10.30.2012

Segitiga.



Seorang residivis yang divonis hukuman mati kabur dari tahanan, lari ke hutan dan tersesat hingga dehidrasi.
Tiga hari terkapar di atas dedaunan kering. Luka yang memborok, pandangan yang kian kabur.
Dalam hati ia berdoa, "Tuhan, utuslah seseorang untuk menolongku. Tolonglah aku dengan caraMu"
Tapi hatinya yang lain sangsi atas apa yang ia minta.
"Ya, terserah cara-Mu."

Saat senja, seorang gadis kecil menghampiri, residivis bersorak dalam hati.
Dalam bias pada retinanya, gadis kecil itu seperti malaikat tak bersayap.

Kini mereka dalam jarak hanya 3 langkah.
Residivis tersenyum pada gadis kecil, "terpujilah malaikat penolongku."
Gadis kecil tersenyum pada residivis, berkata dalam hati,

"Malam ini kami akan makan daging. Akhirnya."

10.26.2012

Tentang 'Kanibal'.

Tepat pukul 4 sore, saat kopiku telah setengah cangkir lagi, saat bau sate mulai menguar dari dapur, dan saat Kurt Nyobain menunjukkan durasi 3 jam lebih 14 menit, akhirnya Kanibal-ku rampung. Menyelesaikan tulisan yang tak seberapa itu -buatku- ternyata membutuhkan waktu lebih dari 72 jam. Hingga ke titik terakhir pada paragraf terakhir, tanpa footnote. Itu belum termasuk penundaan dan jeda panjang atas alasan mood swings yang selalu memenangkan kendali.

Kanibal harusnya untuk 11 November-ku. Panjangnya hanya 1500 kata. Dengan pergantian judul sebanyak 9 kali, dan skripsiku sendiri berganti judul sebanyak 7 kali.

Kanibal bercerita tentang... atau menceritakan tentang... 
Entah apa yang mungkin disebut Sapardi sebagai tulisan yang terlalu emosional. Yang konon katanya beliau sendiri jika menulis selalu tanpa emosional. Bagaimana bisa?? Jika sepenggal sajaknya saja bisa menjadi begitu fenomenal dan melekat kuat dibenak para pendayu-dayu!

Kanibal ini...
Mungkin terlalu berlebihan jika aku menulis 1500 kata saja dengan menghabiskan beberapa hari. Karena yaa seperti disebut di awal, tulisan ini terlalu melibatkan ke-emosional-anku. Hingga mungkin sama sekali tak ada humor didalamnya kecuali sarkasme yang terkesan dipaksakan. Seolah-olah tulisan ini adalah tulisan terakhir seseorang yang sebentar lagi bunuh diri. 

Bagaimana rasanya menjadi penyendiri yang menyukai rasa sakit?
Ketika orang lain membaur dalam euforia kebebasan, ia sendiri malah mencari lautan nestapa untuk tenggelam dalam paradoks euforia itu. 
Ketika hidupnya dia bungkus dalam kotak monokrom,
Buku-buku di rak ia ganti menjadi pion-pion catur yang diletakkan secara acak.
Ketika ia lebih senang melihat ikan yang telah mengapung dengan perut yang menggembung di akuarium.
Dan ketika ia mulai merasa bosan, ingin sesuatu yang segar..... seperti daging.
Daging merah yang berkebalikan dengan dunia monokrom-nya.

Kanibal buatku seperti...
Seperti berlibur ke-lautan metafora. 
Dimana kita bisa tenggelam dan mengapung,
sesuai kadar garam untuk memerihkan luka.



Penghujung Oktober,
gelap gulita di Phantasmagoria.

*Pengantar tulisan ke 8, antologi 'Sirkus Alterego'