8.29.2013

#2 Montase Beku


Aku menatap kosong montase yang beku.
Gairah kehabisan lilinnya, tidak dengan apinya.
Ada maksud membakar habis sampai pangkal sumbu.

Waktu menjadi buron.

Ada yang sengaja menggelar panggung yang terlalu disorot lampu.
Membuka tirainya tanpa memberi aba-aba.
Penonton di bangku menjadi aktor.
Dan aktor di panggung menjadi penonton. 

Aku masih takut untuk menghadapi sandiwara hidup yang sengaja digelar Tuhan.
Masih tak sanggup membedakan mana figuran, mana pelakon utama.
Bahkan Tuhan pun sepertinya enggan ber-cameo.

Mengapa? 

Karena drama adalah kolase dari beribu perjalanan dari beribu orang.

Bukan, itu bukan kolase.
Itu montase.
Montase yang lalu kubekukan karena aku tak pernah bisa menentukan dimana menaruh klimaksnya.
Atau tragedinya.
Atau akan sepanjang apa durasinya jika montase itu selesai.

***
Aku mengunjungi kamar berjeruji nomer 1740
Markiy the Sad.

Jeruji yang berjumlah 12. Tegel kusam abu-abu berjumlah 39 kotak.
Ruang tanpa sandang.
Bahkan untuk helai yang harusnya menciptakan privasi di selangkangannya, dan ia tidak.
Menjuntai dan bergelambir setengah rusak.

Hanya karena ia produktif dengan tulus dan tanpa pretensi apapun yang membawaku kesini.
Di tempat yang seharusnya menjadi penghabisan manusia mempertimbangkan akal dan moral.
Ia tetap memanggilku dengan intonasi yang sama pada jeda seringainya,

"hai payudara..."

Bahkan tanpa harus mengingat lampau,
saat ia mengatakan bahwa payudara adalah mata Tuhan.
Dan itu cukup membuatku merasakan penghormatan darinya.

"Harus ku apakan mereka?"
Aku menunjuk montase beku yang kugulung dengan perkamen anti-waktu.
Menjulurkannya di batas jeruji, membiarkan tangan kotornya sekelebat mengusap ujung jariku dengan kegairahan yang mengerikan. Aku bergidik dengan sembunyi.

"Aih-ah-ya... 
Kau terlalu ketakutan untuk bebas... 
Bahkan kau tak mengenali kebebasan dirimu sendiri. 
Aih-ya... 
Yang kau lakukan bukanlah membuat montase ini menemukan jalan ceritanya,
tapi kau terlalu risau dengan potongan cerita yang menjadikannya montase..."

Ia membuang perkamen itu.
Lalu menggenggam batang penisnya. Membuat gerakan maju-mundur dan tempo gerakannya makin lama makin cepat. Makin lama makin cepat.
Makin lama makin cepat.
Makin lama makin cepat.

MAKIN LAMA MAKIN CEPAT.

Aku jijik tapi semakin merasakan mual di ujung tenggorokan, mataku makin tak bisa berpaling dari aktifitasnya.
Aku menelan ludah yang memanas di pangkal lidah.
Pembuluh darah menggelegak di ubun-ubun.
Mulutnya melenguh. Makin cepat gerakan tangannya makin keras lenguhannya.
Bergerak. Melenguh. Bergerak, Melenguh.
Bergerak.
Melenguh.
Aku berkeringat begitu banyak, membeku di jejakku.
Bergerak.
Melenguh.
Berkeringat.
Bergerak.
Melenguh.
Berkeringat.
Oh. Oh. Uh. Ah. Uh. Ah.

Lalu matanya menangkap mataku.
Memerangkapku disana yang baunya lebih busuk daripada ruangan tempatnya.
Aku muntah.
Begitupun dengan penisnya.

Tawanya keras dan makin lama makin lenyap seiring dengan jauhnya langkahku meninggalkan jeruji itu.

***

Didalam sana ia begitu fasih merayakan keterpurukannya dengan gairah yang sama.
Dan masih merasa terlampau bebas.
Hanya dengan sedikit kebohongan, ia menempatkan posisi terbalik pada cermin.
Kanan menjadi kiri,
kiri menjadi kanan.

Sedangkan aku tetap terpenjara di panggung yang terlalu luas.
Dengan banyak kebohongan yang kububuhi untuk pembenaran.
Juga para pelakon itu.
Para penonton itu.
Bahkan Tuhan yang tak berani menjadi cameo.
Aku dan mereka terlalu banyak mengarang kebohongan hingga montase menjadi beku.

***








29 Agustus 2013
Terimakasih banyak; Marquis de Sade atas gairahnya.