12.11.2011

La maison de mon rêve.

il n'y a pas de clôture,
il n'y pas de portes,
sans fenêtre,
Il n'ya que moi,
et mon souffle,
propres.

Et maintenant nous sommes tout seuls
Perdus les rêves de s'aimer
Le temps où on avait rien fait
Il nous reste toute une vie pour pleurer
Et maintenant nous sommes tout seuls.



not.

Light me up a cigarette and put it in my mouth

You’re the only that wants to die

And I can think of a thousand reasons why

I don’t believe in you, I don’t believe in you and i…

***

Sebab aku angin,

pergi dan mencari seribu alasan,

dan aku tetap tak percaya.



11.27.2011

Menyedihkan.

Bukan hanya dia, aku pun kehilangan kemampuanku untuk berimajinasi dan menulis lebih banyak seperti dulu. Semua menjadi sempit dan mau tak mau dimatikan. Bahkan aku tidak mampu lagi mengeja kata yang suku katanya berasal dari kata percaya. Mempercayai, dipercayai, mempercayakan, kepercayaan?

Terima kasih, karena pada kenyataannya aku telah banyak kehilangan. Dan makin bertambah daftar hal yang menjadi sesuatu yang kubenci. Padahal sebelumnya tidak. Menyedihkan sekali hidupku yang kali ini. Apakah ini sebuah fase yang sementara? Mungkin iya, jika aku lebih berani bertindak. Lebih tepatnya jika aku berani meninggalkan tempat yang sedang ku pijak saat ini. Tempat ini terlalu banyak mengumbar bau sampah yang bukan hanya sekedar busuk, tapi juga mematikan. Menggerogoti akal sehat yang sebelumnya dipupuk bertahun-tahun untuk melahirkan efek positif. Darimana semua ini berasal? Apa berasal dari dalam diriku? Seandainya, (oh Tuhan, Kau tahu betapa Kau membenci kata ini), seandainya dulu aku tak antusias menjejakkan kakiku di tempat ini. Aku dipaksa dan terpaksa melahirkan alter ego yang tak kusuka. Aku menjadi pengecut dan pecundang ditempat ini. Bahkan untuk alter ego yang tak pernah ku inginkan untuk muncul kembali. Aku terkukung dan terkekang, aku terpasung pada jiwa yang enggan menggelegak seperti dulu, setahun yang lalu.

Mungkin pada fase ini alteregoku melahirkan kepribadian baru yang memasuki garis lebih berbahaya dari yang sebelumnya. Kepribadian cenderung psikopat, dominan jahat, tetapi sangat pengecut. Bukan tokoh antagonis keren yang kerap ku imajikan. Bukan psikopat jenius yang rapi dan tenang dibawah permukaan. Berapa banyak lagi sekarang yang sudah ku anggap musuh? Padahal sebelumnya mereka itu siapa? Menyentuh kehidupanku pun tak pernah. Mengapa sekarang hanya ada dorongan kebencian bahkan hanya dengan mendengar nama-namanya disebut? Tidak, bukan hanya seorang, tapi banyak. Entah dua orang atau lebih yang kian menggerogoti rasa was-was dan ketidak tenanganku. Betapa hebat atmosfer kepengecutan ini mengganti semua organ positifku menjadi komponen yang sangat negative. Bahkan menggerogoti impian dan sumber semangatku.

Aku bahkan berani mendeklarasikan bahwa aku memang telah kehilangan diriku yang menyenangkan. Aku kembali membangun tembok-tembok karantinaku dan memagarinya dengan pagar listrik yang energinya berasal dari energi positifku. Terkuras habis tanpa daya, di tempat ini.

Mengapa aku berhenti menulis? Mengapa aku berhenti berimajinasi? Lebih parah lagi, mengapa aku berhenti tertawa dan memusuhi diri sendiri?

Tak pernah kujamah deretan alphabet di kotak ajaibku lagi, terabaikan. Bahkan untuk kertas kosong dan sebatang pena, seperti tak ada tenaga untuk menciptakan gaya gerak di ujung jari. Gagu dan gagap. Bodoh dan menderita. Menyedihkan sekali untuk yang kali ini, sampai-sampai aku mengucapkannya untuk kedua kali. Tak ada keinginan bahkan kemampuan. Ah, menyedihkan sekali.

***

Cukup untuk paragraph-paragraf ratapannya, sudahi sampai disini. Hari ini setahun yang lalu, aku tengah cengangas cengenges di tempat yang baru kukenal, Dikelilingi orang-orang yang sepertinya menyenangkan, mengawasi gerak gerik tokoh spesial yang begitu menarik penglihatan. Tapi hari ini di tahun ini, semua menjadi berbalik 180 derajat. Harusnya setahun yang lalu aku menyadari, itulah awal mula aku membuka gerbang pada dunia busuk yang sekarang merobek lembaranku yang menyenangkan.

***

Sahabatku bilang, -sahabat asapku-, kini aku terlihat tua dan depresi. Tentu saja, ia sangat tahu fase-fase yang telah kulewati, dan baru kali ini aku terlihat dimatanya menjadi sosok yang menyedihkan.

Dua sahabatku yang lain, -sahabat bodyguardku-, berpendapat bahwa sekarang aku bukan sosok menyenangkan dan ringan. Dulu mereka menganalogikan aku adalah sebuah balon ringan, berwarna, cemerlang, tetapi bisa meledak sewaktu-waktu.

Teman-temanku, baik teman kelompok AS, atau kelompok Cacat, berkata bahwa sekarang aku tidak segar bugar dan jauh dari jangkauan. Sebelumnya mereka selalu beranggapan kalau aku adalah sumber gravitasi perkumpulan mereka, tapi sekarang, aku mungkin adalah sumber depresi bagi siapa saja yang tersentuh atmosfer busukku.

Dan bagiku, aku bukanlah aku.

Menyedihkan.

***

10.02.2011

k e m a r i n

Menyaksikan senyum plastik dimana-mana,

cantik, tapi hampa,

palsu.

Semuanya.

Semuanya.

Semuanya.












2/10/2011
manekin-manekin.

10.01.2011

Like i L O V E u



"They don't love you like i love you!"



9.30.2011

Pesawatku mendarat dimana?


Pesawatku bukan terbang ke bulan, apalagi ke matahari,
tapi,
pesawatku terbang ke tempat yang paling dekat dengan hati..



Tetapi kadang-kadang langit terlalu sombong
hingga tangan kita tak bisa menggapai untuk sekedar bermimpi,
tetap hanya bisa melihat dari jauh dengan terdongak,
dan apakah ia akan mengerti?
kenapa ia begitu tinggi?



Lalu perlahan, aku melihat pesawatku dimakan langit yang tengah pongah,
Melebur bersama udara kering dan abu-abu,
aku melihat semua menjadi semu bahkan untuk sesuatu yang mengguyurku menjadi beku,



kenapa tak jawab tanyaku?
apakah aku masih tetap dipersimpangan jalan, dan tetap membatu?
mengapa kamu bisu?

Aku sedang merasa,
sendiri,
sangat sendiri,
dan selalu sendiri.





Penghujung September 2011
Foto : Adnan Roesdi
Teks : Jayu Julie






9.29.2011

Dejavu; 13/12/2010

ditulis tanggal : 13 Desember 2010 jam 6:27

Dan hari pun dengan lancang berganti
membuat aku jadi berpikir tak mengerti, apakah yang kemarin?
Mimpi yang gontai dan lesu
dibuatnya setengah lelah, dalam mati yang pendek, hanya 2jam
mimpi picisan, dan pagi pun merutuk
garis hitam dibawah mata kian kelam dan melekuk
cermin cemberut;
sial, kau buat refleksiku di puncak kesempurnaan sebuah kegagalan
buruk rupa dan merusak mata
garis getir di bibir, dan pantulan retina yang terlalu 'macam-macam'
begitu katanya
ah persetan
terlalu banyak yang lancang dari sekedar membuka hari dengan sekedar mematut si burukrupa
seperti pemabuk yang mencoba mengingat kejadian semalam
inginnya melempar kucing dengan kaleng
biar bisingnya jadi dua kali
pagi ini biar kubuat kusut
aku benci langkah jumawa manusia pagi yang ku lihat dari jendela kamar
benci mereka yang antusias melihat matahari
benci bumbu-bumbu yang baunya mulai menguar dari dapur
aku benci karena telah merasa bermimpi
dan aku benci karena sekarang telah pagi
dan pecundang pun merapatkan tirainya
tanpa ampun mengusir celah
dengan pongah kembali rebah
melempar kotak kecil elektronik yang layarnya menyampaikan senyum dari sebrang,
'met pagi!'
cih selamat pagi, ini edisi spesial untukku
melanjutkan marah pada mimpi, lagi
selamat pagi matahari, kita bertemu siang nanti.



selamat pagi di pengakhiran.

Merasakan yang paling sakit di ulu hati bukan atas lisan yang tersembur, tapi,
karena ternyata harus mengakhiri mimpi yang telah di buat panjang

Bangunlah!

Bukan waktunya untuk jatuh karena berdamai dengan diri sendiri pun belum berhasil.

Mengakhiri mimpi,
membakar kertas skenario yang dirancang jauh hari,
menghujamkan mata pisau lebih dalam lagi,
menutup mata dari tatapan kosong di pengakhiran
bukan ini yang di mau,
sakitnya bukan kepalang bahkan untuk jangka yang panjang.

terimakasih untuk pembaringannya hingga sempat bermimpi indah

9.28.2011

Dari seberang rel kereta


Dari celah yang menyelusupkan angin, sedikit kering,
angin yang datangnya enggan berangkat
Melihat sedikit ke celah jeruji dan hanya kotak-kotak yang bergerak
di jalur abu-abu yang tak pernah sunyi
Seperti gerak lambat dalam frame, seperti intipan melalui milimeter lensa
Waktu bukan lagi malas bergerak, tapi juga malas merayap dan merangkak
Diam dan bergeming menjadi pilihan yang paling tak boleh di undi
Marah pada suara gemuruh sayap burung besi yang tak izin untuk lewat,
di utara yang membiru
Botol-botol tanpa isi digulirkan kembali untuk membuang menit detik yang makin pongah

Dari seberang rel kembali menatap kosong,
pada ruang yang telah lama menyisakan dingin berkepanjangan
Dari seberang rel kembali tegap tanpa gerak,
stasiun masih jauh,
berdiri bukan untuk menunggu kereta,

tapi menunggu datangnya jeda.






Lenteng Agung, 28 September 2011
dari seberang rel kereta.




9.24.2011

Ruang July


"Apa kita makhluk asing, di tengah mereka?"
"Mungkin kita freak, dan aneh.."
"Atau anggapan kita saja?"

Kepulan asap dan coklat pada cangkir. Perlahan mendingin, lalu kami menggoyangkannya agar ampasnya melebur.

"Begadang lagi?"
"Dengan senang hati," aku tersenyum dan membuka bungkus kedua.
"Tembok kita sepi..."
"Itu berarti belum ada yang menggoda lagi angklung hidup kita."
"Iya, biasanya berisik, lebih berisik dari tembok di jejaring sosial."

Kami menatap satu persatu goresan acak dan kotor, pada bidang yang tak bisa disebut putih lagi itu.
Lalu mencibir,
terkikik,
dan tertawa.

"Aku sedang warna merah muda."
Ya, aku tahu, akhir-akhir ini kamu sedang berwarna merah muda.
Lalu bola mata kami berhenti pada goresan nama yang sama, orang yang berbeda.
"Punyaku, akan ditinggalkan sebentar lagi." Tergores disana dan aku menyambutnya dengan cengiran.
Lalu punyaku, "merebut dia dari pacarnya.",
Kamu menyambung, "misiku berhasil, dan misimu gagal."
Kami terkikik lagi.
Bukti kegilaan kami yang kesekian pun ikut menertawai.

"Aku sedang abu-abu."
Kini giliran sebuah nama menjadi tempat mata kami tertumbuk.
Nama terakhir yang kugores.
Nama yang hampir mendominasi deretan goresan-goresanku itu.
29 April 2011, "dia lagi sakit, hampir seminggu. Aku harus membuatkannya sayur bayam! :)"
Kami menghela dan menghirup lagi antara abu-abu dan coklat yang mendingin.

Dikamar ini, hanya kami yang menyenanginya.





27/09/2011
Dikamar copy paste tempat semua asap dan asa keluar. Untuk kami para perempuan tangguh.
Julie & Julia


Yang belum terjawab, dan masih koma,

Orang -orang yang memakai topeng, atau aku yang sendirian bertopeng?
Sedikit mengesalkan ketika terbangun ternyata bumi masih berputar dari kiri ke kanan, atau kanan ke kiri?
Mengapa ketika terbangun langit tidak abu dan hujan tidak turun?
Mengapa anak tetangga sebelah tetap menangis di pagi hari, di tempat dan jam yang sama?
Mengapa aku masih memutar lagu yang sama di list itunes-ku?
Mengapa aku masih mencintai orang yang sama dan membenci wajah yang sama?
Mengapa semua sepertinya memang harus berjalan begitu adanya dan tidak ada yang 'menyengat'?
Bolehkah?

Ketika ku seduh kopi, kenapa kopinya masih sama?
Ketika aku menyapa teman, kenapa kalimat sapanya masih sama?
Ketika aku menyalakan TV, kenapa program favoritku masih sama?

Mengapa tidak ada yang mengetuk pintu, dan memberiku kejutan 'menyengat'?


9.13.2011

I'histoire se repete!



Sejarah akan berulang,
ingin tidak ingin,
sadar tidak sadar
ini dejavu tentang Machbet yang berkudeta
dan Macduff yang akhirnya curiga

Tidak, Machbet tidak pernah berencana mengkudeta, ia hanya berdelusi waham kebesaran!
Bukankah ia bertemu tiga ahli nujum yang meramalnya akan menjadi penguasa besar?
Itu Machbet, kan?
Ini tidak dan ini bukan.
tapi.... sama-sama terlanjur akrab dengan kata rebut dan kudeta

haha

Macduff curiga dan marah
Hatinya tertutup kata terima
Hei, itu Macduff kan?
Ini tidak dan ini bukan.
tapi....... memang sama-sama merasa cemburu dan gelisah ditipu keterasingan

Hei Machbet, kau akan mati dengan kepala di tangan Macduff!
Hei Macduff, kau akan meraya karena kudeta digagalkan!
tapi, itu Machbet dan Macduff kan?
Ini tidak dan ini bukan.
Ini bukan tentang pengkhianatan dan bukan tentang rencana kudeta

haha

Ini adalah perjalanan
tentang kereta kuda yang melaju dipagut waktu
tanpa mantra atau ramalan ahli nujum
kereta yang sama,
jalan yang sama,
waktu yang sama,
dan....
perasaan yang sama.

I'histoire se repete!

Sejarah (memang) akan berulang,,
tapi... maukah menjadi penulis ulang sejarah dengan cerita yang baru?


***

"Rasanya seperti memesan capuccino kesukaan tapi barista malah membuatkan ekspresso strong 2 gelas. Banyak sih, tapi paiitt...."







Lenteng Agung, 13 September 2o11
*terimakasih untuk rasa sadarnya, semoga bukan untuk sementara dan bisa melaju lagi satu kereta suatu saat.










9.04.2011

jam pasir telah pecah

Jam pasir mengikis, lalu pecah
air menyurut sisakan kering
selamat berbahagia kata mereka
tapi tidak
disini makin membasah
ada parut terus menggerus
ada himpitan yang enggan menggembung, tak setolerir paru-paru
antara sesal dan kesal,
memburu dibelakang altar
sang penyelamat melepas tangan dan menjauh dengan wajah sama sedihnya
sama dalamnya paku terhujam

wajah-wajah itu menyambut hangat, tapi yg disambut dingin
ia hanya ingin penyelamatnya
memamerkan lagi penghiburannya dan menjala tawanya
tapi penyelamatnya hilang seiring bunyi seruling hammelin
hanya bisa meratap, tidak dengan airmata,
tapi dengan darah yang disayat dinadinya

ia memungut kaca jam pasir, tapi penyelamatnya tetap pergi
saat ini masih enggan berlari menyusuli,
tapi,
tetap berlutut, agar Tuhan memelihara bongkahan yang ada diantara ia dan penyelamatnya.


8.06.2011

(my) Gloomy Sunday


Bukankah resital telah berakhir?

Korden tertutup dan penonton lupa memberi tepuk tangan

Gloomy sunday mengalun sendu seperti warna ungu

Sendu Hungaria


Gloomy Sunday, gloomy sunday

membawa biru kembali menjadi abu

angin enggan lagi semilir di atas tanah basah

dari darah tergenang menginjak duri


gloomy sunday, gloomy sunday

matahari seperti kikir akan hangatnya

bahkan kepada awan yang menemaninya

juga kepada atmosfer yang menjaganya


Malam dan rahasianya, kembali mengutuk daun yang gemerisik

Diam!

Walau tak ingin diam memang sudah tak termaafkan

Lagu ninabobo dibuat sumbang tiap mata hampir terlelap


Gloomy sunday....

Bukankah resitalnya telah benar-benar berakhir?



Death is no dream

for in death i'm caressin' you

with the last breath of my soul

i'll be blessin' you

gloomy sunday...



Yogyakarta, 050811


7.19.2011

p a r e i d o l i a

Ambigu.
Kamu bilang aku melempar bahasa gagu, sekat iris matamu lalu jadi pekat.
Hitam.
Lalu, bagaimana aku harus menyampaikannya?

pareidolia

Ketika kita memandang langit yang sama, dan awan yang sama
Aku bilang kumulus itu adalah burung
Tapi kamu bilang itu adalah pesawat

pareidolia

Ketika kita melihat permukaan bulan di malam yang sama, dan ditempat yang sama
Aku bilang itu kelinci bulan
Tapi kamu bilang itu lubang kancing

pareidolia

Ketika kita menatap dari jauh segurat wajah yang mendekat
Aku bilang dia akan menjadi temanku
Tapi kamu bilang dia sudah menjadi musuhmu

refleksi berbeda dari titik sama
padahal itu hanya pareidolia
jauh berseberangan melempar
padahal itu hanya pareidolia
tangkapan pendengaran yang kontra
padahal itu hanya pareidolia

oposisi biner
lalu kita kembali ber-pareidolia

telekinetis mengundi bangku dan rekomposisi
kamu mengingatkanku bahwa itu semua hanya pareidolia
kamu mengajakku beranjak dari dunia pareidolia yang tak remeh

"samakan langkah dari pandangan yang berbeda, sayang."

kembali rebah di lapang rumput sambil memandang di biru yang sama
aku bilang langit itu abu-abu
aku kembali dengan bahasa gaguku,
tapi kamu bersenandung di sampingku,

"I once fell in love with you
Just because the sky turned from gray
Into blue.."*

***


*Good Friday- Cocorosie
Juli pada yang duapuluh







7.01.2011

n o c t u r n e


"Selamat datang diduniaku.." Lysander merentangkan tangannya sebagai sambutan sang tuan rumah. Aku memandang ke sekitar, ini adalah Nocturne, pijakan lompatanku yang paling jauh namun dijangkau dengan rentang waktu yang paling singkat.

Lysander menggamit tanganku dengan hangat dan membawaku ke meja pohonnya.
"Ini bulan Juli, bulan kesukaanmu. Tapi mengapa kau bisa di tempat ini, Nocturne adalah tempat yang suram walau namanya amat indah."
Aku memperhatikan tangan Lysander yang lincah meracik kopi favoritku. Lalu menghela pelan namun terdengar sampai seberang,
"Phantasmagoria telah menjadi dunia yang asing dan tak menyenangkan."
Lysander menatapku sejenak, meyelami kegalauan yang mengelebat dimanik mataku. Lalu dengan pelan bersenandung lirih dengan ciri khasnya, senandung nocturne.

"Her weary heavy head in the gallows and the graves of the milky milky cradle
His tears have turned to poppies
A shimmer in the midnight
A flower in the twilight"

"bagaimana kau tahu?"
Lysander tersenyum misterius dan menyodorkan kopi karamel kehadapanku.

"The course of true love never did run smooth"

Ia menyeruput kopinya sendiri dan mencondongkan tubuhnya ke arahku,
"Lihat bola matamu, tak berair tapi sendu. Ingin meratap kesedihan bahwa kau ingin percaya dengan Phantasmagoria tanpa delusi, tapi tak bisa.."
Belum senja di Nocturne, tapi tak ada awan kumulus yang menggantung di langitnya. Suram, dan tak seindah namanya.
"Aku bukannya tak percaya, tapi tak yakin.."
"Mengapa, dengan mencintai berarti itu keyakinan. Phantasmagoria tidak berubah, kau yang berubah..."
"...Dan ia pun menunggu kau kembali dengan kesiapannya menerima perubahanmu. Kau sebenarnya belum sampai ke tiang gantungan..."
Aku ingin memprotesnya tapi tak sempat, kembali ia menyenandungkan nocturne-nya,

"We're just two lost souls swimming in a fish bowl, year after year,
Running over the same old ground. How we found the same old fears. "

Aku membelalakkan mata dan melemparkan pandangan kesal ke arahnya,
"Tidak, hanya aku! Hanya aku yang disisi ketakutan."
"Tidak sayang, dia pun. Kalian sama. Kalian di sisi yang sama."
"Aku tak yakin, dia bisa dengan mudah melompat dari Phantasmagoria!"
"Lalu kenyataannya? Yang berada diluar Phantasmagoria sekarang adalah kau, bukan dia. Kau yang melompat dari sana. Dan dialah yang tetap disana."
Aku tercenung dan bermili air mulai mengumpul di pelupuk mata.
Dia, dia adalah alasan kenapa aku melompati Phantasmagoria dan berada di tempat suram ini. Menyadari bahwa aku benar-benar terdelusi dan tak berpegang lagi pada mimpi.

Lysander yang tampan membelai kelopak mataku dan menggenggam tanganku dengan hangat.
"Kembalilah dengan segera ke Phantasmagoria, kalahkan delusi dan lihat mimpinya."
Aku menyeka bulir pertama yang turun dipipiku,
"Ceritakan tentang Hermia."
Lysander terdiam dan sekilas matanya menyiratkan luka,
"Ia memilih membiara daripada mati di tiang gantungan karena menolak menikah dengan pria pilihan ayahnya. Ia seperti cawan Maria. Tapi itu bukan pilihanmu, kau punya kekuatan, tapi selalu kalah oleh kelemahan."
"Dan aku memang lebih baik sendiri." Aku menyambung perkataannya.
Lysander beranjak dan menuang kopinya lagi untukku,
"kau sangat keras kepala untuk hal ini."
"dia pun bilang begitu."
"Dan dia pun sama keras kepalanya denganmu, tapi dia yang sesungguhnya menang. Buktinya dia masih berjejak pada tanah Phantasmagoria."
Aku menatap riak kecil di cangkir kopiku.
"Ceritakan tentang dia." nada penekanan hadir di kalimat terakhir. Aku menghela nafas.

"Dia, dulu jauh dan tak tergapai.
Nama dunia yang ku pijak kala itu adalah As.
Bermain roulette rusia di tiap menyapanya.
Berjudi setengah mati berharap ujung jarum berpihak padaku.
Aku tenggelam dalam permainan, dan sadar ketika aku sudah terjebak di kubangan.
Lalu aku melompat ke dunia Suicide.
Aku nekat untuk berjalan disampingnya.
lalu ia mengajarkan aku menjadi pelari dan petangguh.
sehingga aku kembali melompat dan akhirnya menjejak pada dunia pencapaianku, Phantasmagoria."
Aku menatap mata Lysander berharap ia menginterupsi pembicaraanku. Tapi Lysander hanya mengangguk, berisyarat bahwa ia hanya ingin diam dan mendengarkan.
"Lalu aku pun terperangkap delusi yang ku ciptakan sendiri."

Delusi, ya, delusi.
Aku terperangkap delusi dan membuyarkan semua mimpi kami sebagai pelari.
Dia yang menawarkan untuk menggantikanku ditiang gantungan, tapi aku menolaknya mentah-mentah dan berkeras kepala.
"Lalu kau pun menyakitinya dan menyakiti dirimu, benar kan?"
Aku tahu itu tak perlu jawaban. Aku mencumbu pekat kopi didasar cangkir.
"Delusi merusak pandanganmu dan memburukkan lisanmu."
Ya, dan itu tak bisa dibendung.

"You don't wanna hurt me,
But see how deep the bullet lies.
Unaware that I'm tearing you asunder.
There's a thunder in our hearts, baby."

Senandung Lysander telak membuatku tergagap. Mengapa di dunia yang kulompati paling jauh ini ia tahu apa yang ada didalam hatiku saat ini? Dan apakah dia yang berada di Phantasmagoria sama tahunya dengan Lysander?
"Tentu ia tahu sayang, sangat tahu."
Aku menangis tanpa malu, mengingatnya yang menunggu.
"Kau ingin disini dulu untuk sementara?"
Aku mengangguk dalam sesengguk.
"Hanya untuk sementara kan?"
Aku mengangguk lagi, "tapi aku belum tahu sampai kapan.."
Lysander membelai rambutku, mengangkat daguku hingga mendongak,
"Ada yang ingin kau sampaikan padanya tanpa nocturne?"
Aku menatap manik matanya dengan yakin,

"Sampaikan padanya, aku mencintainya, dan berharap ia masih sabar menunggu."


***




*Lysander-William Shakespeare, Midsummer night's dream, Gallows-Cocorosie, Wish you were here-Rasputina, Running up the hill-Placebo.



Ruang mati suri, Juli pada yang dua.
01.00 am







5.23.2011

Alien, pintu dan berita.

"Hari ini ayah pulang," begitu ujar suara dari sebrang sana, 25 kilometer di utara kaki Meurapi. Tanpa tanda seru, tapi juga tidak dengan nada datar ataupun minor, sehingga aku sebagai penerima pesan pun hanya bisa tersenyum segaris lalu perlahan menghilang seiring dengan nada sambung telepon yang terputus. Aku memberi kabar gembira ini beberapa menit kemudian setelah mood-ku dirasa baik, kepada mereka yang tengah berkutat memanipulasi waktu dengan kegiatan mengada-ngadanya.

"Hari ini ayah pulang!"
seruku di pintu pertama. Aku tak perlu mengetuknya karena pintu itu selalu terbuka lebar dan aku adalah orang pertama yang diberi previllege untuk bebas keluar masuk kamar itu. Lelaki muda berkulit hitam itu -si pemilik kamar-, mendongakkan kepala dan meninggalkan rumusan phytagorasnya demi meyambut seruanku tadi dan menunjukkan air muka yang didominasi rasa antusias.
"malam ini?? hari ini??"
Aku menganggukkan kepalaku kuat-kuat, memantulkan balik rasa antusiasnya.
Lelaki itu tersenyum lebar, bahkan terlalu lebar untuk ukuran batas garis senyumnya. Aku tahu senyumnya memiliki 2 makna, adalah untuk berita baiknya, dan untuk si pembawa beritanya.

"Hari ini ayah pulang."
aku mengucapkannya dengan nada sedikit naik pada kata terakhir. Pintu yang hampir tertutup itu adalah pintu kedua yang aku datangi. Perlahan kudorong pintu itu tanpa memegang daunnya.
"Hei, hari ini ayah pulang." aku melihatnya tengah membaca dengan punggung tegak dan jarak baca yang optimal. '9 summer and 10 autumn', itu adalah novel yang telah selesai kubaca 3 hari yang lalu. Gadis berkuncir kuda itu mengangkat kepalanya dan tersenyum sumringah kepadaku.
"Ya, hari ini jadwalnya ayah pulang. jam 9 malam pasti sampai. Hmm, mungkin ayah ingin kue gemblong lagi, makanya tadi pagi aku belikan untuknya." Lalu ia menatapku seakan meminta responku atas usahanya. Ia tersenyum puas, entah sebagai kebanggaannya yang selalu bisa menyenangkan hati orang, entah juga sebagai perasaan menangnya yang selangkah lebih maju dariku untuk menyambut sang ayah. Aku hanya mengangkat kedua alisku dan membatalkan niatku untuk mendiskusikan isi novel itu, lalu beranjak menghampiri pintu.
"errr sis, pintunya dibuka sedikit saja seperti tadi, tapi jangan terlalu lebar.." ujarnya sambil tersenyum.
Ya, dan jangan terlalu lebar.

"Hari ini ayah pulang.."
Aku berdiri didepan pintu ketiga yang benar-benar tertutup rapat. Pintu paling besar dan tanpa celah, bahkan untuk sekedar beberapa milimeter celah sirkulasi udara. Tentu karena adanya jendela besar yang menghadap keluar, sehingga pintu ini tak memerlukan lagi celah untuk pertukaran udaranya. Aku berdiri gamang dan enggan, antara jengah dan segan. Menghabiskan waktu dengan banyak pertimbangan. Memilin-milin ujung bajuku lalu melakukan permainan tangan; mengasurkannya ke daun pintu, menariknya, mengangsurkannya, lalu menariknya lagi, hingga kali kelima aku memutuskan untuk berhenti berbuat konyol akibat kegamanganku ini. Lalu aku berbalik dan menyimpulkan; 'toh, sepasang yang telah memiliki jiwa satu sama lain tak perlu lagi diberi kabar oleh pihak ketiga. Pasti ia tahu belahan jiwanya akan pulang malam ini. Kabar dariku pun akan menjadi basa basi karena sebelumnya ia pasti telah tahu, bahkan diberitahu duluan daripada aku.'
Aku melangkah meninggalkan pintu kokoh itu yang bahkan belum sempat kusentuh. Aku merasa benar dengan alasan tadi, padahal, sesungguhnya aku melarikan diri dari alasan yang sebenarnya; 'bingung memikirkan bahasa yang baik untuk menyampaikan berita ini kepadanya'.

Langkahku menjadi ringan karena tugasku menyampaikan berita telah selesai, walaupun untuk yang terakhir sengaja aku anulir. Aku memang senang menyampaikan berita dari pintu ke pintu, seperti seorang sales elektronik yang kerap lewat depan rumahku. Berbeda dengan si gadis kuncir kuda yang selalu menyampaikan berita setelah kami selesai makan siang, atau si lelaki muda berkulit hitam yang langsung berteriak sesaat setelah menutup telepon. Ah, bagaimanapun caranya, berita memang harus disampaikan. Sekarang tujuanku adalah pintu keempat, pintu bercat putih yang didepannya banyak tempelan stiker. Pintu itu masih terbuka lebar sebelum aku masuk dan membuatnya menjadi tertutup rapat dan terkunci. Memamerkan sebuah poster coretan tangan kepada siapapun yang melewati pintu ini,
"KAMAR ALIEN. SELAIN ALIEN DILARANG MASUK!!"





*Bilahan kedua, lembar pertama.

Pada sudut dingin siku-siku.

Masih dalam lingkup obsesi tentang perjalanan
Tentang tempat indah untuk jejak yang menagih
Menjadi alien tanpa radar, spontan
Di atas tanah yang coklat dan hangat, seusai hujan
sebagian bilang tak menjejak bumi, tapi itulah yang namanya sebuah mimpi

melihat jauh dari seberang mereka yang seragam
sok pintar, sok serius, sok memahami hidup
ringan jenjangku melompati garis planet dan merapatkan mantel
lalu tutup kitab tentang peraturan yang selalu dibuat rumit

"kenapa mereka membuat koloni yang seragam, mana ratu, mana pekerja, mana tentara, mereka bertopeng sama, bergerak statis dan realis"

"atas dasar apa mereka merasa lebih unggul dan mengangkat dagu? Fisik, wawasan, kekayaan, kemampuan, atau pemikiran yang dibuat berkotak-kotak dan mengerucutkah?"

lalu disudut dingin selalu menjadi tempat permanen si pecundang
sampai biru dan membatu, seragam khas pesakitan
khas subkultur
khas minor
sengau, sumbang

lalu tentang obsesi alien, obsesi perjalanan, obsesi tempat indah, obsesi planet baru,
salahkah?
Sebagian bilang tak menjejak bumi, tapi inilah akhir sebuah mimpi, yaitu mulai mengejar

Siapa yang menyuruhku harus menyerah? Tak ada!!
Maka aku tak akan pernah menyerah.




_pada sudut dingin siku-siku_

Alien di meja makan kami.

Bangku itu hanya berjarak kurang dari satu meter didepanku, tapi aku merasa jaraknya berkilo-kilometer dengan tembok pemisahnya yang sangat tebal. Wanita itu, dengan kacamata minus silinder yang menambah keayuannya, menekuri piring makan siangnya sedemikian rupa seakan-akan lauk pauk yang terhidang adalah makanan terakhir yang bisa dinikmatinya. Sesekali terdengar deheman yang teredam sekedar membersihkan saluran tenggorokan. Lalu kembali denting sendok garpu yang mendominasi keheningan dimeja makan ini. Aku menatap dua orang disisi kanan kiriku melalui ekor mataku. Seorang lelaki 18 tahun yang berpostur tinggi kurus, berkulit hitam dan berkacamata minus 3,5. Tangan kanannya menyendokkan bermiligram nasi ke dalam mulut dan tangan kirinya memisahkan lauk kesukaannya dengan menggunakan garpu. ‘Yang enak selalu disisakan terakhir’, begitu wataknya yang aku kenal. Seorang lagi, di sisi kiriku, adalah gadis cantik 17 tahun berkulit putih dan bermata bulat yang keanggunannya hampir identik dengan wanita didepanku. Rapi, dan terlihat pretensius. Lauk dipiringnya bahkan masih tertata dan sistematik seperti awal kali mengalas. Dalam piring itu nasi tergunduk disebelah kanan, rendang dan sayuran salad disebelah kiri. Sendok dan garpu yang bergerak selaras dan dinamis seperti ayunan tangan dirigen yang memimpin orkestra. Kacamata minus 1-nya terselip rapi di saku depan baju. Rambut legamnya diikat ponitail yang tinggi dan elegan.

Aku tersenyum miring melihat wajah-wajah disekitarku. Andai ada cermin yang terpancang diruang makan ini, mungkin aku akan melihat refleksi satu makhluk lagi yang terlihat memprihatinkan. Rambut superpendek dicat ungu yang tidak banyak membantu mempercantik penampilannya, juga mata minus 2 yang mungkin bertambah karena jarang memakai kacamata, belum lagi lingkaran hitam dikelopak bawah mata; kuyu, tak terurus, dan kusam. Mungkin seperti cucian yang belum sempat dicuci namun sudah terlanjur direndam. Lauk dipiringnya berantakan dengan komposisi yang sekenanya, banyak nasi dan sedikit sayur. Garpu teronggok asimetris ditepi piring sehingga beberapa butir nasi berceceran disekitarnya.

Lalu gundukan makan siang dipiring kami masing-masing sudah habis volumenya. Beberapa menit setelah meletakkan sendok garpu dan melirih berdoa untuk bersyukur, sang wanita pretensius membenahi lauk pauk yang tersisa, si lelaki muda membawa piring yang dipakainya sendiri ke tempat cucian piring, si perempuan muda berambut ponitail menata rapi piring lauk yang sudah dibenahi ibunya tadi dan membawa sisa-sisa piring kotor ke dapur. Sedangkan si perempuan aneh satu lagi meregangkan tubuh dan merentangkan kakinya dibawah meja, bersendawa agak keras, lalu dengan malas-malasan meninggalkan meja dengan acuh dan menuju ke kamarnya untuk berselonjor.

Kami menyebut perempuan aneh itu sebagai alien, alien di meja makan kami.

Dan alien itu adalah aku.




*Bilahan kesatu, lembar pertama.

4.10.2011

Sang Pemimpi

Tuhan tahu, tapi menunggu
Ingin melihat dulu sebaik apa kita menjadi pemimpi yang baik
Karena pemimpi yang baik adalah yang tak perlu malam untuk terpejam
Dan tak perlu pagi untuk terbangun
Atau menunggu terlelap untuk merangkai abstrak menjadi konkret

"Siapalah aku berani mimpi seganjil itu?
Tuhan memenuhi janji.
Bahwa semesta akan memihak pendoa yang berkeingin keras."
Wulan Ramdhani


Karena seorang pemimpi itu bukan pengkhayal yang berpangku tangan
Digenggamannya selalu ada kepingan puzzle, bakal calon sebuah mozaik indah yang akan utuh
Mungkin menjadi pemimpi memang tidak semudah menjadi pengkhayal
Mungkin menjadi pemimpi membutuhkan keberanian dan kegilaan
Mungkin menjadi pemimpi harus memiliki keyakinan didepan refleksi yang akan tercipta nanti
Dan menjadi pemimpi tidak semudah memejamkan mata lalu terlelap dengan segera
Menjadi pemimpi adalah pertanyaan untuk menjawab akan menjadi apa kita nanti

"setiap mimpi seperti bayi
memiliki takdirnya sendiri-sendiri
kadang, manusia memilih jadi Tuhan dengan mengakhiri terlalu dini"
Gietha 'neng' Lestari

Karena pemimpi adalah petualang dan pejuang
Bukan hanya sekedar pendaman keinginan tanpa adanya pengutaraan
Semesta selalu menunggu pengutaraan
Semesta membutuhkan peluh dan keringat sebagai persembahan selain doa
Semesta pun membutuhkan mimpi dan pemimpi

“Kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu! Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati.”
Arai


Pemimpi tak akan berhenti walau terjeda mimpi yang buruk
Pemimpi tak pernah mempunyai tangga, tapi pemimpi memiliki banyak balok untuk disusun
Di tengah kemiskinan realita, pemimpi selalu kaya dengan logika
Karena hidup berawal dari mimpi, keringat, dan keinginan
Ingat, Tuhan tahu, tapi menunggu
Selamat berjuang para pemimpi yang baik


"bangun kembali menara babel
bermimpilah yang manis"
Soemantri Gelar











*Terimakasih untuk semua inspirasi-inspirasinya, semoga menjadi pemimpi yang tangguh

Bahwa ketololan saya adalah terlambat GILA.

Bahkan, kadang saya iri melihat kehebatan mereka
Setengah mengatup mulut dan bergumam sedikit salut, "keberuntungan selalu berbaik hati pada mereka, tapi tidak dengan saya"
Bisa apa saya? Saya hanya bisa bicara sebaris dan diam dua baris
Saya seorang skeptis yang terlalu pragmatis
Energi saya selalu penuh karena saya belum berbuat apa-apa, kecuali bicara sebaris dan diam dua baris
Padahal saya adalah pemimpi yang terlalu muluk-muluk
Menghabiskan waktu dengan kontemplasi yang selalu berujung buntu
Berharap rombongan urban membawa saya bereksodus
Jauh... jauh menyebrangi antariksa yang konon garis batasnya masih taksa

Lagi-lagi, saya adalah pemimpi dan pengkhayal buruk yang terlalu muluk-muluk
Lagi-lagi, hanya bisa bicara sebaris dan diam dua baris
Siapa sih saya? Hanya seseorang yang gemar menamai planet terpaten dengan label sesuka-sukanya
Yang bercincin itu, namanya planet Tajir. Yang paling kecil itu, namanya planet Prematur, dan yang paling dekat dengan bumi, itu namanya planet Anus.

Lagi-lagi... hanya bisa menggambar garis kasar di buku sketsa, memandanginya barang dua menit lalu membenamkannya pada dasar dus di sudut kamar
"orang lain begitu lihai menggores, sepertinya mudah, tetapi saya tidak pernah bisa"

Lagi-lagi... memenuhi folder arsip tulisan yang bahkan setelah SAVE AS masih saja bingung untuk menjudulinya, selalu terjebak dengan angan-angan ending yang bombastis
"lalu kapan tulisan-tulisan ini bisa segera terbit dengan nama pena yang bahkan telah dibuat jauh hari sebelum saya menyadari bahwa saya senang menulis?"

Lagi-lagi... selalu berakhir dengan mengelus dada yang sesak ketika nafas terjeda untuk serangkaian aba-aba dari sang pelatih futsal, selalu terinterupsi nyeri dan terengah,
"rehat, napas saya tidak sampai, kontrol saya buruk, penglihatan saya kabur diblurkan refraktif miopi hingga sulit mendeteksi arah"

Dan lagi-lagi saya hanya bisa bicara sebaris dan diam dua baris
Apa yang saya sukai selalu berparadoks tanpa sintesis
Mencari kambing hitam atas ketidakmampuan dan mendewakan alasan yang menjadi tumpuan
Ternganga melihat karya-karya cantik dari tangan-tangan lentik
Membelalak melihat mereka yang menari gemulai di pita finish

Lalu bagaimana, bagaimana dengan mereka yang berpaham teoritis?
Apakah mereka berhasil membeludrukan kanyataan dari sekedar selembar katun teori?
Mencomot kutipan-kutipan maha dahsyat dari tokoh populer yang menjadi sumber inspirasi multifungsi
Untuk falsafah, untuk gengsi, untuk panduan, semua saling sulang tinggi-tinggi
Saya berlatah mencari untuk kutipan yang paling berlimpah misioner
Bukan dari seorang pemikir, atau seorang filsuf, atau seorang penemu, atau seorang legenda,
tapi hanya dari seorang tokoh rekaan antagonis yang lahir dari rangkaian imajinasi

"madness, as you know, is like gravity. All it takes is a little push!"
The Joker
(kegilaan, seperti yang anda ketahui, adalah serupa gravitasi. Yang dibutuhkan hanyalah sedikit dorongan!)

Baiklah, baiklah, saya memang dan mungkin berkemampuan minimalis
Mau saya banyak, mimpi saya menjulang
Tetapi saya ternyata kurang 'gila'
Kurang gila untuk terus berusaha menyenggamakan keinginan dengan kemampuan-serba-terbatas agar lebih bersintesis
Karena bakat tak pernah ada dan tak akan ada, yang ada hanyalah kegilaan
Dan saya setuju bahwa saya memang harus gila, bukan hanya seperempat, sepertiga, atau setengah gila untuk semua elemen yang akan menjadi badge saya
Bukan hanya untuk sekedar menggores, menulis, atau berpeluh-keringat-seorang-atlit saja yang mengharuskan saya gila
Akan tetapi saya juga harus berani gila mengejar waktu dan kehidupan yang kini tak lagi merangkak, namun telah berlari
Dan cukuplah saya mengakui bahwa ketololan saya adalah terlambat 'gila'

Mereka yang saya anggap hebat itu, akan saya kejar dalam diam-diam yang tak lagi dua baris
Hingga saya tidak lagi berdiri sebagai tukang tepuk tangan plaudis dibelakang garis
Mungkin nanti bukan hanya merubah nama-nama planet yang terpaten, tapi juga menemukan planet baru bersertifikat dunia atas nama saya.




*Sepertiga malam, di ruang sunyi, ditemani 2 stimulan; segelas kafein dan pesan pendek dari yang tersayang (Sg2011)