8.14.2012

#2 Kopi Antagonis

Semalam, pukul 11, aku menyeret langkahku ke kedai kopi di seberang rumah mukimku.
Pintu berderit ketika kubuka, barista menyambut dengan senyum yang terlalu lebar.
Untuk orang seskeptis diriku, senyuman-senyuman itu menjadi basi. Basa yang basi. Mereka yang terkonstruksi untuk memberikan senyum palsu pada orang yang mau bersimbiosa dengan pundi mereka. Untuk kali ini aku menaikkan daguku dan melengkungkan bibirku kebawah.
"Ekspresso." Ujarku dengan nada memerintah, bukan meminta. Dalam hati aku tersenyum menang.
Barista mengangguk dan tentu saja tak akan pernah acuh dengan gestur kesombonganku barusan. Aku tak peduli. Kepuasanku adalah ketika orang-orang palsu tadi harus tetap memberikan senyum palsunya walaupun pada yang tak ramah.
Aku memilih bangku disudut dalam yang posisinya kelihatan paling tidak kaku. Konsep interior kedai ini sungguh aneh. Bangku-bangku itu terasa lebih cocok ditempatkan di perpustakaan daripada di kedai kopi yang harusnya dibuat hangat. Rak-rak buku yang mungkin awalnya dijadikan untuk pemanis ruangan malah terlihat seperti 'pengeroyok' ketenangan yang kayunya terlalu menjulang. Tembok disenadakan dengan warna suguhan utama dikedai ini; coklat, krem dan hitam. Dibuat seolah-olah menegaskan bahwa tempat ini mau bagaimanapun adalah kedai kopi. Bangku berwarna kopi. Meja berwarna kopi. Tirai berwarna kopi. Dan barista yang tersenyum terlalu lebar dengan senyum kopi-nya, manis yang terlalu manis dan pahit yang terlalu pahit. Bukankah lebih baik ruangan ini disentuh warna sebaliknya? Warna terang atau pastel, yang membuat suguhan utama disini menjadi masterpis bagi maestro dan penggemarnya. Interior ruangan ini membuatku seperti dipaksa menceburkan diri ke lautan kopi.

Selera yang sangat payah.

Tapi yang paling payah adalah orang yang secara sadar memilih tempat yang berselera payah ini.
Waitress datang membawa pesanan dan memutus sesi penilaianku terhadap ruangan ini.
Aku hanya meregangkan bibir dan menaikkan alis seperlunya ketika perempuan itu menaruh ekspresso-ku di atas meja. Ia tersenyum dan berlalu, tetap dengan senyum basa basinya.
Seusai cangkir tersuguhkan, moodku perlahan naik menjadi setengah nyaman. Aku menatap refleksiku dipermukaan cairan hitam pekat. Bulat disana, dengan mata, hidung dan bibir yang saling berkerut. Ekspresi ekspresso. Selalu pahit dan beku. Kafein keras itu hanya memenuhi seperempat dasar cangkir, tapi pahitnya sudah menusuk pangkal penciuman. Aku menghirupnya dalam-dalam dan impulsif. Sebelum akhirnya lidahku berteriak untuk meminta haknya mengecap. Penciumanku mengalah.

Ekspresi ekspresso.
Rasa kosmik yang datangnya dari planet selain Mars.
Membuat kontradiksi antara perasa dan perasaan; pahit tapi membuat kepuasaan.
Seperti orgasme dengan semesta.
Rasa getir ini menghinggapi tulang rusuk, menjalari takut menjadi lumat.
Menggandakan detak jantung hingga posesif.
Tak lagi mempertanyakan, haruskah aku menjadi protagonis palsu?
Merenda hidup dengan banyak vokal untuk meraih lebih banyak,
lebih tinggi,
menjadi konsumtif penyembah kotak pandora.
Menyergap dilema, dan membelok lebih jauh.

Aku menyesap pahitnya dari ujung lidah sampai pangkal lidah. Respon otak menggerakkan kerutan dikening dan kerongkongan yang memberontak atas citarasa yang terlalu memelintir. Satu koma dua miligram kafein hanyut dilebur darah, diremas aliran yang kian deras dan memompa jantung menjadi agresif.

Inilah citarasa antagonis yang agung.
Pahit, sedikit getir, dan memberontak.

1 comment:

  1. Wanita berkerudung hitam,bertongkat dendam.meluruh oleh kepahitan yang dinikmatinya menjadi sebuah keseimbangan logika, rasa dan pengalaman indera.

    ReplyDelete

Pembaca yang baik, pasti meninggalkan komen, kripik dan saran..