Showing posts with label Life Story. Show all posts
Showing posts with label Life Story. Show all posts

3.20.2011

Mama mulai bilang serius tetapi aku bilang baru mulai bermain

membicarakan cita-cita, tak se-ringan ketika masih duduk di bangku TK A

atau ketika berseragam putih merah dan berkuncir dua

dulu yang bertanya, adalah bu guru yang riang dengan suara yang ceria,

"siapa yang mau jadi dokter?"

"saya bu guruuu...!!"


"sudah besar mau jadi apa?"

"jadi polwan!"

"jadi dokter!"

"jadi insyinyuuurr!!"

dulu, membicarakan cita-cita seperti membicarakan tokoh artis idola yang sebentar lagi datang

seperti jauh, tapi yakin digapai


ringan, penuh harapan dan bergumpal antusias, jadi apa aku nanti?

siapa sangka, kerangka tak selalu konsisten dengan struktur sendi

ketika sekarang, membicarakan cita-cita selalu dengan helaan nafas, berat

binar yang hilang di pangkal sampai sudut bola mata

"mau jadi apa kamu ke depan?"

"yang pasti bukan jadi pecundang."

membicarakan cita-cita seperti membicarakan harga tempe yang stabil atau harga berlian yang labil


mama mulai bilang serius, tetapi aku bilang baru mulai bermain


cita-cita harus setinggi langit, dan satu

cita-cita harus penuh cinta, dan majemuk

aku bermain dengan cita-cita dan mengakrabkan diri dengan bermimpi, beberapa hal, tak hanya satu

"jadi?"

"jadi istri yang solehah dan menurut pada suami."

"bukanlah itu, ini tentang pekerjaan ke depan,"


Jadi, apakah cita-cita selalu berbicara tentang pekerjaan?

2.17.2011

Can't life without you???

Mari tertawa untuk kata2,

'i cant life without u'

seperti dia yang mengatakannya diwaktu lampau, dan ternyata masih segar bugar didetik ini.

Hidup ini seperti bermain, bermain dengan nyawa, bermain dengan nasib.

Bermain dengan perasaan dan segala kerumitannya.

Setiap langkah menjadi resiko, maju dan mundur lebih baik daripada jalan ditempat.

Menjadi pahlawan kesiangan atau jadi pecundang,

yang penting punya pilihan.

Hidup itu kemandirian, persetan dengan ketergantungan.

Maaf buat semua yang datangnya dari hati.

Memang, perasaan itu kadang tak usah dipakai dan harap dimatikan.


21 November 2010 jam 20:38

Ga apa, saya kuat!

Jika mereka bisa survive, saya juga pasti bisa!
Setelah menghitung, saat ini saya memiliki 4 masalah besar yang rumit, dan beberapa masalah sepele seperti paku payung kecil yang tersebar di lantai
Wow terima kasih, berarti saya terpilih jadi pejuang!
Terimakasih juga untuk mereka yang tidak mengganggu pagi saya
Membuat saya terbangun dengan grafik mood diatas dan berwarna hijau ketika membuka mata
Terbangun dengan perasaan bersyukur yang mem-positifkan mindset saya
Beberapa butir hari memang agak terganggu dengan keruhnya ego, tapi, that's the art of life!
Tak seru rasanya (jika) hidup saya bahagia terus, karena saya selalu ingin mewarnainya dengan warna yang terbaik
Dan terbaik dari Dia tidak harus yang saya inginkan dan saya pinta
Saya percaya pada sang Sutradara, yang selalu memberi peran sempurna walau tanpa dialog
Not worth our life, problems will always come and go..
Jadi, sekarang saatnya saya mencari siasat agar tetap berdiri tegak..
Dan tetap menjadi seorang yang kuat!

27 Januari 2011 jam 23:32

2.15.2011

Bermain Alter-Ego (lagi)

Aku senang bermain dengan alter ego, seperti mengakui pada keeksistensianku bahwa diriku sangat piawai memainkan peran. Kau lihat, dunia pun senang bermain, kenapa kita tidak? Hei, jangan dulu berburuk sangka, kita bermain peran, bukan bersembunyi di balik topeng. Ingat bahwa kedua itu adalah berbeda.

Begini, contoh salah satu peranku, kuberi nama Jiray. Perempuan atau laki-lakikah? Aku pun tak tahu karena aku ngga suka meng-gender-kan peran ciptaanku yang masterpiece ini. Jiray adalah seorang yang selalu "think opposite". Pandai bermain strategi dengan berbagai macam taktik yang cantik, dan kadang sedikit licik. Jiray selalu memandang segala sesuatu dengan terbalik. Jiray selalu mencari orang baru untuk berinteraksi, (juga kesukaan alter ego-ku yang lain, tapi Jiray paling di atas menyukainya). Ketika aku mendapatkan masalah, maka Jiray langsung memutar haluan mindset-ku dengan mengarahkanku pada pandangan dari sisi yang bersebrangan. Jika Pegadaian mempunyai jargon "menyelesaikan masalah tanpa masalah", maka Jiray sebaliknya. Bukan berarti dia senang menjadi troublemaker, tapi Jiray senang memandang suatu penyelesaian diluar kelaziman yang distandarkan orang-orang., bahwa yang salah itu belum tentu tidak bermanfaat. (Dan dia pun mencoba bermain dengan segala teori dari Paul Arden; melihat hidup dengan cara yang salah dalam upaya untuk menjelaskan manfaat membuat keputusan yang salah .).

Lalu, ada lagi peran alter-ego ku yang lain, namanya Jema. Kami selalu berdebat tentang komitmen dan keantusiasan-ku yang akhir-akhir ini menjadi dominan. Jema tidak suka segala sesuatu yang terlalu masuk akal, dan rapi. Ketika mindset-ku berpola dan tersusun, Jema datang dan langsung meng-intervensi. Hobi-nya tentu saja, segala yang unlogic dan spontan. Alasannya, karena Jema senang berusaha lewat motivasi mimpi, ketika dia mamimpikan sesuatu yang menurut aku terlalu tinggi, Jema langsung melambung dengan kegilaannya untuk mencari cara yang berbeda dan selalu meyakinkan, "hei kawan, itu bisa diraih! selama kamu tidak berniat berganti kelamin dan menjadi Tuhan, itu sangat logis dan bisa tergapai!". (itu alasannya mengapa aku menganggapnya kepribadian unlogic).

Alter ego hingga sekarang memang masih diperdebatkan ke-'absahannya'-nya.
Dari seratus orang profesor, doktor, dan psikolog dari seluruh dunia, hanya dua orang mengatakan secara pasti dengan bukti-bukti yang kongkrit bahwa alter ego itu memang ada. Tiga belas orang berada di persimpangan, dan sisanya delapan puluh lima orang mengatakan dengan pasti dan bertanggung jawab bahawasanya alter ego itu tidak pernah ada.
Bahkan sumber lain mengatakan, kalaupun alter-ego ada, itu ditimbulkan dari efek traumatis seseorang di masa kecilnya, seperti dalam buku Sybil dan 16 kepribadiannya, atau tokoh John yang memiliki alter-ego karena traumatis perang dunia kedua dimasa kecil.
Lalu, bagaimana dengan cerita bullshit para superhero, seperti Spiderman dan Peter Parker-nya?
Atau sosok alter-ego John dan Emma dalam film garapan Hollywood, "Peacock"?
Patutkah alter-ego disejajarkan dengan skyzofrenia, atau kepribadian ganda?
Bagiku tidak, alter-ego sangat menyenangkan dan membuat candu. Aku bahkan bisa menemukan karakter-ku sendiri disini. Bermain dengan plus-minus-plus-minus, seolah-olah juga berdebat dengan teman khayalku. Ya, kadang-kadang daya khayalku terlampau tinggi, seperti halnya daya mimpiku.

"Lihatlah, dunia pun senang bermain, dan ngga ada salahnya kita pun bermain peran untuk dunia yang kita cipta." Gadis Juli, dengan ke-soktahu-annya.

Alter ego; Aku dan Jema.

Jema:
'aku menguasaimu hampir sepenuhnya, bercerminlah kamu, lihat baik-baik refleksinya, domba yang kini berseringai serigala. Bagaimana jika aku tak hanya menguasai, tapi juga mengontrol kendali dan muncul ke permukaan? Sisi damaimu yang kukikis karena terlalu lama tenggelam dan kulumuti. Kamu begitu memaksakan dan banyak melakukan penekanan, terlalu terlambat untuk menjadi manusia yang beramah tamah dengan kamuflase di atas kamuflase. Tipe manusia yang gampang tergerus oleh pemikiran daripada realita yang jelas-jelas terjabarkan tanpa tinta. Antusiasmu, suatu saat akan jadi bumerang. Komitmenmu, suatu saat akan menjadi sampah. Ingatkah bahwa aku dan kamu bermasalah tentang dua hal itu? Atau kamu akan biarkan aku mencari celah untuk menjagalmu sampai kembali lagi, berpikiran terbalik?
Otakmu kini hanya onggokan volume di garis nol.'

Hai Jema:
'kesukaan anda memang memvonis, seolah tak ada rentang antara pembelaan kosong dengan kenyataan. Anda terlalu serius saya rasa, berfilosofi 'bukan kritik jika tak pedas, bukan protes jika tak menyudutkan'. Saya tahu, inti dari per-panjang-lebar-an anda adalah bahwa saya mencoba ber-naif dan me-naif-kan diri dengan bermain dengan pemikiran berpola, komitmen yang rapi dan berstruktur yang menurut anda harus di narasi-kan. Atau anda ingin mencoba menjadi naratornya, saya rasa? Bukannya saya ingin menjadi manusia yang sok menjadi pahlawan kesiangan dan menutup mata dengan kamuflase yang ber-kamuflase. Jika tahu, saya akan diam, jika tidak tahu pun saya akan mencari tahu juga dalam diam. Biarkan mereka yang menjerat mengira domba ini akan tenang mengikuti arah angin yang membawakan bau rumput, karena di balik bulu-bulu halus ini sepasang mata pemangsa tetap mengintai. Tapi mungkin anda ada benarnya juga bahwa ke-antusias-an saya akan menjadi bumerang satu waktu nanti. Mungkin akan menikam dari belakang, saya rasa?
Dan jika saya kembali pada semula, berpikir secara terbalik, bagaimana saya bisa menciptakan permainan apik dengan cara yang cantik? Hei, saya kan tumbuh terus! Ke-labil-an jiwa saya menjadi kenikmatan tersendiri dan akan terus bermetamorfosis, saya rasa. Dan anda selalu dan terlalu mem-(nyudutkan)-protes tentang komitmen saya, yang menurut anda terlalu masuk akal!

8.30.2010

Part Dua yang Sempat Hilang.

Kalau ngga dipaksa teman, mungkin saat ini aku mustahil ada di Aula ini. Riuh, ramai, dan banyak degungan suara yang berasal dari banyak mulut dan membuat telingaku pengang. Orang-orang berseliweran dengan sibuknya yang aku sendiri bingung mereka menyibukkan apa. Temanku malah ngalor ngidul dengan kenalannya. Otomatis aku bengong sendiri, dan hanya bisa memutar bola mataku dengan jengah.

“eh, besok ikut diskusi umum yuk, di Aula Ibnu Katsir, mantep loh mentornya mahasiswa semua.“

Dan ya, aku menyesal karena akhirnya menjawab “iya deh“ untuk mengiyakan paksaan temanku itu. Dia datang ke rumahku tiga kali, pagi siang dan malam hanya untuk memaksaku ikut dengannya. Daripada tengah malam nanti dia masih saja datang untuk berkeras kepala, maka lebih baik kuturuti saja maunya.

“Tau gini mending gw nonton film korea deh!“. Tentu saja aku tak bisa berhenti merutuk karena si teman masih dengan santainya mengabaikanku. Sesekali melambaikan tangan meyuruhku bergabung, tapi otakku memerintahkan semua sendi kakiku untuk tetap ditempat. Ku buka modul hitam putih yang tadi dibagikan panitia, ‘Menantang arogansi Amerika ala Evo Morales, Ahmadinejad, dan Hugo Chavez. Bisakah Indonesia menerapkan?‘. Oooh my God!! Jengahku makin menjadi-jadi. 2 jam aku akan terjebak dengan kemonotonan ini. Membicarakan sesuatu yang menurutku takkan ada ujungnya dan lagi-lagi hanya akan berhenti pada garis yang nihil.

Niat dan tekadku untuk kabur dari keabstrakan ini hampir saja bulat, kalau saja tidak melihat secarik kertas kecil yang terselip di modul tadi. “Kupon makan siang, berlaku untuk satu orang”. Aha! Ternyata masih ada oasis di tengah kegersangan dilemma yang daritadi memerangkapku disini. Baiklah, untuk sementara aku menyerah dulu. Mungkin sampai jam makan siang nanti usai. Senyumku mulai terasa lepas dan lega, akhirnya ada juga yang ku tunggu disini. Haha…

Dengan keceriaan yang tiba-tiba muncul entah darimana, aku membolak-balik lagi modul yang kini serasa ringan untuk kubaca. Tiba-tiba mataku langsung terpaku pada satu nama salah satu mentor, satu nama yang langsung membawaku pada pusaran ingatan tentang perjalananku sebulan yang lalu di bis itu. Satu nama sama yang juga tergores di sudut kiri sebuah buku yang berjudul Biografi Ahmadinejad. Nama itu yang membuatku selalu berdebar, menyesal dan merindu selama sebulan ini. Aku mengerjap tak percaya, benarkah? Benarkah dia atau nama itu memang nama yang yang pasaran?

Moderator membuka acara dengan cepat dan simple, memperkenalkan mentor-mentor yang akan membawa diskusi ini selama beberapa jam kedepan. Mataku tambah membulat ketika melihat sosok lelaki itu, berkemeja hitam, rambutnya yang masih setengah gondrong namun tertata rapi, jam tangan hitam besarnya yang tetap kokoh, dan tentu saja, hidung terbagus yang pernah kulihat masih bertengger di wajahnya yang menarik. Dan itu memang dia, yang namanya selalu ingin kusebut.

***

Tentu saja aku masih ingat dia, lewat layar dua dimensi komputer dirumah, pada akun Friendster yang dulu sempat saling bertukar. Tapi ternyata aku hanya bisa melihatnya disitu saja. Tak ada kata selanjutnya, selebihnya, atau bahkan selain itu. Aku megiriminya email sebanyak delapan kali dan tak pernah ada balasan. Walaupun mungkin dia juga bingung harus membalas apa untuk emailku yang sangat ngga penting dan konyol-konyol itu. ‘hai ka, kapan naek bis lagi ?’, ‘bukunya monoton bikin boring. Ntar-ntar kasih komik doraemon aja ya !’, ‘kalo naek bis bawa cemilan dong..kan enak ngobrol sambil ngemil‘, ‘ka idungnya dapet darimana dah, ko bengkoknya alus banget kaya di amplas..‘, ‘diharapkan kepada para mahasiswa untuk belajar yang rajin...‘.

Kecuali, pada satu waktu pukul 23.00 hari Rabu, duabelashari setelah pertemuanku dengannya. Satu inbox di emailku darinya itu membuatku tak bisa berhenti senyum, berhenti bermimpi, berhenti untuk menyebut namanya berulang-ulang dengan ketidaksadaranku dan berhenti mengejar sosoknya dibayanganku. Cerita tentangnya yang tadinya ku anggap hilang jadi terangkat lagi di permukaan.

‘Ada gadis yang aneh, sendirian di bis, ngga bisa duduk diam dan membuatku sedikit jengah. Daripada dudukku jadi ikut tak nyaman, aku basa-basi menawarkan buku yang kubaca agar dia sedikit tenang. Dan memang dia jadi sedikit tenang. Padahal aku tau dia hanya membacanya secara basa-basi juga. Ternyata ketika gadis itu tersenyum, aku merasa harus menyapanya dan bertukar cerita ringan tentang kemasing-masingan kita. Gadis yang cukup aneh dan unik, sangat menarik, ceritanya mengalir dan membuat perjalananku serasa hanya 2 menit untuk sampai tujuan. Oke gadis, semoga bisa ketemu lagi nanti. Jangan ragu untuk menyapa kalau aku lupa menyapa. Hehehe… DB .‘

Setiap hari email itu pasti selalu ku baca, lebih dari dua kali. Akun Friendsternya apalagi, sampai aku hapal di luar kepala tentang profilnya. Seperti orang bodoh aku yakin sekali suatu saat akan bertemu lagi dengannya. Dan nekatku bertekad, pasti akan ku kejar kalau ku temukan dia nanti. Kalau aku dan dia bertemu lagi, dimanapun itu.

Maka di Aula itu, setelah moderator menutup acaranya, dan mempersilahkan para mentor yang pintar-pintar itu meninggalkan mimbar, aku langsung beranjak tergesa mengejar lelaki itu. Dia bilang jangan ragu menyapanya kalau dia lupa menyapa, maka untuk yang satu ini aku punya alasan. Sebelum aku memanggil namanya, lelaki itu keburu berbalik dan melihatku yang terengah-engah menghampirinya, matanya membulat, senyumnya mengembang. Aku pura-pura tak melihatnya padahal jelas-jelas dia melihatku mengejarnya. Aku ingin dia yang menyapa duluan, ingin dia tak lupa untuk menyapaku.

”Hei gadis aneh! Nongol disini juga ternyata… Ga salah deh ni firasat bilang bakal ada kamu.. hehehe.. Ayo makan siang bareng, aku mau jawab kenapa idungku bengkoknya bagus… Sekalian mau ngasih komik doraemon nih !”




*Aula Ibnu Katsir, Pusdiklat. Untuk mengejar yang hilang, aku berani terengah-engah*

(Sambungan Ini Part Satu-ku) Masih bersambung..



Ini Part Satu-ku.

Waktu itu, adalah satu perjalananku dari rumah nenekku di Garut menuju Bekasi, rumahku. Dengan menaiki bis besar berwarna putih dan berpalet merah yang lumayan nyaman, aku mengarungi perjalanan seorang diri di pojok kanan salah satu bangku. Kesukaanku tentu saja, menghabiskan 4 jam kedepan dengan mendengarkan Jason Mraz-ku lewat kabel headset MP4 kesayangan, mencoba menyelonjorkan kaki dan mencari posisi sesantai mungkin, dan memejamkan mata walaupun kadang terbangun karena guncangan bis. Bangku disampingku kosong, dan aku selalu berharap jikalau diduduki orang, semoga saja orang itu tidak menghabiskan jatah dudukku karena pantatnya yang lebar. Karena pernah suatu kali, aku begitu tersiksa sepanjang perjalanan karena orang disebelahku mendesakku dengan ketambunannya tanpa rasa salah. Ah dasar ibu-ibu, aku hanya bisa menggeram dalam hati dan menikmati berjam-jam perjalananku dengan muka basi.

Di perbatasan Garut-Bandung bangkuku sedikit terlonjak, dan ketika membuka mata, sesosok lelaki sedang tersenyum sopan sambil menganggukan kepalanya meminta izin mengisi bangku disampingku. Aku membalas senyumannya dengan anggukan juga dan air muka yang menunjukkan kelegaan, 'syukurlah pantatnya hemat', ujarku dalam hati. Mataku belum teralih dari matanya. Si lelaki menaruh tasnya di atas lalu duduk kembali, dan mataku tak bisa berhenti untuk mengekori setiap geriknya. Lelaki itu, kira-kira berumur tiga atau empat tahun di atasku, berkaos kerah hitam rapi, rambut setengah gondrongnya sedikit berantakan tapi justru membuat wajahnya yang memang sudah menarik jadi makin menarik. Hidungnya bagus sekali, hidung terbagus yang pernah kulihat mungkin (haha), dan alis matanya tebal hitam pekat. Jam tangan hitam besar melingkari pergelangan tangan kanannya yang coklat. HP dalam genggaman tangan kirinya, dan MP4 dalam genggaman yang satu lagi. Beberapa buku tertumpuk dipangkuannya.

Merasa diperhatikan, lelaki itu memalingkan wajahnya sedikit ke arahku, dan tentu saja aku tidak gelagapan karena aku sudah memperkirakan respon itu. Dia tersenyum lagi, tapi anehnya, benar-benar hanya tersenyum, lalu tenggelam dengan MP4 dan buku yang entah sejak kapan menggantikan posisi HP-nya. Aku terkikik geli dalam hati dan mengernyitkan dahi. Penasaranku dibuatnya jadi dua kali lipat. Siapa namanya? Darimana dia datang? Mau kemana? Dan mengapa aku begitu tertarik pada orang yang kebetulan duduk disampingku ini? Rasa kantuk yang kupancing tadi langsung menguap begitu saja dan terambil alih oleh debaran yang agak berlebihan menurutku. Menyadari kalau aku berlaku konyol sendiri, aku pura-pura tidur dan mengusap mataku agar terpejam. Semoga saja niat usilku ini hilang sendirinya seiring dengan pejaman mataku.

Tapi ngga bisa! Justru rasa penasaranku makin menggumpal dan tersedot oleh sosok disampingku ini. Aku bergerak gelisah, jatah dudukku seperti menyempit dan lebih terasa terdesak daripada ketika didesak oleh ibu-ibu tambun. Selama sekian menit aku terus mengubah posisi dudukku seakan-akan sedang duduk di kursi kopaja yang keras, bukan dibangku bis yang empuk. Otakku terus mencari alasan dan cara untuk bisa menyapanya, mengajaknya membunuh waktu yang membosankan ini dengan berbincang, tapi bagaimana kalau ajakanku tidak pada tempatnya dan tidak wajar? Aku menghela napas lagi. Membenci rasa tertarikku yang datangnya tak di undang. Tiba-tiba si lelaki mengasongkan buku yang tadi di bacanya, aku tehenyak dan menyalahkan diriku atas kegelisahan dan ulah tololku tadi. ‘Aduuh,, pasti tu cowo bete gara-gara gw ga diem banget duduknya, macem ambeien aja!‘ sesalku dalam hati. Aku menatap buku itu dengan pandangan bingung dan lelaki itu menjawabnya sebelum sempat ku tanyakan.

“baca aja, biar ngga bosen di perjalanan. Tu juga kalo ngga pusing baca dalem bis.“

Aha! Akhirnya percakapan perdana dimulai juga. Walaupun aku tahu, pasti dia menganggap gelisahku ini sebagai tanda kebosanan. Rasa sesalku tadi berkurang sedikit. Aku tersenyum menang padahal aku sendiri tidak tahu kenapa harus merasa menang. Tanpa banyak tanya lagi, aku membuka sampul halaman buku yang berwarna hitam itu dan mendapati goresan nama di sudut kirinya, “Dw* Bu****n“ (sengaja ku sensor karena nama ini bukan nama fiktif belaka, maka kita singkat saja menjadi DB). Nama itu tiba-tiba menjadi sangat menarik daripada judul buku yang tadinya sempat membuatku penasaran. Aku membolak-balik halaman buku itu dan pura-pura serius membacanya, menyusuri secara asal biografi Ahmad Dinejad yang menurutku agak monoton.

“maaf ka, aku pusing, bisnya terlalu berguncang.“ Aku mengembalikan buku itu ke pangkuannya. Lelaki itu mencopot earphonenya, mem-pause MP4-nya, dan lagi-lagi meresponku dengan senyuman.

“oke, saya simpan ya kalo gitu.." lelaki itu menyelipkan buku tadi di antara 3 tumpukan bukunya yang lain. Aku memperhatikannya sambil menunggu. Lalu lelaki itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku, "Ngomong-ngomong, mau kemana? Mau ke Bekasi juga?”

Aku tersenyum lebar. Entah kenapa, untuk kedua kalinya aku merasa menang tanpa alasan jelas, dan percakapan singkat itu membuka perbincangan hangat selanjutnya selama sisa perjalananku. Di terminal kami berpisah dengan bertukar senyuman, bertukar akun friendster (facebook belum terlalu eksis waktu itu) dan anehnya kami tidak bertukar nomor HP sama sekali. Namun di memoriku kini banyak tersimpan kata kunci tentangnya yang kudapat dari perbincangan tadi.

Tentang dia yang tengah berkuliah di Universitas negeri di Bandung, tentang rumahnya di Bekasi yang tak jauh dari rumahku, dan tentang hal-hal ringan dan standar yang menjadi tidak biasa di ruang kesanku kepadanya. Bahwa, lelaki ini cerdas, sopan, dan rendah hati, juga tentu saja menarik secara fisik selain kepribadiannya. Empat jam itu telah memagut setengah hatiku untuk terus mengingatnya.





*Cipularang, melompati waktu ke tahun-tahun kebelakang.*

Part 1, artinya masih bersambung. :)