Showing posts with label metamorfosa. Show all posts
Showing posts with label metamorfosa. Show all posts

6.24.2012

H-9 'naskah drama kacangan'

Panggung berubah, kali ini menjadi panggung sederhana dengan korden warna cokelat, hangat. 
Tidak ada lampu sorot, tidak ada gemerlap lampu-lampu lain.
Iguana merayap dari dahan pohon ceri dan mengintip jendela hijau di seberang.
Disana ia menemukan senyum bulan malu-malu dari balik semak.
Senyum warna biru. Senyum hari Minggu.

01.00
Terjaga bukan karena adukan kafein, tapi karena adukan adrenalin. Mencuri-curi. Lagi.

01.14
Kali ini terlalu nakal. Mungkin sama-sama nakal. Senyum bukan lagi sebelah tangan, tapi kini saling bertukar.

01.20
Kembali ke menara. Tetapi aku gelisah. Didepan mataku ada seonggok beban yang tak memberikan senyum. Bahkan beramah tamah pun tidak. Maka aku ingin pergi, ingin pergi.

01.22
Menara menjadi sangat pengap. Tak ada panggung seperti tadi, kini panggung berganti menjadi panggung bobrok tanpa pelita. Suguhan visual yang seakan di neraka. Sekali lagi, aku ingin pergi.

01.25
Beban itu ternyata juga terbebani dengan adanya aku, ia pun pergi. Aku pun pergi, dengan senang hati.

01.30
Zat stimulan itu bukan lagi medium, idenya menjadi lebih agung daripada sekedar bergantian menyentuh bibir gelas dengan bibir masing-masing.

01.44
Aku melihatnya di satu meterku. Tetap dengan dunianya sendiri. Tahukah, aku selalu terobsesi dengan siapapun yang memiliki dunia sendiri. Obsesi itu terakhir terjadi kurang lebih dua tahun yang lalu. Dua tahun yang lalu, lalu saat ini?

02.00
A moon's smile. Lalu jika candu pada kafein ini tergantikan, harus bertanggung jawab pada siapa jika ku-terjerembab lebih jauh? Aduuh, itulah yang aku takutkan, bayanganku mendorong diriku untuk terjerembab lebih jauh, walaupun tetap, tanpa vokal dan verbal.

02.55
Posisi ini membelit, seperti ular yang lebih menyenangi belitannya daripada bisanya. Erat, erat, erat.. Candu, candu, candu.. Seperti dulu? Aku harap tidak. Yang ini lebih magis.

03.22
Aku kembali ke menara dengan langkah berat. Ia mengucapkan sebaris penutup manis, lebih manis dari gula buatan yang terdapat pada kafein yg biasa kami minum. Aku melempar senyum, tapi aku tak melihatnya membalasku. Karena aku segera berpaling dan menghilang dalam gelap. Terimakasih.

Setting berubah menjadi panggung bobrok yang redup. 
Tak ada atmosfer yang baik, tak ada warna yang bukan monokrom. Selalu monokrom dan tetap monokrom.
Beban itu kembali dan sama sekali tak melempar senyum.
Bersyukurlah karena aku sudah memprediksi ini sebelumnya, tak kubawa kehati, nanti juga akan biasa.
Disuguhkan seperti ini merupakan ujian.
Dan aku tahu, esok pagi aku akan terbangun dengan suguhan sakit hati.

Dan ternyata memang benar.

***


haminsembilan, dibawah pohon willow, didalam menara tanpa lampu.


3.18.2012

Membelok sebentar.

Hilang ingatan, setelah jatuh dan terantuk,
bahkan untuk mengingat arah pulang,
hanya tersisa tentang hangat yang mulai memudar
mungkin belum hilang, tapi akan

bukankah telah berlari amat jauh hingga tersesat
lalu bayang di genangan menjadi seraut A
menggradasi, menimpa dan melarut

dari kesamaan kalimat hampir membutakan,
dari samanya yang tergenggam, dan tautan jari,
berlari lagi makin menjauh

bukankah udara masih mengikuti, dari gemersik yang terus mengingatkan?
bahwa semua hanya liburan pendek,
untuk memulai kusut yang harus diurai

mulai menemukan ujung jalan,
dari bunyi besi ayunan tua penuh karat
seperti hipnosis,
seperti desakan,
berayun tanpa sosok, dilambung tanpa pernah tahu,
terhempas kapan?

Hampir sampai batas,
hanya gara-gara dua lukisan,
persis,
mirip,
dan menyihir.



3.15.2012

Runaway.



Like you to stay
Want you to be my prize

***

3.07.2012

em.

Aku pun belum berani,
untuk berniat memiliki lagi,,
bukankah,
sesuatu yang berharga dan langka selalu lebih indah untuk tidak dimiliki?
Agar tak ada rasa takut kehilangan,
sehingga malah memasukkannya ke kotak kaca,
dan membuatnya layu,
tidak, aku tak berani,
bahkan untuk sekedar bermimpi,
akan kupandangi saja,
kukagumi,
dan kucintai tanpa kusentuh,
hanya menatapnya kadang-kadang,
lalu kemudian merindukan diam-diam,
akan indah,
walau tak menggapai,
itu adalah langkah,
untuk mengingatkanku,
tentang artinya rasa, seperti dulu,
yang berharga memang tak harus dimiliki,
jangan lagi layu,
jangan lagi karenaku...

Selalu.

Aku menyampaikannya,
pada setiap angin yang berhembus,
dari selatan ke utara...

dan kadang hujan berkhianat,
pada awan yang menjadikannya,
lupa pada desahan amanat,
dan terbawa sampai pulang ke laut...

biarpun,
selalu terpaku pada pandangan pertama,
diujung gigir sana,
tetap membeku sampai membatu,
membuat biru menjadi abu...

aku rindu,
aku membiru,
aku meragu,
hampir terbujur...

dari mata sayumu, kutukar banyak,
dengan senyum dan sedih,
lalu menggambar dipasir,
menghapusnya,
menggambarnya,
menghapusnya,
menggambarnya,
dan giliran ombak yang menghapusnya...

Kekasih,
biar kau rindukan tugu itu tetap berdiri seperti dulu,
tidak,
semua adalah lintasan masa yang sengaja ditukar,
dengan air dari mata,
dengan perih dari hati,
dan membuatnya jadi lenyap dengan buih

dari alis tebalmu,
tempatku mengusap dan mengecup,
banyak yang kuukir di perjalanan,
dengan lengan kurusmu, kau bantu cukilanku,
merengkuh,
membuat candu untukku

tahukah,
keajaiban adalah ketika mata bertemu dan aku tertawan,
lalu kucuri start dan arus kulawan,
mengenggam gelangmu, menggoreskan eyelinermu,
tak pernah bergeser hingga sekarang
dari setiap asap yang kau hembus,
rela kutukar dengan nitrogen yang kugadai

selamat meminta maaf,
bukan di altar meminta ampun,
bukan di tiang harapan digantung,
aku selalu percaya hati yang memilih dimilikimu

aku selalu percaya hatimu,
aku selalu mencintaimu,
aku selalu merindukanmu,
aku selalu memilihmu,
aku selalu, aku selalu, aku selalu,

aku selalu tersiksa karena semua itu kurasa.



***





Untuk, selamat dimintai maaf.

2.20.2012

Merindu

Semalaman merindu, sauh yang terlepas belum juga menampakkan jarak

Sedang apa disana? Pasti kau pun sangat merindu

Masih ingat dengan permainan pareidolia kita?

Tentang kelinci-kelinci bulan?

Sejenak aku menangkap tanyamu, sedikit getir,

'mengapa kita terjauhkan dari dermaga?'

Mungkin ya, dermaga kita berbeda

Disini dermaga kita, jauh dari rimbun hutan dan pasir putih yang berkilau

Tapi dermaga kita selalu bermandi cahaya

Walau cahaya ungu bernada sendu, tapi itu bukan dari Hungaria

Itu cahayamu, cahaya yang kau suka


Semalaman merindu, merindu semua jejak yang kau buat

Segera kembali dan tantang lagi dengan berani,

tentu saja, karena kita tidak menghamba pada yang tak ramah

kita bukan orang-orang kalah


Semalaman merindu, maka kuputuskan berbincang dengan Neruda

Ia menyisipi kertas usang dan segenggam makna,

kuputuskan,

ini untukmu..

Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman,
berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!
Kereta kini melaju menembus hujan tanpa diriku.
Di Taltal musim semi belum kunjung tiba.

Tapi aku dan engkau, kasihku, kita bersama-sama,
bersama dari pakaian hingga tulang,
bersama di musim gugur, di air kita, di pinggul,
hingga akhirnya hanya engkau, hanya daku, kita berdua.

Bayangkan betapa semua bebatuan itu diangkut sungai,
mengalir dari mulut sungai Boroa;
bayangkan, betapa bebatuan itu dipisahkan oleh kereta dan bangsa

Kita harus saling mencinta,
sementara yang lainnya semua kacau, laki-laki maupun perempuan,
dan bumi yang menghidupkan bunya anyelir.

(Soneta, Pablo Neruda)


Selatan Jakarta, 21/02/2012

1.30.2012

Di ZOE kita menatap mangkuk.

Seorang pak tua jenius mengajak kami di gigir senja
"Ayo bertemu di semangkuk zuppa soup!"

Kali ini, di semangkuk Zuppa Soup
Biasanya kami bertemu di gumpalan putih pada layar dua dimensi
Menghabiskan tawa untuk mencibir apa yang ada
Menonton manusia yang petentengan dengan isi otak yang sarat isi

"Banyak orang pintar tak beretika.
Malah meresahkan.
Wah, mending jadi orang bodoh dong?
Ya ngga gitu juga kali!
Hahaha o'on dipiara... kambing noh piara! Dasar kesrek.
Hihihi, liat tuh, wignya aduhai banget!
Noh noh liat, tampangnya kaya tukang begal
Gila ya, sekarang tuh masyarakat menciptakan hegemoni baru, dengan norma yang mereka buat sendiri
Random walk... maksudnya om?
biasakan menonton manusia yang tidak manusia...
hadeuh...
Zuppa soupnya gimana menurut lo?
Hmm, yang di pizza hut gurih banget om, enakan ini.
Zuppa soup darimana sih asalnya?
Dari........"

Lagi dan lagi, sebuah peta terbentang tidak harus di atas meja
Tidak harus dengan tatap mata yang serius
Atau airmuka yang jenius
Atau dengan proposal pelempar isu

Yang kali ini semangkuk zuppa soup
Cekungan dialog dan monolog yang selalu teraduk
Bertukaran saling silang,
tanpa tensi siapa yang lebih dan siapa yang kurang.

Semua adalah yang diperkenalkan oleh pak tua yang menyebalkan,
dan segala pemikiran jeniusnya yang menyenangkan.





***








Suatu sore di ZOE 30 Januari 2012 , 6 mata menatap semangkuk ide dan zuppa sup.
JJ, SG, UMT.

Cerita tentang 31 Januari


Suatu hari, seorang pesakitan melarikan diri dari penjara. Ia berbelok ke hutan namun tak ke pantai, karna ia bukan Cinta di AADC. Pakaiannya compang camping, dan tiba-tiba ia menemukan sebuah gubuk berpenghuni didalam hutan angker. Ia mengetuk pintu itu, si pemilik rumah hanya mengintip dari lubang intip di pintunya.
"Mau apa?"
"Aku pesakitan, melarikan diri karena tertekan. Tolong selamatkan aku."
"Selamatkan? Dengan resiko besar? Kau kira gratis?"
"Akan kubayar dengan apa saja."
"HARUS kau bayar dengan semua yang kau punya. Tapi jaminannya apa? Kau penjahat!"
"Aku bukan penjahat lagi, sumpah mati aku telah menyesal seumur hidupku atas semua kejahatan yang telah aku lakukan."
Si pemilik rumah membuka pintunya sedikit, namun tetap berantipati. Tak mungkin baginya mempercayai orang begitu saja.
"Apa jaminannya atas semua omonganmu?"
"Pegang semua omonganku, jika ada yang terlanggar, maka kau boleh membunuhku."
Si pemilik rumah berdehem memikirkan tawaran barusan. Baginya itu sangat menggiurkan.
"Baiklah, aku akan menolongmu. Tapi kau belum tahu siapa aku."
"Aku tahu, kau adalah penyelamatku."

Akhirnya si pemilik rumah membukakan pintu selebar mungkin, mempersilahkan si pesakitan untuk masuk ke rumahnya. Dengan telaten si pemilik rumah merawat semua derita si pesakitan sampai ia merasa sembuh benar. Pesakitan merasa berhutang nyawa dan janji, ia menggenapi semua omongannya tanpa ada yang terlanggar. Sayangnya, si pemilik rumah tetap seorang antagonis yang rakus. Tak puas baginya dengan hanya meminta si pesakitan menemani ia di gubuk itu. Ia ingin memilikinya, memiliki jiwanya kalau boleh. Obsesi yang kompulsif membuat matanya buta. Dari tangga atas ia ingin melompat lebih atas ke tangga yang paaaling atas. Pesakitan hanya bisa menggangguk karena selain rasa berhutangnya ia juga memiliki rasa sayang yang besar. Ia telah memiliki rasa kemanusiaan yang sempat hilang beberapa silam sebelum datangnya terang.

Si pemilik rumah bertransformasi menjadi antagonis yang buruk. Pesakitan kerap bilang, "baru kali ini ku temui manusia yang tidak dapat dijadikan teman atau musuh, tidak tertebak, dan sangat sempurna semua permainannya."
Pesakitan tahu, pemilik rumah yang kini ia sayangi adalah seorang lakon yang memiliki banyak topeng dan kemampuan memanipulasi panggung. Seberapa sakitnya ia disakiti pemilik rumah, ia tidak pernah melangkah pergi. Ia tetap menunggu pemilik rumah memakai topeng protagonisnya.

Suatu saat ketika bercengkrama sore dalam adukan kopi, pemilik rumah bertanya,
"Aku sudah sangat jahat. Kenapa kau tetap ingin berdiri dan berlari bersamaku?"
"Aku seperti bercermin denganmu, dulu aku adalah pesakitan yang sangat brengsek dan banyak melukai. Sekarang aku melihatnya pada dirimu, jika aku bisa berubah menjadi baik, kenapa kamu tidak?"
Pemilik rumah menatap dengan kelam manik mata si pesakitan. Beratus-ratus hari pesakitan telah menemaninya di gubuk itu, dengan segala penghormatan dan kenyamanan. Tak sekalipun janji dan omongannya terlanggar. Tapi ia sendiri? Melompat kesana kemari, berbuat sesuka hati, memasang tapal kuda di kaki si pesakitan agar mengetahui kemana ia pergi...
"Kadang berbicara denganmu lebih sulit daripada berbicara dengan Tuhan."
Kalimat yang membuat pemilik rumah memutuskan untuk mengosongkan semua ruang gelapnya. Memberinya lampu yang temaram agar ia bisa lebih meraba dalam remang.
Pemilik rumah memeluk pesakitan dengan erat, tertumpah semua rasa yang dipaksa terpendam dihatinya. Semua rasa kemanusiaan tentang kemanusiawian.
"Belum, mungkin belum sekarang. Tapi maukah kau menunggu?"
Pesakitan menggangguk dengan takzim membuncahkan semua rasa merah jambunya.
"Aku kan sudah janji, tetap berdiri dan menemanimu berlari..."

***



31 Januari 2012
Kado ulangtahun untuk yang tak pernah melanggar, dari yang mempunyai banyak topeng.
Love you so much, SG.

12.11.2011

not.

Light me up a cigarette and put it in my mouth

You’re the only that wants to die

And I can think of a thousand reasons why

I don’t believe in you, I don’t believe in you and i…

***

Sebab aku angin,

pergi dan mencari seribu alasan,

dan aku tetap tak percaya.



11.27.2011

Menyedihkan.

Bukan hanya dia, aku pun kehilangan kemampuanku untuk berimajinasi dan menulis lebih banyak seperti dulu. Semua menjadi sempit dan mau tak mau dimatikan. Bahkan aku tidak mampu lagi mengeja kata yang suku katanya berasal dari kata percaya. Mempercayai, dipercayai, mempercayakan, kepercayaan?

Terima kasih, karena pada kenyataannya aku telah banyak kehilangan. Dan makin bertambah daftar hal yang menjadi sesuatu yang kubenci. Padahal sebelumnya tidak. Menyedihkan sekali hidupku yang kali ini. Apakah ini sebuah fase yang sementara? Mungkin iya, jika aku lebih berani bertindak. Lebih tepatnya jika aku berani meninggalkan tempat yang sedang ku pijak saat ini. Tempat ini terlalu banyak mengumbar bau sampah yang bukan hanya sekedar busuk, tapi juga mematikan. Menggerogoti akal sehat yang sebelumnya dipupuk bertahun-tahun untuk melahirkan efek positif. Darimana semua ini berasal? Apa berasal dari dalam diriku? Seandainya, (oh Tuhan, Kau tahu betapa Kau membenci kata ini), seandainya dulu aku tak antusias menjejakkan kakiku di tempat ini. Aku dipaksa dan terpaksa melahirkan alter ego yang tak kusuka. Aku menjadi pengecut dan pecundang ditempat ini. Bahkan untuk alter ego yang tak pernah ku inginkan untuk muncul kembali. Aku terkukung dan terkekang, aku terpasung pada jiwa yang enggan menggelegak seperti dulu, setahun yang lalu.

Mungkin pada fase ini alteregoku melahirkan kepribadian baru yang memasuki garis lebih berbahaya dari yang sebelumnya. Kepribadian cenderung psikopat, dominan jahat, tetapi sangat pengecut. Bukan tokoh antagonis keren yang kerap ku imajikan. Bukan psikopat jenius yang rapi dan tenang dibawah permukaan. Berapa banyak lagi sekarang yang sudah ku anggap musuh? Padahal sebelumnya mereka itu siapa? Menyentuh kehidupanku pun tak pernah. Mengapa sekarang hanya ada dorongan kebencian bahkan hanya dengan mendengar nama-namanya disebut? Tidak, bukan hanya seorang, tapi banyak. Entah dua orang atau lebih yang kian menggerogoti rasa was-was dan ketidak tenanganku. Betapa hebat atmosfer kepengecutan ini mengganti semua organ positifku menjadi komponen yang sangat negative. Bahkan menggerogoti impian dan sumber semangatku.

Aku bahkan berani mendeklarasikan bahwa aku memang telah kehilangan diriku yang menyenangkan. Aku kembali membangun tembok-tembok karantinaku dan memagarinya dengan pagar listrik yang energinya berasal dari energi positifku. Terkuras habis tanpa daya, di tempat ini.

Mengapa aku berhenti menulis? Mengapa aku berhenti berimajinasi? Lebih parah lagi, mengapa aku berhenti tertawa dan memusuhi diri sendiri?

Tak pernah kujamah deretan alphabet di kotak ajaibku lagi, terabaikan. Bahkan untuk kertas kosong dan sebatang pena, seperti tak ada tenaga untuk menciptakan gaya gerak di ujung jari. Gagu dan gagap. Bodoh dan menderita. Menyedihkan sekali untuk yang kali ini, sampai-sampai aku mengucapkannya untuk kedua kali. Tak ada keinginan bahkan kemampuan. Ah, menyedihkan sekali.

***

Cukup untuk paragraph-paragraf ratapannya, sudahi sampai disini. Hari ini setahun yang lalu, aku tengah cengangas cengenges di tempat yang baru kukenal, Dikelilingi orang-orang yang sepertinya menyenangkan, mengawasi gerak gerik tokoh spesial yang begitu menarik penglihatan. Tapi hari ini di tahun ini, semua menjadi berbalik 180 derajat. Harusnya setahun yang lalu aku menyadari, itulah awal mula aku membuka gerbang pada dunia busuk yang sekarang merobek lembaranku yang menyenangkan.

***

Sahabatku bilang, -sahabat asapku-, kini aku terlihat tua dan depresi. Tentu saja, ia sangat tahu fase-fase yang telah kulewati, dan baru kali ini aku terlihat dimatanya menjadi sosok yang menyedihkan.

Dua sahabatku yang lain, -sahabat bodyguardku-, berpendapat bahwa sekarang aku bukan sosok menyenangkan dan ringan. Dulu mereka menganalogikan aku adalah sebuah balon ringan, berwarna, cemerlang, tetapi bisa meledak sewaktu-waktu.

Teman-temanku, baik teman kelompok AS, atau kelompok Cacat, berkata bahwa sekarang aku tidak segar bugar dan jauh dari jangkauan. Sebelumnya mereka selalu beranggapan kalau aku adalah sumber gravitasi perkumpulan mereka, tapi sekarang, aku mungkin adalah sumber depresi bagi siapa saja yang tersentuh atmosfer busukku.

Dan bagiku, aku bukanlah aku.

Menyedihkan.

***

10.02.2011

k e m a r i n

Menyaksikan senyum plastik dimana-mana,

cantik, tapi hampa,

palsu.

Semuanya.

Semuanya.

Semuanya.












2/10/2011
manekin-manekin.

9.30.2011

Pesawatku mendarat dimana?


Pesawatku bukan terbang ke bulan, apalagi ke matahari,
tapi,
pesawatku terbang ke tempat yang paling dekat dengan hati..



Tetapi kadang-kadang langit terlalu sombong
hingga tangan kita tak bisa menggapai untuk sekedar bermimpi,
tetap hanya bisa melihat dari jauh dengan terdongak,
dan apakah ia akan mengerti?
kenapa ia begitu tinggi?



Lalu perlahan, aku melihat pesawatku dimakan langit yang tengah pongah,
Melebur bersama udara kering dan abu-abu,
aku melihat semua menjadi semu bahkan untuk sesuatu yang mengguyurku menjadi beku,



kenapa tak jawab tanyaku?
apakah aku masih tetap dipersimpangan jalan, dan tetap membatu?
mengapa kamu bisu?

Aku sedang merasa,
sendiri,
sangat sendiri,
dan selalu sendiri.





Penghujung September 2011
Foto : Adnan Roesdi
Teks : Jayu Julie






9.29.2011

Dejavu; 13/12/2010

ditulis tanggal : 13 Desember 2010 jam 6:27

Dan hari pun dengan lancang berganti
membuat aku jadi berpikir tak mengerti, apakah yang kemarin?
Mimpi yang gontai dan lesu
dibuatnya setengah lelah, dalam mati yang pendek, hanya 2jam
mimpi picisan, dan pagi pun merutuk
garis hitam dibawah mata kian kelam dan melekuk
cermin cemberut;
sial, kau buat refleksiku di puncak kesempurnaan sebuah kegagalan
buruk rupa dan merusak mata
garis getir di bibir, dan pantulan retina yang terlalu 'macam-macam'
begitu katanya
ah persetan
terlalu banyak yang lancang dari sekedar membuka hari dengan sekedar mematut si burukrupa
seperti pemabuk yang mencoba mengingat kejadian semalam
inginnya melempar kucing dengan kaleng
biar bisingnya jadi dua kali
pagi ini biar kubuat kusut
aku benci langkah jumawa manusia pagi yang ku lihat dari jendela kamar
benci mereka yang antusias melihat matahari
benci bumbu-bumbu yang baunya mulai menguar dari dapur
aku benci karena telah merasa bermimpi
dan aku benci karena sekarang telah pagi
dan pecundang pun merapatkan tirainya
tanpa ampun mengusir celah
dengan pongah kembali rebah
melempar kotak kecil elektronik yang layarnya menyampaikan senyum dari sebrang,
'met pagi!'
cih selamat pagi, ini edisi spesial untukku
melanjutkan marah pada mimpi, lagi
selamat pagi matahari, kita bertemu siang nanti.



9.28.2011

Dari seberang rel kereta


Dari celah yang menyelusupkan angin, sedikit kering,
angin yang datangnya enggan berangkat
Melihat sedikit ke celah jeruji dan hanya kotak-kotak yang bergerak
di jalur abu-abu yang tak pernah sunyi
Seperti gerak lambat dalam frame, seperti intipan melalui milimeter lensa
Waktu bukan lagi malas bergerak, tapi juga malas merayap dan merangkak
Diam dan bergeming menjadi pilihan yang paling tak boleh di undi
Marah pada suara gemuruh sayap burung besi yang tak izin untuk lewat,
di utara yang membiru
Botol-botol tanpa isi digulirkan kembali untuk membuang menit detik yang makin pongah

Dari seberang rel kembali menatap kosong,
pada ruang yang telah lama menyisakan dingin berkepanjangan
Dari seberang rel kembali tegap tanpa gerak,
stasiun masih jauh,
berdiri bukan untuk menunggu kereta,

tapi menunggu datangnya jeda.






Lenteng Agung, 28 September 2011
dari seberang rel kereta.




9.24.2011

Ruang July


"Apa kita makhluk asing, di tengah mereka?"
"Mungkin kita freak, dan aneh.."
"Atau anggapan kita saja?"

Kepulan asap dan coklat pada cangkir. Perlahan mendingin, lalu kami menggoyangkannya agar ampasnya melebur.

"Begadang lagi?"
"Dengan senang hati," aku tersenyum dan membuka bungkus kedua.
"Tembok kita sepi..."
"Itu berarti belum ada yang menggoda lagi angklung hidup kita."
"Iya, biasanya berisik, lebih berisik dari tembok di jejaring sosial."

Kami menatap satu persatu goresan acak dan kotor, pada bidang yang tak bisa disebut putih lagi itu.
Lalu mencibir,
terkikik,
dan tertawa.

"Aku sedang warna merah muda."
Ya, aku tahu, akhir-akhir ini kamu sedang berwarna merah muda.
Lalu bola mata kami berhenti pada goresan nama yang sama, orang yang berbeda.
"Punyaku, akan ditinggalkan sebentar lagi." Tergores disana dan aku menyambutnya dengan cengiran.
Lalu punyaku, "merebut dia dari pacarnya.",
Kamu menyambung, "misiku berhasil, dan misimu gagal."
Kami terkikik lagi.
Bukti kegilaan kami yang kesekian pun ikut menertawai.

"Aku sedang abu-abu."
Kini giliran sebuah nama menjadi tempat mata kami tertumbuk.
Nama terakhir yang kugores.
Nama yang hampir mendominasi deretan goresan-goresanku itu.
29 April 2011, "dia lagi sakit, hampir seminggu. Aku harus membuatkannya sayur bayam! :)"
Kami menghela dan menghirup lagi antara abu-abu dan coklat yang mendingin.

Dikamar ini, hanya kami yang menyenanginya.





27/09/2011
Dikamar copy paste tempat semua asap dan asa keluar. Untuk kami para perempuan tangguh.
Julie & Julia


9.13.2011

I'histoire se repete!



Sejarah akan berulang,
ingin tidak ingin,
sadar tidak sadar
ini dejavu tentang Machbet yang berkudeta
dan Macduff yang akhirnya curiga

Tidak, Machbet tidak pernah berencana mengkudeta, ia hanya berdelusi waham kebesaran!
Bukankah ia bertemu tiga ahli nujum yang meramalnya akan menjadi penguasa besar?
Itu Machbet, kan?
Ini tidak dan ini bukan.
tapi.... sama-sama terlanjur akrab dengan kata rebut dan kudeta

haha

Macduff curiga dan marah
Hatinya tertutup kata terima
Hei, itu Macduff kan?
Ini tidak dan ini bukan.
tapi....... memang sama-sama merasa cemburu dan gelisah ditipu keterasingan

Hei Machbet, kau akan mati dengan kepala di tangan Macduff!
Hei Macduff, kau akan meraya karena kudeta digagalkan!
tapi, itu Machbet dan Macduff kan?
Ini tidak dan ini bukan.
Ini bukan tentang pengkhianatan dan bukan tentang rencana kudeta

haha

Ini adalah perjalanan
tentang kereta kuda yang melaju dipagut waktu
tanpa mantra atau ramalan ahli nujum
kereta yang sama,
jalan yang sama,
waktu yang sama,
dan....
perasaan yang sama.

I'histoire se repete!

Sejarah (memang) akan berulang,,
tapi... maukah menjadi penulis ulang sejarah dengan cerita yang baru?


***

"Rasanya seperti memesan capuccino kesukaan tapi barista malah membuatkan ekspresso strong 2 gelas. Banyak sih, tapi paiitt...."







Lenteng Agung, 13 September 2o11
*terimakasih untuk rasa sadarnya, semoga bukan untuk sementara dan bisa melaju lagi satu kereta suatu saat.










9.04.2011

jam pasir telah pecah

Jam pasir mengikis, lalu pecah
air menyurut sisakan kering
selamat berbahagia kata mereka
tapi tidak
disini makin membasah
ada parut terus menggerus
ada himpitan yang enggan menggembung, tak setolerir paru-paru
antara sesal dan kesal,
memburu dibelakang altar
sang penyelamat melepas tangan dan menjauh dengan wajah sama sedihnya
sama dalamnya paku terhujam

wajah-wajah itu menyambut hangat, tapi yg disambut dingin
ia hanya ingin penyelamatnya
memamerkan lagi penghiburannya dan menjala tawanya
tapi penyelamatnya hilang seiring bunyi seruling hammelin
hanya bisa meratap, tidak dengan airmata,
tapi dengan darah yang disayat dinadinya

ia memungut kaca jam pasir, tapi penyelamatnya tetap pergi
saat ini masih enggan berlari menyusuli,
tapi,
tetap berlutut, agar Tuhan memelihara bongkahan yang ada diantara ia dan penyelamatnya.


8.06.2011

(my) Gloomy Sunday


Bukankah resital telah berakhir?

Korden tertutup dan penonton lupa memberi tepuk tangan

Gloomy sunday mengalun sendu seperti warna ungu

Sendu Hungaria


Gloomy Sunday, gloomy sunday

membawa biru kembali menjadi abu

angin enggan lagi semilir di atas tanah basah

dari darah tergenang menginjak duri


gloomy sunday, gloomy sunday

matahari seperti kikir akan hangatnya

bahkan kepada awan yang menemaninya

juga kepada atmosfer yang menjaganya


Malam dan rahasianya, kembali mengutuk daun yang gemerisik

Diam!

Walau tak ingin diam memang sudah tak termaafkan

Lagu ninabobo dibuat sumbang tiap mata hampir terlelap


Gloomy sunday....

Bukankah resitalnya telah benar-benar berakhir?



Death is no dream

for in death i'm caressin' you

with the last breath of my soul

i'll be blessin' you

gloomy sunday...



Yogyakarta, 050811


7.19.2011

p a r e i d o l i a

Ambigu.
Kamu bilang aku melempar bahasa gagu, sekat iris matamu lalu jadi pekat.
Hitam.
Lalu, bagaimana aku harus menyampaikannya?

pareidolia

Ketika kita memandang langit yang sama, dan awan yang sama
Aku bilang kumulus itu adalah burung
Tapi kamu bilang itu adalah pesawat

pareidolia

Ketika kita melihat permukaan bulan di malam yang sama, dan ditempat yang sama
Aku bilang itu kelinci bulan
Tapi kamu bilang itu lubang kancing

pareidolia

Ketika kita menatap dari jauh segurat wajah yang mendekat
Aku bilang dia akan menjadi temanku
Tapi kamu bilang dia sudah menjadi musuhmu

refleksi berbeda dari titik sama
padahal itu hanya pareidolia
jauh berseberangan melempar
padahal itu hanya pareidolia
tangkapan pendengaran yang kontra
padahal itu hanya pareidolia

oposisi biner
lalu kita kembali ber-pareidolia

telekinetis mengundi bangku dan rekomposisi
kamu mengingatkanku bahwa itu semua hanya pareidolia
kamu mengajakku beranjak dari dunia pareidolia yang tak remeh

"samakan langkah dari pandangan yang berbeda, sayang."

kembali rebah di lapang rumput sambil memandang di biru yang sama
aku bilang langit itu abu-abu
aku kembali dengan bahasa gaguku,
tapi kamu bersenandung di sampingku,

"I once fell in love with you
Just because the sky turned from gray
Into blue.."*

***


*Good Friday- Cocorosie
Juli pada yang duapuluh







7.01.2011

n o c t u r n e


"Selamat datang diduniaku.." Lysander merentangkan tangannya sebagai sambutan sang tuan rumah. Aku memandang ke sekitar, ini adalah Nocturne, pijakan lompatanku yang paling jauh namun dijangkau dengan rentang waktu yang paling singkat.

Lysander menggamit tanganku dengan hangat dan membawaku ke meja pohonnya.
"Ini bulan Juli, bulan kesukaanmu. Tapi mengapa kau bisa di tempat ini, Nocturne adalah tempat yang suram walau namanya amat indah."
Aku memperhatikan tangan Lysander yang lincah meracik kopi favoritku. Lalu menghela pelan namun terdengar sampai seberang,
"Phantasmagoria telah menjadi dunia yang asing dan tak menyenangkan."
Lysander menatapku sejenak, meyelami kegalauan yang mengelebat dimanik mataku. Lalu dengan pelan bersenandung lirih dengan ciri khasnya, senandung nocturne.

"Her weary heavy head in the gallows and the graves of the milky milky cradle
His tears have turned to poppies
A shimmer in the midnight
A flower in the twilight"

"bagaimana kau tahu?"
Lysander tersenyum misterius dan menyodorkan kopi karamel kehadapanku.

"The course of true love never did run smooth"

Ia menyeruput kopinya sendiri dan mencondongkan tubuhnya ke arahku,
"Lihat bola matamu, tak berair tapi sendu. Ingin meratap kesedihan bahwa kau ingin percaya dengan Phantasmagoria tanpa delusi, tapi tak bisa.."
Belum senja di Nocturne, tapi tak ada awan kumulus yang menggantung di langitnya. Suram, dan tak seindah namanya.
"Aku bukannya tak percaya, tapi tak yakin.."
"Mengapa, dengan mencintai berarti itu keyakinan. Phantasmagoria tidak berubah, kau yang berubah..."
"...Dan ia pun menunggu kau kembali dengan kesiapannya menerima perubahanmu. Kau sebenarnya belum sampai ke tiang gantungan..."
Aku ingin memprotesnya tapi tak sempat, kembali ia menyenandungkan nocturne-nya,

"We're just two lost souls swimming in a fish bowl, year after year,
Running over the same old ground. How we found the same old fears. "

Aku membelalakkan mata dan melemparkan pandangan kesal ke arahnya,
"Tidak, hanya aku! Hanya aku yang disisi ketakutan."
"Tidak sayang, dia pun. Kalian sama. Kalian di sisi yang sama."
"Aku tak yakin, dia bisa dengan mudah melompat dari Phantasmagoria!"
"Lalu kenyataannya? Yang berada diluar Phantasmagoria sekarang adalah kau, bukan dia. Kau yang melompat dari sana. Dan dialah yang tetap disana."
Aku tercenung dan bermili air mulai mengumpul di pelupuk mata.
Dia, dia adalah alasan kenapa aku melompati Phantasmagoria dan berada di tempat suram ini. Menyadari bahwa aku benar-benar terdelusi dan tak berpegang lagi pada mimpi.

Lysander yang tampan membelai kelopak mataku dan menggenggam tanganku dengan hangat.
"Kembalilah dengan segera ke Phantasmagoria, kalahkan delusi dan lihat mimpinya."
Aku menyeka bulir pertama yang turun dipipiku,
"Ceritakan tentang Hermia."
Lysander terdiam dan sekilas matanya menyiratkan luka,
"Ia memilih membiara daripada mati di tiang gantungan karena menolak menikah dengan pria pilihan ayahnya. Ia seperti cawan Maria. Tapi itu bukan pilihanmu, kau punya kekuatan, tapi selalu kalah oleh kelemahan."
"Dan aku memang lebih baik sendiri." Aku menyambung perkataannya.
Lysander beranjak dan menuang kopinya lagi untukku,
"kau sangat keras kepala untuk hal ini."
"dia pun bilang begitu."
"Dan dia pun sama keras kepalanya denganmu, tapi dia yang sesungguhnya menang. Buktinya dia masih berjejak pada tanah Phantasmagoria."
Aku menatap riak kecil di cangkir kopiku.
"Ceritakan tentang dia." nada penekanan hadir di kalimat terakhir. Aku menghela nafas.

"Dia, dulu jauh dan tak tergapai.
Nama dunia yang ku pijak kala itu adalah As.
Bermain roulette rusia di tiap menyapanya.
Berjudi setengah mati berharap ujung jarum berpihak padaku.
Aku tenggelam dalam permainan, dan sadar ketika aku sudah terjebak di kubangan.
Lalu aku melompat ke dunia Suicide.
Aku nekat untuk berjalan disampingnya.
lalu ia mengajarkan aku menjadi pelari dan petangguh.
sehingga aku kembali melompat dan akhirnya menjejak pada dunia pencapaianku, Phantasmagoria."
Aku menatap mata Lysander berharap ia menginterupsi pembicaraanku. Tapi Lysander hanya mengangguk, berisyarat bahwa ia hanya ingin diam dan mendengarkan.
"Lalu aku pun terperangkap delusi yang ku ciptakan sendiri."

Delusi, ya, delusi.
Aku terperangkap delusi dan membuyarkan semua mimpi kami sebagai pelari.
Dia yang menawarkan untuk menggantikanku ditiang gantungan, tapi aku menolaknya mentah-mentah dan berkeras kepala.
"Lalu kau pun menyakitinya dan menyakiti dirimu, benar kan?"
Aku tahu itu tak perlu jawaban. Aku mencumbu pekat kopi didasar cangkir.
"Delusi merusak pandanganmu dan memburukkan lisanmu."
Ya, dan itu tak bisa dibendung.

"You don't wanna hurt me,
But see how deep the bullet lies.
Unaware that I'm tearing you asunder.
There's a thunder in our hearts, baby."

Senandung Lysander telak membuatku tergagap. Mengapa di dunia yang kulompati paling jauh ini ia tahu apa yang ada didalam hatiku saat ini? Dan apakah dia yang berada di Phantasmagoria sama tahunya dengan Lysander?
"Tentu ia tahu sayang, sangat tahu."
Aku menangis tanpa malu, mengingatnya yang menunggu.
"Kau ingin disini dulu untuk sementara?"
Aku mengangguk dalam sesengguk.
"Hanya untuk sementara kan?"
Aku mengangguk lagi, "tapi aku belum tahu sampai kapan.."
Lysander membelai rambutku, mengangkat daguku hingga mendongak,
"Ada yang ingin kau sampaikan padanya tanpa nocturne?"
Aku menatap manik matanya dengan yakin,

"Sampaikan padanya, aku mencintainya, dan berharap ia masih sabar menunggu."


***




*Lysander-William Shakespeare, Midsummer night's dream, Gallows-Cocorosie, Wish you were here-Rasputina, Running up the hill-Placebo.



Ruang mati suri, Juli pada yang dua.
01.00 am