Semalaman merindu, sauh yang terlepas belum juga menampakkan jarak
Sedang apa disana? Pasti kau pun sangat merindu
Masih ingat dengan permainan pareidolia kita?
Tentang kelinci-kelinci bulan?
Sejenak aku menangkap tanyamu, sedikit getir,
'mengapa kita terjauhkan dari dermaga?'
Mungkin ya, dermaga kita berbeda
Disini dermaga kita, jauh dari rimbun hutan dan pasir putih yang berkilau
Tapi dermaga kita selalu bermandi cahaya
Walau cahaya ungu bernada sendu, tapi itu bukan dari Hungaria
Itu cahayamu, cahaya yang kau suka
Semalaman merindu, merindu semua jejak yang kau buat
Segera kembali dan tantang lagi dengan berani,
tentu saja, karena kita tidak menghamba pada yang tak ramah
kita bukan orang-orang kalah
Semalaman merindu, maka kuputuskan berbincang dengan Neruda
Ia menyisipi kertas usang dan segenggam makna,
kuputuskan,
ini untukmu..
Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman,
berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!
Kereta kini melaju menembus hujan tanpa diriku.
Di Taltal musim semi belum kunjung tiba.Tapi aku dan engkau, kasihku, kita bersama-sama,
bersama dari pakaian hingga tulang,
bersama di musim gugur, di air kita, di pinggul,
hingga akhirnya hanya engkau, hanya daku, kita berdua.Bayangkan betapa semua bebatuan itu diangkut sungai,
mengalir dari mulut sungai Boroa;
bayangkan, betapa bebatuan itu dipisahkan oleh kereta dan bangsaKita harus saling mencinta,
sementara yang lainnya semua kacau, laki-laki maupun perempuan,
dan bumi yang menghidupkan bunya anyelir.(Soneta, Pablo Neruda)
Selatan Jakarta, 21/02/2012