten dgn ampasnya,
dan berproses kognitif di otak sini.

Hujan, dan kopi.

Selalu jadi 'Batman dan Robin' untukku.




"love rainy, love coffy"

Revisi & Grade, and i'm stuck! 'hiperbolisku dari ujung semester.'

Ketika JUDUL jadi penentu.
Kanan yang berPENDAHULUAN.
Masalah,
yang harus berLATAR diBELAKANG.
Selalu harus ada RUMUS dibalik TUJUAN.
Dilampirkan keunikan yang jadi PERBEDAAN,
diBANDING-bandingkan dengan masa lalu.
Tertolok ukur di kertas A4.

TEORI dengan LANDASANnya.
HIPOTESIS dengan segala UJInya.

Analisis, statistik, asumsi klasik..
Ingin enyah dari semua ini.
Dari kerangkeng semua metode.
Cari, gali, ulas!
Terus dan terus!
Dan aku muak!

Kenapa harus ada variabel yang 'dipaksa' untuk berkaitan?
Kenapa harus ada dependen
jika independen telah eksis?
Cukup.
Berhenti.
Stop.
End.

Dan memang benar2 berhenti.

Ketika dosen 'hakim' ketok palu,
"revisi; ganti judul, atau lanjut dgn resiko penurunan grade"

proposal skripsi ini menggradasi kesadaranku.

Perempuan pemenang.

Lelaki, umur, dan zaman;
Kau hitung digit, di rentang memori.
Ku bilang berhenti,
bukan sekadar interupsi.
Dalam alfabeta
Kau tetap mengeja,
a, be, ce, de, e..
a, i, u, e, o..
Ku ingin titik, kau hadirkan koma.


Aku, dan bagimu;
Hanya minor.
Durasi yang pendek.
Yang berorientasi tak berdaya.
Kasta terbawah.
Retardasi mental.
Sekedar 'orb' yang kasat mata.
Bisikan halus yang hanya kebetulan berdesir.


Dan,
Kau dan waham Firaun-mu.
Abu lahab, Hitler, Bush, atau Qorun sekalipun.
Sama, serupa, satu jasad dalam sosiokultural.
'Dan moga berakhir nyawa dalam ketakutan.'
Dalam waham yang sama; megalomania.
Merasa 'a'-mu adalah absolut, mutlak.
Merasa sang Alpha dan aku si beta.
Merasa John Dewey dan aku si pasien skizofrenia.
Merasa telah bersumbang rusuk kanan komposisi tanah liat.



Tapi aku, dan bagiku;
akar ilalang,
R.A Kartini,
dan Aisyah istri Nabi.
Cukup dan hanya itu.
Bulir keringatku akan tetap menetes.
Suaraku akan tetap didengar,
oleh telinga Tuhan.
Tetap jadi pemenang, dalam lakon dan peran.


Untuk aku;
perempuan yang berdiri di atas dunia.

Hidup dan matematika

Tak butuh teori,
karna telah kuhapal persamaan dan komponennya.
Aku, balita.
Mungkin butuh elaborasi.
Tertatih,
dalam gelap tetap meraba
Antara kuadrat dan pangkat
antara x dan y.
Terpaku pada sama-dengan
Mencoba memanipulasi,
tapi ternyata ini ilmu pasti.


Hasil yang tidak menggantung,
titik-titik harus terisi, dan lengkap dengan rumusnya.
Sekian dibagi sekian,
lucu.
Haruskah dibagi-dibagi, sedang aku tidak ingin membagi?
Sekian dikali sekian,
serakah.
Kenapa tidak berhenti, dan terus ingin melipatgandakan?
Harusnya,
semua berhenti setelah sama-dengan.
Dan bertepi pada angka mati, tanpa manipulasi.
Sealur pada rumus.
Entah,
ingin rumus yang salah,
atau rumus yang benar.
Semua akan berhenti di ujung, angka dan intervalnya;
kuantitas absolut.
Untuk pencapaian nilai yang juga absolut.

Nilai A.
Nilai milik Tuhan.


Ternyata, hidup (hampir) sama-dengan matematika.

Terus begini.

Tak pernah ku mengharap sepiku akan begini
Awan yang berkhianat
Angin yang tak amanat
dan hati yang laknat

Ketika semua tak sama lagi, ku seperti ikut menjadi semu
Seakan dulu adalah tak nyata
Dan masa lalu yang membuat nyeri daripada malam yang punya rahasia
Padahal ingin menjerit, tapi ini hampa,
tak ada.
Dan tak nyata.
Dan aku coba untuk terus berspekulasi
Bahwa silamku memang nisbi.
Bias,
dan tak pekat.
Mungkin akan ku anggap mimpi,
hingga tak satupun yang menyisakan bekas
Bahkan untuk rasa sakit yang tiada
Tak ku punya perih,
namun ku tak kebal.
Yang harusnya menjadi bukti kalau aku tak semu, walaupun jemu.

Ternyata aku harus terus begini.