5.23.2011

Alien, pintu dan berita.

"Hari ini ayah pulang," begitu ujar suara dari sebrang sana, 25 kilometer di utara kaki Meurapi. Tanpa tanda seru, tapi juga tidak dengan nada datar ataupun minor, sehingga aku sebagai penerima pesan pun hanya bisa tersenyum segaris lalu perlahan menghilang seiring dengan nada sambung telepon yang terputus. Aku memberi kabar gembira ini beberapa menit kemudian setelah mood-ku dirasa baik, kepada mereka yang tengah berkutat memanipulasi waktu dengan kegiatan mengada-ngadanya.

"Hari ini ayah pulang!"
seruku di pintu pertama. Aku tak perlu mengetuknya karena pintu itu selalu terbuka lebar dan aku adalah orang pertama yang diberi previllege untuk bebas keluar masuk kamar itu. Lelaki muda berkulit hitam itu -si pemilik kamar-, mendongakkan kepala dan meninggalkan rumusan phytagorasnya demi meyambut seruanku tadi dan menunjukkan air muka yang didominasi rasa antusias.
"malam ini?? hari ini??"
Aku menganggukkan kepalaku kuat-kuat, memantulkan balik rasa antusiasnya.
Lelaki itu tersenyum lebar, bahkan terlalu lebar untuk ukuran batas garis senyumnya. Aku tahu senyumnya memiliki 2 makna, adalah untuk berita baiknya, dan untuk si pembawa beritanya.

"Hari ini ayah pulang."
aku mengucapkannya dengan nada sedikit naik pada kata terakhir. Pintu yang hampir tertutup itu adalah pintu kedua yang aku datangi. Perlahan kudorong pintu itu tanpa memegang daunnya.
"Hei, hari ini ayah pulang." aku melihatnya tengah membaca dengan punggung tegak dan jarak baca yang optimal. '9 summer and 10 autumn', itu adalah novel yang telah selesai kubaca 3 hari yang lalu. Gadis berkuncir kuda itu mengangkat kepalanya dan tersenyum sumringah kepadaku.
"Ya, hari ini jadwalnya ayah pulang. jam 9 malam pasti sampai. Hmm, mungkin ayah ingin kue gemblong lagi, makanya tadi pagi aku belikan untuknya." Lalu ia menatapku seakan meminta responku atas usahanya. Ia tersenyum puas, entah sebagai kebanggaannya yang selalu bisa menyenangkan hati orang, entah juga sebagai perasaan menangnya yang selangkah lebih maju dariku untuk menyambut sang ayah. Aku hanya mengangkat kedua alisku dan membatalkan niatku untuk mendiskusikan isi novel itu, lalu beranjak menghampiri pintu.
"errr sis, pintunya dibuka sedikit saja seperti tadi, tapi jangan terlalu lebar.." ujarnya sambil tersenyum.
Ya, dan jangan terlalu lebar.

"Hari ini ayah pulang.."
Aku berdiri didepan pintu ketiga yang benar-benar tertutup rapat. Pintu paling besar dan tanpa celah, bahkan untuk sekedar beberapa milimeter celah sirkulasi udara. Tentu karena adanya jendela besar yang menghadap keluar, sehingga pintu ini tak memerlukan lagi celah untuk pertukaran udaranya. Aku berdiri gamang dan enggan, antara jengah dan segan. Menghabiskan waktu dengan banyak pertimbangan. Memilin-milin ujung bajuku lalu melakukan permainan tangan; mengasurkannya ke daun pintu, menariknya, mengangsurkannya, lalu menariknya lagi, hingga kali kelima aku memutuskan untuk berhenti berbuat konyol akibat kegamanganku ini. Lalu aku berbalik dan menyimpulkan; 'toh, sepasang yang telah memiliki jiwa satu sama lain tak perlu lagi diberi kabar oleh pihak ketiga. Pasti ia tahu belahan jiwanya akan pulang malam ini. Kabar dariku pun akan menjadi basa basi karena sebelumnya ia pasti telah tahu, bahkan diberitahu duluan daripada aku.'
Aku melangkah meninggalkan pintu kokoh itu yang bahkan belum sempat kusentuh. Aku merasa benar dengan alasan tadi, padahal, sesungguhnya aku melarikan diri dari alasan yang sebenarnya; 'bingung memikirkan bahasa yang baik untuk menyampaikan berita ini kepadanya'.

Langkahku menjadi ringan karena tugasku menyampaikan berita telah selesai, walaupun untuk yang terakhir sengaja aku anulir. Aku memang senang menyampaikan berita dari pintu ke pintu, seperti seorang sales elektronik yang kerap lewat depan rumahku. Berbeda dengan si gadis kuncir kuda yang selalu menyampaikan berita setelah kami selesai makan siang, atau si lelaki muda berkulit hitam yang langsung berteriak sesaat setelah menutup telepon. Ah, bagaimanapun caranya, berita memang harus disampaikan. Sekarang tujuanku adalah pintu keempat, pintu bercat putih yang didepannya banyak tempelan stiker. Pintu itu masih terbuka lebar sebelum aku masuk dan membuatnya menjadi tertutup rapat dan terkunci. Memamerkan sebuah poster coretan tangan kepada siapapun yang melewati pintu ini,
"KAMAR ALIEN. SELAIN ALIEN DILARANG MASUK!!"





*Bilahan kedua, lembar pertama.

Pada sudut dingin siku-siku.

Masih dalam lingkup obsesi tentang perjalanan
Tentang tempat indah untuk jejak yang menagih
Menjadi alien tanpa radar, spontan
Di atas tanah yang coklat dan hangat, seusai hujan
sebagian bilang tak menjejak bumi, tapi itulah yang namanya sebuah mimpi

melihat jauh dari seberang mereka yang seragam
sok pintar, sok serius, sok memahami hidup
ringan jenjangku melompati garis planet dan merapatkan mantel
lalu tutup kitab tentang peraturan yang selalu dibuat rumit

"kenapa mereka membuat koloni yang seragam, mana ratu, mana pekerja, mana tentara, mereka bertopeng sama, bergerak statis dan realis"

"atas dasar apa mereka merasa lebih unggul dan mengangkat dagu? Fisik, wawasan, kekayaan, kemampuan, atau pemikiran yang dibuat berkotak-kotak dan mengerucutkah?"

lalu disudut dingin selalu menjadi tempat permanen si pecundang
sampai biru dan membatu, seragam khas pesakitan
khas subkultur
khas minor
sengau, sumbang

lalu tentang obsesi alien, obsesi perjalanan, obsesi tempat indah, obsesi planet baru,
salahkah?
Sebagian bilang tak menjejak bumi, tapi inilah akhir sebuah mimpi, yaitu mulai mengejar

Siapa yang menyuruhku harus menyerah? Tak ada!!
Maka aku tak akan pernah menyerah.




_pada sudut dingin siku-siku_

Alien di meja makan kami.

Bangku itu hanya berjarak kurang dari satu meter didepanku, tapi aku merasa jaraknya berkilo-kilometer dengan tembok pemisahnya yang sangat tebal. Wanita itu, dengan kacamata minus silinder yang menambah keayuannya, menekuri piring makan siangnya sedemikian rupa seakan-akan lauk pauk yang terhidang adalah makanan terakhir yang bisa dinikmatinya. Sesekali terdengar deheman yang teredam sekedar membersihkan saluran tenggorokan. Lalu kembali denting sendok garpu yang mendominasi keheningan dimeja makan ini. Aku menatap dua orang disisi kanan kiriku melalui ekor mataku. Seorang lelaki 18 tahun yang berpostur tinggi kurus, berkulit hitam dan berkacamata minus 3,5. Tangan kanannya menyendokkan bermiligram nasi ke dalam mulut dan tangan kirinya memisahkan lauk kesukaannya dengan menggunakan garpu. ‘Yang enak selalu disisakan terakhir’, begitu wataknya yang aku kenal. Seorang lagi, di sisi kiriku, adalah gadis cantik 17 tahun berkulit putih dan bermata bulat yang keanggunannya hampir identik dengan wanita didepanku. Rapi, dan terlihat pretensius. Lauk dipiringnya bahkan masih tertata dan sistematik seperti awal kali mengalas. Dalam piring itu nasi tergunduk disebelah kanan, rendang dan sayuran salad disebelah kiri. Sendok dan garpu yang bergerak selaras dan dinamis seperti ayunan tangan dirigen yang memimpin orkestra. Kacamata minus 1-nya terselip rapi di saku depan baju. Rambut legamnya diikat ponitail yang tinggi dan elegan.

Aku tersenyum miring melihat wajah-wajah disekitarku. Andai ada cermin yang terpancang diruang makan ini, mungkin aku akan melihat refleksi satu makhluk lagi yang terlihat memprihatinkan. Rambut superpendek dicat ungu yang tidak banyak membantu mempercantik penampilannya, juga mata minus 2 yang mungkin bertambah karena jarang memakai kacamata, belum lagi lingkaran hitam dikelopak bawah mata; kuyu, tak terurus, dan kusam. Mungkin seperti cucian yang belum sempat dicuci namun sudah terlanjur direndam. Lauk dipiringnya berantakan dengan komposisi yang sekenanya, banyak nasi dan sedikit sayur. Garpu teronggok asimetris ditepi piring sehingga beberapa butir nasi berceceran disekitarnya.

Lalu gundukan makan siang dipiring kami masing-masing sudah habis volumenya. Beberapa menit setelah meletakkan sendok garpu dan melirih berdoa untuk bersyukur, sang wanita pretensius membenahi lauk pauk yang tersisa, si lelaki muda membawa piring yang dipakainya sendiri ke tempat cucian piring, si perempuan muda berambut ponitail menata rapi piring lauk yang sudah dibenahi ibunya tadi dan membawa sisa-sisa piring kotor ke dapur. Sedangkan si perempuan aneh satu lagi meregangkan tubuh dan merentangkan kakinya dibawah meja, bersendawa agak keras, lalu dengan malas-malasan meninggalkan meja dengan acuh dan menuju ke kamarnya untuk berselonjor.

Kami menyebut perempuan aneh itu sebagai alien, alien di meja makan kami.

Dan alien itu adalah aku.




*Bilahan kesatu, lembar pertama.

4.10.2011

Sang Pemimpi

Tuhan tahu, tapi menunggu
Ingin melihat dulu sebaik apa kita menjadi pemimpi yang baik
Karena pemimpi yang baik adalah yang tak perlu malam untuk terpejam
Dan tak perlu pagi untuk terbangun
Atau menunggu terlelap untuk merangkai abstrak menjadi konkret

"Siapalah aku berani mimpi seganjil itu?
Tuhan memenuhi janji.
Bahwa semesta akan memihak pendoa yang berkeingin keras."
Wulan Ramdhani


Karena seorang pemimpi itu bukan pengkhayal yang berpangku tangan
Digenggamannya selalu ada kepingan puzzle, bakal calon sebuah mozaik indah yang akan utuh
Mungkin menjadi pemimpi memang tidak semudah menjadi pengkhayal
Mungkin menjadi pemimpi membutuhkan keberanian dan kegilaan
Mungkin menjadi pemimpi harus memiliki keyakinan didepan refleksi yang akan tercipta nanti
Dan menjadi pemimpi tidak semudah memejamkan mata lalu terlelap dengan segera
Menjadi pemimpi adalah pertanyaan untuk menjawab akan menjadi apa kita nanti

"setiap mimpi seperti bayi
memiliki takdirnya sendiri-sendiri
kadang, manusia memilih jadi Tuhan dengan mengakhiri terlalu dini"
Gietha 'neng' Lestari

Karena pemimpi adalah petualang dan pejuang
Bukan hanya sekedar pendaman keinginan tanpa adanya pengutaraan
Semesta selalu menunggu pengutaraan
Semesta membutuhkan peluh dan keringat sebagai persembahan selain doa
Semesta pun membutuhkan mimpi dan pemimpi

“Kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu! Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati.”
Arai


Pemimpi tak akan berhenti walau terjeda mimpi yang buruk
Pemimpi tak pernah mempunyai tangga, tapi pemimpi memiliki banyak balok untuk disusun
Di tengah kemiskinan realita, pemimpi selalu kaya dengan logika
Karena hidup berawal dari mimpi, keringat, dan keinginan
Ingat, Tuhan tahu, tapi menunggu
Selamat berjuang para pemimpi yang baik


"bangun kembali menara babel
bermimpilah yang manis"
Soemantri Gelar











*Terimakasih untuk semua inspirasi-inspirasinya, semoga menjadi pemimpi yang tangguh

Bahwa ketololan saya adalah terlambat GILA.

Bahkan, kadang saya iri melihat kehebatan mereka
Setengah mengatup mulut dan bergumam sedikit salut, "keberuntungan selalu berbaik hati pada mereka, tapi tidak dengan saya"
Bisa apa saya? Saya hanya bisa bicara sebaris dan diam dua baris
Saya seorang skeptis yang terlalu pragmatis
Energi saya selalu penuh karena saya belum berbuat apa-apa, kecuali bicara sebaris dan diam dua baris
Padahal saya adalah pemimpi yang terlalu muluk-muluk
Menghabiskan waktu dengan kontemplasi yang selalu berujung buntu
Berharap rombongan urban membawa saya bereksodus
Jauh... jauh menyebrangi antariksa yang konon garis batasnya masih taksa

Lagi-lagi, saya adalah pemimpi dan pengkhayal buruk yang terlalu muluk-muluk
Lagi-lagi, hanya bisa bicara sebaris dan diam dua baris
Siapa sih saya? Hanya seseorang yang gemar menamai planet terpaten dengan label sesuka-sukanya
Yang bercincin itu, namanya planet Tajir. Yang paling kecil itu, namanya planet Prematur, dan yang paling dekat dengan bumi, itu namanya planet Anus.

Lagi-lagi... hanya bisa menggambar garis kasar di buku sketsa, memandanginya barang dua menit lalu membenamkannya pada dasar dus di sudut kamar
"orang lain begitu lihai menggores, sepertinya mudah, tetapi saya tidak pernah bisa"

Lagi-lagi... memenuhi folder arsip tulisan yang bahkan setelah SAVE AS masih saja bingung untuk menjudulinya, selalu terjebak dengan angan-angan ending yang bombastis
"lalu kapan tulisan-tulisan ini bisa segera terbit dengan nama pena yang bahkan telah dibuat jauh hari sebelum saya menyadari bahwa saya senang menulis?"

Lagi-lagi... selalu berakhir dengan mengelus dada yang sesak ketika nafas terjeda untuk serangkaian aba-aba dari sang pelatih futsal, selalu terinterupsi nyeri dan terengah,
"rehat, napas saya tidak sampai, kontrol saya buruk, penglihatan saya kabur diblurkan refraktif miopi hingga sulit mendeteksi arah"

Dan lagi-lagi saya hanya bisa bicara sebaris dan diam dua baris
Apa yang saya sukai selalu berparadoks tanpa sintesis
Mencari kambing hitam atas ketidakmampuan dan mendewakan alasan yang menjadi tumpuan
Ternganga melihat karya-karya cantik dari tangan-tangan lentik
Membelalak melihat mereka yang menari gemulai di pita finish

Lalu bagaimana, bagaimana dengan mereka yang berpaham teoritis?
Apakah mereka berhasil membeludrukan kanyataan dari sekedar selembar katun teori?
Mencomot kutipan-kutipan maha dahsyat dari tokoh populer yang menjadi sumber inspirasi multifungsi
Untuk falsafah, untuk gengsi, untuk panduan, semua saling sulang tinggi-tinggi
Saya berlatah mencari untuk kutipan yang paling berlimpah misioner
Bukan dari seorang pemikir, atau seorang filsuf, atau seorang penemu, atau seorang legenda,
tapi hanya dari seorang tokoh rekaan antagonis yang lahir dari rangkaian imajinasi

"madness, as you know, is like gravity. All it takes is a little push!"
The Joker
(kegilaan, seperti yang anda ketahui, adalah serupa gravitasi. Yang dibutuhkan hanyalah sedikit dorongan!)

Baiklah, baiklah, saya memang dan mungkin berkemampuan minimalis
Mau saya banyak, mimpi saya menjulang
Tetapi saya ternyata kurang 'gila'
Kurang gila untuk terus berusaha menyenggamakan keinginan dengan kemampuan-serba-terbatas agar lebih bersintesis
Karena bakat tak pernah ada dan tak akan ada, yang ada hanyalah kegilaan
Dan saya setuju bahwa saya memang harus gila, bukan hanya seperempat, sepertiga, atau setengah gila untuk semua elemen yang akan menjadi badge saya
Bukan hanya untuk sekedar menggores, menulis, atau berpeluh-keringat-seorang-atlit saja yang mengharuskan saya gila
Akan tetapi saya juga harus berani gila mengejar waktu dan kehidupan yang kini tak lagi merangkak, namun telah berlari
Dan cukuplah saya mengakui bahwa ketololan saya adalah terlambat 'gila'

Mereka yang saya anggap hebat itu, akan saya kejar dalam diam-diam yang tak lagi dua baris
Hingga saya tidak lagi berdiri sebagai tukang tepuk tangan plaudis dibelakang garis
Mungkin nanti bukan hanya merubah nama-nama planet yang terpaten, tapi juga menemukan planet baru bersertifikat dunia atas nama saya.




*Sepertiga malam, di ruang sunyi, ditemani 2 stimulan; segelas kafein dan pesan pendek dari yang tersayang (Sg2011)

3.22.2011

RUANG MATI SURI

Dia telah terbenam dan memerintahkanku untuk segera memati-surikan hidup. Itu berarti aku harus mencari ruang dan berjalan melewati beberapa genangan karena hari ini temannya menangis, membasahi bidang kotor ini. Sebuah perjalanan lagi, dan aku akan berkenalan dengan banyak hal lewat ujung sepatuku.


Seperti ketika mendapati sebuah kaleng minuman penyok dipinggir jalan yang tak henti-hentinya memaki karena selalu di tendang ujung sepatu, dari yang satu ke satu yang lain. “HEI, LEMPAR SAJA AKU KE TEMPAT SAMPAH!!!“ Dia berteriak sambil meludah. Silinder biru bertuliskan “TRASH“ menggumam dengan mulut setengah rapat, “kau lihat, disini akan segera penuh dan kau tak kebagian tempat.“ Ujung sepatuku mendengus.


Di depan sebuah kubus kaca, mengkilap dan mewah, aku berhenti untuk mengendus. Aku tahu bahkan tanpa meraba, itu kaca anti peluru, bahkan mungkin anti misil. Sederet tulisan dari tinta emas tergores angkuh dan pongah disana, “LUXURY“. Mereka membuang muka, bau kapitalis menguar padahal kaca itu tak berpori. Bau dari kumpulan pengkhianat dan pemerkosa itu. “PENGKHIANAT? HEI, KAMI ADALAH IDENTITAS MEREKA!“ Tertawa setelah mentahbiskan, mereka meludahiku. Salah satu berteriak, “apakah Karl tidak pernah memberitahumu tentang predominasi minoritas[1]??!!“


Cih.


Aku mengendus untuk hari ini, untuk mencari ruang. Penciuman dan kakiku bergerak sinkron, menari dengan sugesti, “Semua baik-baik saja, semua pasti akan baik-baik saja.“ Ya, semua akan baik-baik saja, ayo tersugesti!

Bukankah kali ini aku tahu apa yang sedang kucari? Aku mencari ruang -entah simetris atau asimetris- yang sepertinya layak untukku, walau sebagian dari mereka bilang tidak.


Di trotoar, di ujung kaki tunawisma yang kedinginan dan kelaparan, aku duduk menggambar sketsa persinggahanku dengan sihir di atas langit.

“As I enter the portal,

I feel the enchantment

The stars above are lying at my feet.

In the heart of the pine forest.

Where birds are singing,

for the new born sun.

My new born sun.”


Sketsa halus dari sihir ujung jariku. Disana, di jantung hutan pinus, hijau dan lembab. Yang wanginya dapat membuat fatamorgana dalam fatamorgana. Lalu langit pekat tersenyum sebentar, sonatina terdengar sayup. Padahal sketsaku belum lagi rampung.

“Ini pengantar tidurmu, lullaby-mu, buaian untuk kelopak matamu, meski sebentar, terlelap lah dalam jantung hutan pinus…”


Rentang waktu tiba-tiba menjambakku, retina menjelaskan situasi para skeprisisme yang berlarian dengan lincah dan histeris didepanku. Seorang wanita berjakun tebal dan berbulu lebat dikaki meluangkan waktu krisisnya untuk meneriakiku,

“KENAPA KAU TIDAK LARI?? KAU LIHAT, TAK ADA RUANG UNTUK YANG SEPERTI KITA! TIDAK AKAN PERNAH!!”


Gelombang compang-camping dihalau oleh pasukan berseragam dengan tongkat seperti tongkat bisbol. Seorang pengamen mengalunkan sebait lagu sendu dan mendayu dengan biola tuanya,

“Is there a place deep within

A place where you hide your darkest sins”

Sebelum tergerus pilu aku meratap, “Aku mencari bukan untuk bersembunyi, tapi aku mencari untuk mati suri…”


Dan kakiku turut tenggelam dalam derap saling memburu, di tengah banyak nafas yang terengah. Seorang pendeta di seberang membuka jendela gereja dan memberi tanda, kemari nak, pintu ini terbuka untuk para peniten[2]. Ada bilik penyesalan dosa yang masih kosong dan terbuka.

Bukan karena mereka bilang tak layak untukku yang menjadikan alasanku menggeleng. Aku hanya butuh untuk mati suri. Aku ingin jantung hutan pinus itu, berbaring disana dengan bau lembabnya.


Kini kakiku berhenti di atas tempat penjejakkan yang berangin kering. Tak lagi mendapati mereka yang senang meludahiku, bukan kaleng rombeng itu, bukan juga bobot gemerlap yang dinilai dari karatnya itu. Hanya sebuah ruang simetris dari kayu mahoni sederhana yang berbau pinus. Persinggahan yang nyaris meyerupai sketsa yang ku gambar untuk malam terakhir. Masih terekah tutupnya, masih suci seperti cawan Maria. Tanpa meraba aku tahu, ini bukan tempat pembuangan, tapi juga bukan tempat pemujaan, ini adalah tempat yang kucari untuk mati suri. Ruang ini terdesain bukan untuk berdiri tegak, melainkan untuk reklin[3]. Bukan jantung hutan pinus, tapi ini sudah cukup untuk hasratku. Ku senandungkan pengantar tidurku,


“In my coffin, in my world of dreams and make believe

i reigns forever

With all my glory

In this world of endless fantasy

i makes it happen

It's my reality“


Selamat tidur untuk hidupku, dibawah tutup peti mati mahoni berbau pinus.





Dunia mimpi, duadua maret duaribusebelas



[1] Minoritas yang menempati kekuasaan besar atau utama

[2] Penyesal dosa

[3] Posisi berbaring

3.20.2011

Mama mulai bilang serius tetapi aku bilang baru mulai bermain

membicarakan cita-cita, tak se-ringan ketika masih duduk di bangku TK A

atau ketika berseragam putih merah dan berkuncir dua

dulu yang bertanya, adalah bu guru yang riang dengan suara yang ceria,

"siapa yang mau jadi dokter?"

"saya bu guruuu...!!"


"sudah besar mau jadi apa?"

"jadi polwan!"

"jadi dokter!"

"jadi insyinyuuurr!!"

dulu, membicarakan cita-cita seperti membicarakan tokoh artis idola yang sebentar lagi datang

seperti jauh, tapi yakin digapai


ringan, penuh harapan dan bergumpal antusias, jadi apa aku nanti?

siapa sangka, kerangka tak selalu konsisten dengan struktur sendi

ketika sekarang, membicarakan cita-cita selalu dengan helaan nafas, berat

binar yang hilang di pangkal sampai sudut bola mata

"mau jadi apa kamu ke depan?"

"yang pasti bukan jadi pecundang."

membicarakan cita-cita seperti membicarakan harga tempe yang stabil atau harga berlian yang labil


mama mulai bilang serius, tetapi aku bilang baru mulai bermain


cita-cita harus setinggi langit, dan satu

cita-cita harus penuh cinta, dan majemuk

aku bermain dengan cita-cita dan mengakrabkan diri dengan bermimpi, beberapa hal, tak hanya satu

"jadi?"

"jadi istri yang solehah dan menurut pada suami."

"bukanlah itu, ini tentang pekerjaan ke depan,"


Jadi, apakah cita-cita selalu berbicara tentang pekerjaan?