3.22.2011

RUANG MATI SURI

Dia telah terbenam dan memerintahkanku untuk segera memati-surikan hidup. Itu berarti aku harus mencari ruang dan berjalan melewati beberapa genangan karena hari ini temannya menangis, membasahi bidang kotor ini. Sebuah perjalanan lagi, dan aku akan berkenalan dengan banyak hal lewat ujung sepatuku.


Seperti ketika mendapati sebuah kaleng minuman penyok dipinggir jalan yang tak henti-hentinya memaki karena selalu di tendang ujung sepatu, dari yang satu ke satu yang lain. “HEI, LEMPAR SAJA AKU KE TEMPAT SAMPAH!!!“ Dia berteriak sambil meludah. Silinder biru bertuliskan “TRASH“ menggumam dengan mulut setengah rapat, “kau lihat, disini akan segera penuh dan kau tak kebagian tempat.“ Ujung sepatuku mendengus.


Di depan sebuah kubus kaca, mengkilap dan mewah, aku berhenti untuk mengendus. Aku tahu bahkan tanpa meraba, itu kaca anti peluru, bahkan mungkin anti misil. Sederet tulisan dari tinta emas tergores angkuh dan pongah disana, “LUXURY“. Mereka membuang muka, bau kapitalis menguar padahal kaca itu tak berpori. Bau dari kumpulan pengkhianat dan pemerkosa itu. “PENGKHIANAT? HEI, KAMI ADALAH IDENTITAS MEREKA!“ Tertawa setelah mentahbiskan, mereka meludahiku. Salah satu berteriak, “apakah Karl tidak pernah memberitahumu tentang predominasi minoritas[1]??!!“


Cih.


Aku mengendus untuk hari ini, untuk mencari ruang. Penciuman dan kakiku bergerak sinkron, menari dengan sugesti, “Semua baik-baik saja, semua pasti akan baik-baik saja.“ Ya, semua akan baik-baik saja, ayo tersugesti!

Bukankah kali ini aku tahu apa yang sedang kucari? Aku mencari ruang -entah simetris atau asimetris- yang sepertinya layak untukku, walau sebagian dari mereka bilang tidak.


Di trotoar, di ujung kaki tunawisma yang kedinginan dan kelaparan, aku duduk menggambar sketsa persinggahanku dengan sihir di atas langit.

“As I enter the portal,

I feel the enchantment

The stars above are lying at my feet.

In the heart of the pine forest.

Where birds are singing,

for the new born sun.

My new born sun.”


Sketsa halus dari sihir ujung jariku. Disana, di jantung hutan pinus, hijau dan lembab. Yang wanginya dapat membuat fatamorgana dalam fatamorgana. Lalu langit pekat tersenyum sebentar, sonatina terdengar sayup. Padahal sketsaku belum lagi rampung.

“Ini pengantar tidurmu, lullaby-mu, buaian untuk kelopak matamu, meski sebentar, terlelap lah dalam jantung hutan pinus…”


Rentang waktu tiba-tiba menjambakku, retina menjelaskan situasi para skeprisisme yang berlarian dengan lincah dan histeris didepanku. Seorang wanita berjakun tebal dan berbulu lebat dikaki meluangkan waktu krisisnya untuk meneriakiku,

“KENAPA KAU TIDAK LARI?? KAU LIHAT, TAK ADA RUANG UNTUK YANG SEPERTI KITA! TIDAK AKAN PERNAH!!”


Gelombang compang-camping dihalau oleh pasukan berseragam dengan tongkat seperti tongkat bisbol. Seorang pengamen mengalunkan sebait lagu sendu dan mendayu dengan biola tuanya,

“Is there a place deep within

A place where you hide your darkest sins”

Sebelum tergerus pilu aku meratap, “Aku mencari bukan untuk bersembunyi, tapi aku mencari untuk mati suri…”


Dan kakiku turut tenggelam dalam derap saling memburu, di tengah banyak nafas yang terengah. Seorang pendeta di seberang membuka jendela gereja dan memberi tanda, kemari nak, pintu ini terbuka untuk para peniten[2]. Ada bilik penyesalan dosa yang masih kosong dan terbuka.

Bukan karena mereka bilang tak layak untukku yang menjadikan alasanku menggeleng. Aku hanya butuh untuk mati suri. Aku ingin jantung hutan pinus itu, berbaring disana dengan bau lembabnya.


Kini kakiku berhenti di atas tempat penjejakkan yang berangin kering. Tak lagi mendapati mereka yang senang meludahiku, bukan kaleng rombeng itu, bukan juga bobot gemerlap yang dinilai dari karatnya itu. Hanya sebuah ruang simetris dari kayu mahoni sederhana yang berbau pinus. Persinggahan yang nyaris meyerupai sketsa yang ku gambar untuk malam terakhir. Masih terekah tutupnya, masih suci seperti cawan Maria. Tanpa meraba aku tahu, ini bukan tempat pembuangan, tapi juga bukan tempat pemujaan, ini adalah tempat yang kucari untuk mati suri. Ruang ini terdesain bukan untuk berdiri tegak, melainkan untuk reklin[3]. Bukan jantung hutan pinus, tapi ini sudah cukup untuk hasratku. Ku senandungkan pengantar tidurku,


“In my coffin, in my world of dreams and make believe

i reigns forever

With all my glory

In this world of endless fantasy

i makes it happen

It's my reality“


Selamat tidur untuk hidupku, dibawah tutup peti mati mahoni berbau pinus.





Dunia mimpi, duadua maret duaribusebelas



[1] Minoritas yang menempati kekuasaan besar atau utama

[2] Penyesal dosa

[3] Posisi berbaring

3.20.2011

Mama mulai bilang serius tetapi aku bilang baru mulai bermain

membicarakan cita-cita, tak se-ringan ketika masih duduk di bangku TK A

atau ketika berseragam putih merah dan berkuncir dua

dulu yang bertanya, adalah bu guru yang riang dengan suara yang ceria,

"siapa yang mau jadi dokter?"

"saya bu guruuu...!!"


"sudah besar mau jadi apa?"

"jadi polwan!"

"jadi dokter!"

"jadi insyinyuuurr!!"

dulu, membicarakan cita-cita seperti membicarakan tokoh artis idola yang sebentar lagi datang

seperti jauh, tapi yakin digapai


ringan, penuh harapan dan bergumpal antusias, jadi apa aku nanti?

siapa sangka, kerangka tak selalu konsisten dengan struktur sendi

ketika sekarang, membicarakan cita-cita selalu dengan helaan nafas, berat

binar yang hilang di pangkal sampai sudut bola mata

"mau jadi apa kamu ke depan?"

"yang pasti bukan jadi pecundang."

membicarakan cita-cita seperti membicarakan harga tempe yang stabil atau harga berlian yang labil


mama mulai bilang serius, tetapi aku bilang baru mulai bermain


cita-cita harus setinggi langit, dan satu

cita-cita harus penuh cinta, dan majemuk

aku bermain dengan cita-cita dan mengakrabkan diri dengan bermimpi, beberapa hal, tak hanya satu

"jadi?"

"jadi istri yang solehah dan menurut pada suami."

"bukanlah itu, ini tentang pekerjaan ke depan,"


Jadi, apakah cita-cita selalu berbicara tentang pekerjaan?