Sudah pukul setengah tiga pagi.
Cairan gelap di cangkir. Ampas
kafein membentuk mozaik abstrak di atas meja.
"Saya tidak sedang berusaha membuat anda takut, saya hanya
mengingatkan anda untuk berhati-hati dengan saya."
Aku membalik kertas dengan
gontai, tarikan nafas enggan sinkron dengan rongga dada yang masih tolerir.
Masa lalu sejahat itu, masa lalu
menderu membabi buta.
Masa lalu menerjang aku yang
takut menyambut perubahan. Atau justru yang membuatku berubah menjadi takut?
Aku beranjak dari tempat tidur
dan menyibak tirai. Hari belum menjadi bunga, masih kuncup dipeluk pekat. Tapi
aku membayangkan seolah matari sudah tergantung di ujung timur. Menggelantung cantik
dengan oranye keemasan yang berangsur menjadi kuning garang.
Matahari, kenapa kamu tak berwarna ungu? Biar
langit jadi sendu, biar tanah jadi berwarna abu.
Bukankah ungu adalah warna yang
paling jarang ditemui di semesta ini, jadi mengapa kamu tak berwarna ungu saja,
matari?
Kepalaku berat seperti habis
dihantam martil. Padahal aku hanya menghabiskan larutan kafein, bukan alkohol.
Apa yang membuatku selalu
terbangun dengan rasa lelah?
Bagai semut memeluk gula, direngkuh kuat wujudnya, dihisap habis
manisnya.
Masa lalu menjadi semacam lintah yang menempel permanen di pembuluh
darah.
No comments:
Post a Comment
Pembaca yang baik, pasti meninggalkan komen, kripik dan saran..