Semalam, pukul 11, aku menyeret
langkahku ke kedai kopi di seberang rumah mukimku.
Pintu berderit ketika kubuka,
barista menyambut dengan senyum yang terlalu lebar.
Untuk orang seskeptis diriku,
senyuman-senyuman itu menjadi basi. Basa yang basi. Mereka yang terkonstruksi
untuk memberikan senyum palsu pada orang yang mau bersimbiosa dengan pundi
mereka. Untuk kali ini aku menaikkan daguku dan melengkungkan bibirku kebawah.
"Ekspresso." Ujarku
dengan nada memerintah, bukan meminta. Dalam hati aku tersenyum menang.
Barista mengangguk dan tentu
saja tak akan pernah acuh dengan gestur kesombonganku barusan. Aku tak peduli.
Kepuasanku adalah ketika orang-orang palsu tadi harus tetap memberikan senyum
palsunya walaupun pada yang tak ramah.
Aku memilih bangku disudut dalam
yang posisinya kelihatan paling tidak kaku. Konsep interior kedai ini sungguh
aneh. Bangku-bangku itu terasa lebih cocok ditempatkan di perpustakaan daripada
di kedai kopi yang harusnya dibuat hangat. Rak-rak buku yang mungkin awalnya
dijadikan untuk pemanis ruangan malah terlihat seperti 'pengeroyok' ketenangan
yang kayunya terlalu menjulang. Tembok disenadakan dengan warna suguhan utama
dikedai ini; coklat, krem dan hitam. Dibuat seolah-olah menegaskan bahwa tempat
ini mau bagaimanapun adalah kedai kopi. Bangku berwarna kopi. Meja berwarna
kopi. Tirai berwarna kopi. Dan barista yang tersenyum terlalu lebar dengan
senyum kopi-nya, manis yang terlalu manis dan pahit yang terlalu pahit.
Bukankah lebih baik ruangan ini disentuh warna sebaliknya? Warna terang atau
pastel, yang membuat suguhan utama disini menjadi masterpis bagi maestro dan
penggemarnya. Interior ruangan ini membuatku seperti dipaksa menceburkan diri
ke lautan kopi.
Selera yang sangat payah.
Tapi yang paling payah adalah
orang yang secara sadar memilih tempat yang berselera payah ini.
Waitress datang membawa pesanan
dan memutus sesi penilaianku terhadap ruangan ini.
Aku hanya meregangkan bibir dan
menaikkan alis seperlunya ketika perempuan itu menaruh ekspresso-ku di atas
meja. Ia tersenyum dan berlalu, tetap dengan senyum basa basinya.
Seusai cangkir tersuguhkan,
moodku perlahan naik menjadi setengah nyaman. Aku menatap refleksiku
dipermukaan cairan hitam pekat. Bulat disana, dengan mata, hidung dan bibir
yang saling berkerut. Ekspresi ekspresso. Selalu pahit dan beku. Kafein keras
itu hanya memenuhi seperempat dasar cangkir, tapi pahitnya sudah menusuk
pangkal penciuman. Aku menghirupnya dalam-dalam dan impulsif. Sebelum akhirnya
lidahku berteriak untuk meminta haknya mengecap. Penciumanku mengalah.
Ekspresi ekspresso.
Rasa kosmik yang datangnya dari planet selain Mars.
Membuat kontradiksi antara perasa dan perasaan; pahit tapi membuat
kepuasaan.
Seperti orgasme dengan semesta.
Rasa getir ini menghinggapi tulang rusuk, menjalari takut menjadi
lumat.
Menggandakan detak jantung hingga posesif.
Tak lagi mempertanyakan, haruskah aku menjadi protagonis palsu?
Merenda hidup dengan banyak vokal untuk meraih lebih banyak,
lebih tinggi,
menjadi konsumtif penyembah kotak pandora.
Menyergap dilema, dan membelok lebih jauh.
Aku menyesap pahitnya dari ujung
lidah sampai pangkal lidah. Respon otak menggerakkan kerutan dikening dan
kerongkongan yang memberontak atas citarasa yang terlalu memelintir. Satu koma
dua miligram kafein hanyut dilebur darah, diremas aliran yang kian deras dan
memompa jantung menjadi agresif.
Inilah citarasa antagonis yang
agung.
Pahit, sedikit getir, dan
memberontak.
Wanita berkerudung hitam,bertongkat dendam.meluruh oleh kepahitan yang dinikmatinya menjadi sebuah keseimbangan logika, rasa dan pengalaman indera.
ReplyDelete