1.30.2012

Di ZOE kita menatap mangkuk.

Seorang pak tua jenius mengajak kami di gigir senja
"Ayo bertemu di semangkuk zuppa soup!"

Kali ini, di semangkuk Zuppa Soup
Biasanya kami bertemu di gumpalan putih pada layar dua dimensi
Menghabiskan tawa untuk mencibir apa yang ada
Menonton manusia yang petentengan dengan isi otak yang sarat isi

"Banyak orang pintar tak beretika.
Malah meresahkan.
Wah, mending jadi orang bodoh dong?
Ya ngga gitu juga kali!
Hahaha o'on dipiara... kambing noh piara! Dasar kesrek.
Hihihi, liat tuh, wignya aduhai banget!
Noh noh liat, tampangnya kaya tukang begal
Gila ya, sekarang tuh masyarakat menciptakan hegemoni baru, dengan norma yang mereka buat sendiri
Random walk... maksudnya om?
biasakan menonton manusia yang tidak manusia...
hadeuh...
Zuppa soupnya gimana menurut lo?
Hmm, yang di pizza hut gurih banget om, enakan ini.
Zuppa soup darimana sih asalnya?
Dari........"

Lagi dan lagi, sebuah peta terbentang tidak harus di atas meja
Tidak harus dengan tatap mata yang serius
Atau airmuka yang jenius
Atau dengan proposal pelempar isu

Yang kali ini semangkuk zuppa soup
Cekungan dialog dan monolog yang selalu teraduk
Bertukaran saling silang,
tanpa tensi siapa yang lebih dan siapa yang kurang.

Semua adalah yang diperkenalkan oleh pak tua yang menyebalkan,
dan segala pemikiran jeniusnya yang menyenangkan.





***








Suatu sore di ZOE 30 Januari 2012 , 6 mata menatap semangkuk ide dan zuppa sup.
JJ, SG, UMT.

Cerita tentang 31 Januari


Suatu hari, seorang pesakitan melarikan diri dari penjara. Ia berbelok ke hutan namun tak ke pantai, karna ia bukan Cinta di AADC. Pakaiannya compang camping, dan tiba-tiba ia menemukan sebuah gubuk berpenghuni didalam hutan angker. Ia mengetuk pintu itu, si pemilik rumah hanya mengintip dari lubang intip di pintunya.
"Mau apa?"
"Aku pesakitan, melarikan diri karena tertekan. Tolong selamatkan aku."
"Selamatkan? Dengan resiko besar? Kau kira gratis?"
"Akan kubayar dengan apa saja."
"HARUS kau bayar dengan semua yang kau punya. Tapi jaminannya apa? Kau penjahat!"
"Aku bukan penjahat lagi, sumpah mati aku telah menyesal seumur hidupku atas semua kejahatan yang telah aku lakukan."
Si pemilik rumah membuka pintunya sedikit, namun tetap berantipati. Tak mungkin baginya mempercayai orang begitu saja.
"Apa jaminannya atas semua omonganmu?"
"Pegang semua omonganku, jika ada yang terlanggar, maka kau boleh membunuhku."
Si pemilik rumah berdehem memikirkan tawaran barusan. Baginya itu sangat menggiurkan.
"Baiklah, aku akan menolongmu. Tapi kau belum tahu siapa aku."
"Aku tahu, kau adalah penyelamatku."

Akhirnya si pemilik rumah membukakan pintu selebar mungkin, mempersilahkan si pesakitan untuk masuk ke rumahnya. Dengan telaten si pemilik rumah merawat semua derita si pesakitan sampai ia merasa sembuh benar. Pesakitan merasa berhutang nyawa dan janji, ia menggenapi semua omongannya tanpa ada yang terlanggar. Sayangnya, si pemilik rumah tetap seorang antagonis yang rakus. Tak puas baginya dengan hanya meminta si pesakitan menemani ia di gubuk itu. Ia ingin memilikinya, memiliki jiwanya kalau boleh. Obsesi yang kompulsif membuat matanya buta. Dari tangga atas ia ingin melompat lebih atas ke tangga yang paaaling atas. Pesakitan hanya bisa menggangguk karena selain rasa berhutangnya ia juga memiliki rasa sayang yang besar. Ia telah memiliki rasa kemanusiaan yang sempat hilang beberapa silam sebelum datangnya terang.

Si pemilik rumah bertransformasi menjadi antagonis yang buruk. Pesakitan kerap bilang, "baru kali ini ku temui manusia yang tidak dapat dijadikan teman atau musuh, tidak tertebak, dan sangat sempurna semua permainannya."
Pesakitan tahu, pemilik rumah yang kini ia sayangi adalah seorang lakon yang memiliki banyak topeng dan kemampuan memanipulasi panggung. Seberapa sakitnya ia disakiti pemilik rumah, ia tidak pernah melangkah pergi. Ia tetap menunggu pemilik rumah memakai topeng protagonisnya.

Suatu saat ketika bercengkrama sore dalam adukan kopi, pemilik rumah bertanya,
"Aku sudah sangat jahat. Kenapa kau tetap ingin berdiri dan berlari bersamaku?"
"Aku seperti bercermin denganmu, dulu aku adalah pesakitan yang sangat brengsek dan banyak melukai. Sekarang aku melihatnya pada dirimu, jika aku bisa berubah menjadi baik, kenapa kamu tidak?"
Pemilik rumah menatap dengan kelam manik mata si pesakitan. Beratus-ratus hari pesakitan telah menemaninya di gubuk itu, dengan segala penghormatan dan kenyamanan. Tak sekalipun janji dan omongannya terlanggar. Tapi ia sendiri? Melompat kesana kemari, berbuat sesuka hati, memasang tapal kuda di kaki si pesakitan agar mengetahui kemana ia pergi...
"Kadang berbicara denganmu lebih sulit daripada berbicara dengan Tuhan."
Kalimat yang membuat pemilik rumah memutuskan untuk mengosongkan semua ruang gelapnya. Memberinya lampu yang temaram agar ia bisa lebih meraba dalam remang.
Pemilik rumah memeluk pesakitan dengan erat, tertumpah semua rasa yang dipaksa terpendam dihatinya. Semua rasa kemanusiaan tentang kemanusiawian.
"Belum, mungkin belum sekarang. Tapi maukah kau menunggu?"
Pesakitan menggangguk dengan takzim membuncahkan semua rasa merah jambunya.
"Aku kan sudah janji, tetap berdiri dan menemanimu berlari..."

***



31 Januari 2012
Kado ulangtahun untuk yang tak pernah melanggar, dari yang mempunyai banyak topeng.
Love you so much, SG.