5.23.2011

Alien di meja makan kami.

Bangku itu hanya berjarak kurang dari satu meter didepanku, tapi aku merasa jaraknya berkilo-kilometer dengan tembok pemisahnya yang sangat tebal. Wanita itu, dengan kacamata minus silinder yang menambah keayuannya, menekuri piring makan siangnya sedemikian rupa seakan-akan lauk pauk yang terhidang adalah makanan terakhir yang bisa dinikmatinya. Sesekali terdengar deheman yang teredam sekedar membersihkan saluran tenggorokan. Lalu kembali denting sendok garpu yang mendominasi keheningan dimeja makan ini. Aku menatap dua orang disisi kanan kiriku melalui ekor mataku. Seorang lelaki 18 tahun yang berpostur tinggi kurus, berkulit hitam dan berkacamata minus 3,5. Tangan kanannya menyendokkan bermiligram nasi ke dalam mulut dan tangan kirinya memisahkan lauk kesukaannya dengan menggunakan garpu. ‘Yang enak selalu disisakan terakhir’, begitu wataknya yang aku kenal. Seorang lagi, di sisi kiriku, adalah gadis cantik 17 tahun berkulit putih dan bermata bulat yang keanggunannya hampir identik dengan wanita didepanku. Rapi, dan terlihat pretensius. Lauk dipiringnya bahkan masih tertata dan sistematik seperti awal kali mengalas. Dalam piring itu nasi tergunduk disebelah kanan, rendang dan sayuran salad disebelah kiri. Sendok dan garpu yang bergerak selaras dan dinamis seperti ayunan tangan dirigen yang memimpin orkestra. Kacamata minus 1-nya terselip rapi di saku depan baju. Rambut legamnya diikat ponitail yang tinggi dan elegan.

Aku tersenyum miring melihat wajah-wajah disekitarku. Andai ada cermin yang terpancang diruang makan ini, mungkin aku akan melihat refleksi satu makhluk lagi yang terlihat memprihatinkan. Rambut superpendek dicat ungu yang tidak banyak membantu mempercantik penampilannya, juga mata minus 2 yang mungkin bertambah karena jarang memakai kacamata, belum lagi lingkaran hitam dikelopak bawah mata; kuyu, tak terurus, dan kusam. Mungkin seperti cucian yang belum sempat dicuci namun sudah terlanjur direndam. Lauk dipiringnya berantakan dengan komposisi yang sekenanya, banyak nasi dan sedikit sayur. Garpu teronggok asimetris ditepi piring sehingga beberapa butir nasi berceceran disekitarnya.

Lalu gundukan makan siang dipiring kami masing-masing sudah habis volumenya. Beberapa menit setelah meletakkan sendok garpu dan melirih berdoa untuk bersyukur, sang wanita pretensius membenahi lauk pauk yang tersisa, si lelaki muda membawa piring yang dipakainya sendiri ke tempat cucian piring, si perempuan muda berambut ponitail menata rapi piring lauk yang sudah dibenahi ibunya tadi dan membawa sisa-sisa piring kotor ke dapur. Sedangkan si perempuan aneh satu lagi meregangkan tubuh dan merentangkan kakinya dibawah meja, bersendawa agak keras, lalu dengan malas-malasan meninggalkan meja dengan acuh dan menuju ke kamarnya untuk berselonjor.

Kami menyebut perempuan aneh itu sebagai alien, alien di meja makan kami.

Dan alien itu adalah aku.




*Bilahan kesatu, lembar pertama.

No comments:

Post a Comment

Pembaca yang baik, pasti meninggalkan komen, kripik dan saran..