8.30.2010

Ini Part Satu-ku.

Waktu itu, adalah satu perjalananku dari rumah nenekku di Garut menuju Bekasi, rumahku. Dengan menaiki bis besar berwarna putih dan berpalet merah yang lumayan nyaman, aku mengarungi perjalanan seorang diri di pojok kanan salah satu bangku. Kesukaanku tentu saja, menghabiskan 4 jam kedepan dengan mendengarkan Jason Mraz-ku lewat kabel headset MP4 kesayangan, mencoba menyelonjorkan kaki dan mencari posisi sesantai mungkin, dan memejamkan mata walaupun kadang terbangun karena guncangan bis. Bangku disampingku kosong, dan aku selalu berharap jikalau diduduki orang, semoga saja orang itu tidak menghabiskan jatah dudukku karena pantatnya yang lebar. Karena pernah suatu kali, aku begitu tersiksa sepanjang perjalanan karena orang disebelahku mendesakku dengan ketambunannya tanpa rasa salah. Ah dasar ibu-ibu, aku hanya bisa menggeram dalam hati dan menikmati berjam-jam perjalananku dengan muka basi.

Di perbatasan Garut-Bandung bangkuku sedikit terlonjak, dan ketika membuka mata, sesosok lelaki sedang tersenyum sopan sambil menganggukan kepalanya meminta izin mengisi bangku disampingku. Aku membalas senyumannya dengan anggukan juga dan air muka yang menunjukkan kelegaan, 'syukurlah pantatnya hemat', ujarku dalam hati. Mataku belum teralih dari matanya. Si lelaki menaruh tasnya di atas lalu duduk kembali, dan mataku tak bisa berhenti untuk mengekori setiap geriknya. Lelaki itu, kira-kira berumur tiga atau empat tahun di atasku, berkaos kerah hitam rapi, rambut setengah gondrongnya sedikit berantakan tapi justru membuat wajahnya yang memang sudah menarik jadi makin menarik. Hidungnya bagus sekali, hidung terbagus yang pernah kulihat mungkin (haha), dan alis matanya tebal hitam pekat. Jam tangan hitam besar melingkari pergelangan tangan kanannya yang coklat. HP dalam genggaman tangan kirinya, dan MP4 dalam genggaman yang satu lagi. Beberapa buku tertumpuk dipangkuannya.

Merasa diperhatikan, lelaki itu memalingkan wajahnya sedikit ke arahku, dan tentu saja aku tidak gelagapan karena aku sudah memperkirakan respon itu. Dia tersenyum lagi, tapi anehnya, benar-benar hanya tersenyum, lalu tenggelam dengan MP4 dan buku yang entah sejak kapan menggantikan posisi HP-nya. Aku terkikik geli dalam hati dan mengernyitkan dahi. Penasaranku dibuatnya jadi dua kali lipat. Siapa namanya? Darimana dia datang? Mau kemana? Dan mengapa aku begitu tertarik pada orang yang kebetulan duduk disampingku ini? Rasa kantuk yang kupancing tadi langsung menguap begitu saja dan terambil alih oleh debaran yang agak berlebihan menurutku. Menyadari kalau aku berlaku konyol sendiri, aku pura-pura tidur dan mengusap mataku agar terpejam. Semoga saja niat usilku ini hilang sendirinya seiring dengan pejaman mataku.

Tapi ngga bisa! Justru rasa penasaranku makin menggumpal dan tersedot oleh sosok disampingku ini. Aku bergerak gelisah, jatah dudukku seperti menyempit dan lebih terasa terdesak daripada ketika didesak oleh ibu-ibu tambun. Selama sekian menit aku terus mengubah posisi dudukku seakan-akan sedang duduk di kursi kopaja yang keras, bukan dibangku bis yang empuk. Otakku terus mencari alasan dan cara untuk bisa menyapanya, mengajaknya membunuh waktu yang membosankan ini dengan berbincang, tapi bagaimana kalau ajakanku tidak pada tempatnya dan tidak wajar? Aku menghela napas lagi. Membenci rasa tertarikku yang datangnya tak di undang. Tiba-tiba si lelaki mengasongkan buku yang tadi di bacanya, aku tehenyak dan menyalahkan diriku atas kegelisahan dan ulah tololku tadi. ‘Aduuh,, pasti tu cowo bete gara-gara gw ga diem banget duduknya, macem ambeien aja!‘ sesalku dalam hati. Aku menatap buku itu dengan pandangan bingung dan lelaki itu menjawabnya sebelum sempat ku tanyakan.

“baca aja, biar ngga bosen di perjalanan. Tu juga kalo ngga pusing baca dalem bis.“

Aha! Akhirnya percakapan perdana dimulai juga. Walaupun aku tahu, pasti dia menganggap gelisahku ini sebagai tanda kebosanan. Rasa sesalku tadi berkurang sedikit. Aku tersenyum menang padahal aku sendiri tidak tahu kenapa harus merasa menang. Tanpa banyak tanya lagi, aku membuka sampul halaman buku yang berwarna hitam itu dan mendapati goresan nama di sudut kirinya, “Dw* Bu****n“ (sengaja ku sensor karena nama ini bukan nama fiktif belaka, maka kita singkat saja menjadi DB). Nama itu tiba-tiba menjadi sangat menarik daripada judul buku yang tadinya sempat membuatku penasaran. Aku membolak-balik halaman buku itu dan pura-pura serius membacanya, menyusuri secara asal biografi Ahmad Dinejad yang menurutku agak monoton.

“maaf ka, aku pusing, bisnya terlalu berguncang.“ Aku mengembalikan buku itu ke pangkuannya. Lelaki itu mencopot earphonenya, mem-pause MP4-nya, dan lagi-lagi meresponku dengan senyuman.

“oke, saya simpan ya kalo gitu.." lelaki itu menyelipkan buku tadi di antara 3 tumpukan bukunya yang lain. Aku memperhatikannya sambil menunggu. Lalu lelaki itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku, "Ngomong-ngomong, mau kemana? Mau ke Bekasi juga?”

Aku tersenyum lebar. Entah kenapa, untuk kedua kalinya aku merasa menang tanpa alasan jelas, dan percakapan singkat itu membuka perbincangan hangat selanjutnya selama sisa perjalananku. Di terminal kami berpisah dengan bertukar senyuman, bertukar akun friendster (facebook belum terlalu eksis waktu itu) dan anehnya kami tidak bertukar nomor HP sama sekali. Namun di memoriku kini banyak tersimpan kata kunci tentangnya yang kudapat dari perbincangan tadi.

Tentang dia yang tengah berkuliah di Universitas negeri di Bandung, tentang rumahnya di Bekasi yang tak jauh dari rumahku, dan tentang hal-hal ringan dan standar yang menjadi tidak biasa di ruang kesanku kepadanya. Bahwa, lelaki ini cerdas, sopan, dan rendah hati, juga tentu saja menarik secara fisik selain kepribadiannya. Empat jam itu telah memagut setengah hatiku untuk terus mengingatnya.





*Cipularang, melompati waktu ke tahun-tahun kebelakang.*

Part 1, artinya masih bersambung. :)

No comments:

Post a Comment

Pembaca yang baik, pasti meninggalkan komen, kripik dan saran..