Ambigu. Kamu bilang aku melempar bahasa gagu, sekat iris matamu lalu jadi pekat. Hitam. Lalu, bagaimana aku harus menyampaikannya?
pareidolia
Ketika kita memandang langit yang sama, dan awan yang sama Aku bilang kumulus itu adalah burung Tapi kamu bilang itu adalah pesawat
pareidolia
Ketika kita melihat permukaan bulan di malam yang sama, dan ditempat yang sama Aku bilang itu kelinci bulan Tapi kamu bilang itu lubang kancing
pareidolia
Ketika kita menatap dari jauh segurat wajah yang mendekat Aku bilang dia akan menjadi temanku Tapi kamu bilang dia sudah menjadi musuhmu
refleksi berbeda dari titik sama padahal itu hanya pareidolia jauh berseberangan melempar padahal itu hanya pareidolia tangkapan pendengaran yang kontra padahal itu hanya pareidolia oposisi biner lalu kita kembali ber-pareidolia
telekinetis mengundi bangku dan rekomposisi kamu mengingatkanku bahwa itu semua hanya pareidolia kamu mengajakku beranjak dari dunia pareidolia yang tak remeh
"samakan langkah dari pandangan yang berbeda, sayang."
kembali rebah di lapang rumput sambil memandang di biru yang sama aku bilang langit itu abu-abu aku kembali dengan bahasa gaguku, tapi kamu bersenandung di sampingku,
"I once fell in love with you Just because the sky turned from gray Into blue.."*
"Selamat datang diduniaku.."Lysander merentangkan tangannya sebagai sambutan sang tuan rumah. Aku memandang ke sekitar, ini adalah Nocturne, pijakan lompatanku yang paling jauh namun dijangkau dengan rentang waktu yang paling singkat.
Lysander menggamit tanganku dengan hangat dan membawaku ke meja pohonnya. "Ini bulan Juli, bulan kesukaanmu. Tapi mengapa kau bisa di tempat ini, Nocturne adalah tempat yang suram walau namanya amat indah." Aku memperhatikan tangan Lysander yang lincah meracik kopi favoritku. Lalu menghela pelan namun terdengar sampai seberang, "Phantasmagoria telah menjadi dunia yang asing dan tak menyenangkan." Lysander menatapku sejenak, meyelami kegalauan yang mengelebat dimanik mataku. Lalu dengan pelan bersenandung lirih dengan ciri khasnya, senandung nocturne.
"Her weary heavy head in the gallows and the graves of the milky milky cradle His tears have turned to poppies A shimmer in the midnight A flower in the twilight"
Ia menyeruput kopinya sendiri dan mencondongkan tubuhnya ke arahku, "Lihat bola matamu, tak berair tapi sendu. Ingin meratap kesedihan bahwa kau ingin percaya dengan Phantasmagoria tanpa delusi, tapi tak bisa.." Belum senja di Nocturne, tapi tak ada awan kumulus yang menggantung di langitnya. Suram, dan tak seindah namanya. "Aku bukannya tak percaya, tapi tak yakin.." "Mengapa, dengan mencintai berarti itu keyakinan. Phantasmagoria tidak berubah, kau yang berubah..." "...Dan ia pun menunggu kau kembali dengan kesiapannya menerima perubahanmu. Kau sebenarnya belum sampai ke tiang gantungan..." Aku ingin memprotesnya tapi tak sempat, kembali ia menyenandungkan nocturne-nya,
"We're just two lost souls swimming in a fish bowl, year after year, Running over the same old ground. How we found the same old fears. "
Aku membelalakkan mata dan melemparkan pandangan kesal ke arahnya, "Tidak, hanya aku! Hanya aku yang disisi ketakutan." "Tidak sayang, dia pun. Kalian sama. Kalian di sisi yang sama." "Aku tak yakin, dia bisa dengan mudah melompat dari Phantasmagoria!" "Lalu kenyataannya? Yang berada diluar Phantasmagoria sekarang adalah kau, bukan dia. Kau yang melompat dari sana. Dan dialah yang tetap disana." Aku tercenung dan bermili air mulai mengumpul di pelupuk mata. Dia, dia adalah alasan kenapa aku melompati Phantasmagoria dan berada di tempat suram ini. Menyadari bahwa aku benar-benar terdelusi dan tak berpegang lagi pada mimpi.
Lysander yang tampan membelai kelopak mataku dan menggenggam tanganku dengan hangat. "Kembalilah dengan segera ke Phantasmagoria, kalahkan delusi dan lihat mimpinya." Aku menyeka bulir pertama yang turun dipipiku, "Ceritakan tentang Hermia." Lysander terdiam dan sekilas matanya menyiratkan luka, "Ia memilih membiara daripada mati di tiang gantungan karena menolak menikah dengan pria pilihan ayahnya. Ia seperti cawan Maria. Tapi itu bukan pilihanmu, kau punya kekuatan, tapi selalu kalah oleh kelemahan." "Dan aku memang lebih baik sendiri." Aku menyambung perkataannya. Lysander beranjak dan menuang kopinya lagi untukku, "kau sangat keras kepala untuk hal ini." "dia pun bilang begitu." "Dan dia pun sama keras kepalanya denganmu, tapi dia yang sesungguhnya menang. Buktinya dia masih berjejak pada tanah Phantasmagoria." Aku menatap riak kecil di cangkir kopiku. "Ceritakan tentang dia." nada penekanan hadir di kalimat terakhir. Aku menghela nafas.
"Dia, dulu jauh dan tak tergapai. Nama dunia yang ku pijak kala itu adalah As. Bermain roulette rusia di tiap menyapanya. Berjudi setengah mati berharap ujung jarum berpihak padaku. Aku tenggelam dalam permainan, dan sadar ketika aku sudah terjebak di kubangan. Lalu aku melompat ke dunia Suicide. Aku nekat untuk berjalan disampingnya. lalu ia mengajarkan aku menjadi pelari dan petangguh. sehingga aku kembali melompat dan akhirnya menjejak pada dunia pencapaianku, Phantasmagoria." Aku menatap mata Lysander berharap ia menginterupsi pembicaraanku. Tapi Lysander hanya mengangguk, berisyarat bahwa ia hanya ingin diam dan mendengarkan. "Lalu aku pun terperangkap delusi yang ku ciptakan sendiri."
Delusi, ya, delusi. Aku terperangkap delusi dan membuyarkan semua mimpi kami sebagai pelari. Dia yang menawarkan untuk menggantikanku ditiang gantungan, tapi aku menolaknya mentah-mentah dan berkeras kepala. "Lalu kau pun menyakitinya dan menyakiti dirimu, benar kan?" Aku tahu itu tak perlu jawaban. Aku mencumbu pekat kopi didasar cangkir. "Delusi merusak pandanganmu dan memburukkan lisanmu." Ya, dan itu tak bisa dibendung.
"You don't wanna hurt me, But see how deep the bullet lies. Unaware that I'm tearing you asunder. There's a thunder in our hearts, baby."
Senandung Lysander telak membuatku tergagap. Mengapa di dunia yang kulompati paling jauh ini ia tahu apa yang ada didalam hatiku saat ini? Dan apakah dia yang berada di Phantasmagoria sama tahunya dengan Lysander? "Tentu ia tahu sayang, sangat tahu." Aku menangis tanpa malu, mengingatnya yang menunggu. "Kau ingin disini dulu untuk sementara?" Aku mengangguk dalam sesengguk. "Hanya untuk sementara kan?" Aku mengangguk lagi, "tapi aku belum tahu sampai kapan.." Lysander membelai rambutku, mengangkat daguku hingga mendongak, "Ada yang ingin kau sampaikan padanya tanpa nocturne?" Aku menatap manik matanya dengan yakin,
"Sampaikan padanya, aku mencintainya, dan berharap ia masih sabar menunggu."
***
*Lysander-William Shakespeare, Midsummer night's dream, Gallows-Cocorosie, Wish you were here-Rasputina, Running up the hill-Placebo.
"Hari ini ayah pulang," begitu ujar suara dari sebrang sana, 25 kilometer di utara kaki Meurapi. Tanpa tanda seru, tapi juga tidak dengan nada datar ataupun minor, sehingga aku sebagai penerima pesan pun hanya bisa tersenyum segaris lalu perlahan menghilang seiring dengan nada sambung telepon yang terputus. Aku memberi kabar gembira ini beberapa menit kemudian setelah mood-ku dirasa baik, kepada mereka yang tengah berkutat memanipulasi waktu dengan kegiatan mengada-ngadanya.
"Hari ini ayah pulang!" seruku di pintu pertama. Aku tak perlu mengetuknya karena pintu itu selalu terbuka lebar dan aku adalah orang pertama yang diberi previllege untuk bebas keluar masuk kamar itu. Lelaki muda berkulit hitam itu -si pemilik kamar-, mendongakkan kepala dan meninggalkan rumusan phytagorasnya demi meyambut seruanku tadi dan menunjukkan air muka yang didominasi rasa antusias. "malam ini?? hari ini??" Aku menganggukkan kepalaku kuat-kuat, memantulkan balik rasa antusiasnya. Lelaki itu tersenyum lebar, bahkan terlalu lebar untuk ukuran batas garis senyumnya. Aku tahu senyumnya memiliki 2 makna, adalah untuk berita baiknya, dan untuk si pembawa beritanya.
"Hari ini ayah pulang." aku mengucapkannya dengan nada sedikit naik pada kata terakhir. Pintu yang hampir tertutup itu adalah pintu kedua yang aku datangi. Perlahan kudorong pintu itu tanpa memegang daunnya. "Hei, hari ini ayah pulang." aku melihatnya tengah membaca dengan punggung tegak dan jarak baca yang optimal. '9 summer and 10 autumn', itu adalah novel yang telah selesai kubaca 3 hari yang lalu. Gadis berkuncir kuda itu mengangkat kepalanya dan tersenyum sumringah kepadaku. "Ya, hari ini jadwalnya ayah pulang. jam 9 malam pasti sampai. Hmm, mungkin ayah ingin kue gemblong lagi, makanya tadi pagi aku belikan untuknya." Lalu ia menatapku seakan meminta responku atas usahanya. Ia tersenyum puas, entah sebagai kebanggaannya yang selalu bisa menyenangkan hati orang, entah juga sebagai perasaan menangnya yang selangkah lebih maju dariku untuk menyambut sang ayah. Aku hanya mengangkat kedua alisku dan membatalkan niatku untuk mendiskusikan isi novel itu, lalu beranjak menghampiri pintu. "errr sis, pintunya dibuka sedikit saja seperti tadi, tapi jangan terlalu lebar.." ujarnya sambil tersenyum. Ya, dan jangan terlalu lebar.
"Hari ini ayah pulang.." Aku berdiri didepan pintu ketiga yang benar-benar tertutup rapat. Pintu paling besar dan tanpa celah, bahkan untuk sekedar beberapa milimeter celah sirkulasi udara. Tentu karena adanya jendela besar yang menghadap keluar, sehingga pintu ini tak memerlukan lagi celah untuk pertukaran udaranya. Aku berdiri gamang dan enggan, antara jengah dan segan. Menghabiskan waktu dengan banyak pertimbangan. Memilin-milin ujung bajuku lalu melakukan permainan tangan; mengasurkannya ke daun pintu, menariknya, mengangsurkannya, lalu menariknya lagi, hingga kali kelima aku memutuskan untuk berhenti berbuat konyol akibat kegamanganku ini. Lalu aku berbalik dan menyimpulkan; 'toh, sepasang yang telah memiliki jiwa satu sama lain tak perlu lagi diberi kabar oleh pihak ketiga. Pasti ia tahu belahan jiwanya akan pulang malam ini. Kabar dariku pun akan menjadi basa basi karena sebelumnya ia pasti telah tahu, bahkan diberitahu duluan daripada aku.' Aku melangkah meninggalkan pintu kokoh itu yang bahkan belum sempat kusentuh. Aku merasa benar dengan alasan tadi, padahal, sesungguhnya aku melarikan diri dari alasan yang sebenarnya; 'bingung memikirkan bahasa yang baik untuk menyampaikan berita ini kepadanya'.
Langkahku menjadi ringan karena tugasku menyampaikan berita telah selesai, walaupun untuk yang terakhir sengaja aku anulir. Aku memang senang menyampaikan berita dari pintu ke pintu, seperti seorang sales elektronik yang kerap lewat depan rumahku. Berbeda dengan si gadis kuncir kuda yang selalu menyampaikan berita setelah kami selesai makan siang, atau si lelaki muda berkulit hitam yang langsung berteriak sesaat setelah menutup telepon. Ah, bagaimanapun caranya, berita memang harus disampaikan. Sekarang tujuanku adalah pintu keempat, pintu bercat putih yang didepannya banyak tempelan stiker. Pintu itu masih terbuka lebar sebelum aku masuk dan membuatnya menjadi tertutup rapat dan terkunci. Memamerkan sebuah poster coretan tangan kepada siapapun yang melewati pintu ini,
Masih dalam lingkup obsesi tentang perjalanan Tentang tempat indah untuk jejak yang menagih Menjadi alien tanpa radar, spontan Di atas tanah yang coklat dan hangat, seusai hujan sebagian bilang tak menjejak bumi, tapi itulah yang namanya sebuah mimpi
melihat jauh dari seberang mereka yang seragam sok pintar, sok serius, sok memahami hidup ringan jenjangku melompati garis planet dan merapatkan mantel lalu tutup kitab tentang peraturan yang selalu dibuat rumit
"kenapa mereka membuat koloni yang seragam, mana ratu, mana pekerja, mana tentara, mereka bertopeng sama, bergerak statis dan realis"
"atas dasar apa mereka merasa lebih unggul dan mengangkat dagu? Fisik, wawasan, kekayaan, kemampuan, atau pemikiran yang dibuat berkotak-kotak dan mengerucutkah?"
lalu disudut dingin selalu menjadi tempat permanen si pecundang sampai biru dan membatu, seragam khas pesakitan khas subkultur khas minor sengau, sumbang
lalu tentang obsesi alien, obsesi perjalanan, obsesi tempat indah, obsesi planet baru, salahkah? Sebagian bilang tak menjejak bumi, tapi inilah akhir sebuah mimpi, yaitu mulai mengejar
Siapa yang menyuruhku harus menyerah? Tak ada!! Maka aku tak akan pernah menyerah.
Bangku itu hanya berjarak kurang dari satu meter didepanku, tapi aku merasa jaraknya berkilo-kilometer dengan tembok pemisahnya yang sangat tebal. Wanita itu, dengan kacamata minus silinder yang menambah keayuannya, menekuri piring makan siangnya sedemikian rupa seakan-akan lauk pauk yang terhidang adalah makanan terakhir yang bisa dinikmatinya. Sesekali terdengar deheman yang teredam sekedar membersihkan saluran tenggorokan. Lalu kembali denting sendok garpu yang mendominasi keheningan dimeja makan ini. Aku menatap dua orang disisi kanan kiriku melalui ekor mataku. Seorang lelaki 18 tahun yang berpostur tinggi kurus, berkulit hitam dan berkacamata minus 3,5. Tangan kanannya menyendokkan bermiligram nasi ke dalam mulut dan tangan kirinya memisahkan lauk kesukaannya dengan menggunakan garpu. ‘Yang enak selalu disisakan terakhir’, begitu wataknya yang aku kenal. Seorang lagi, di sisi kiriku, adalah gadis cantik 17 tahun berkulit putih dan bermata bulat yang keanggunannya hampir identik dengan wanita didepanku. Rapi, dan terlihat pretensius. Lauk dipiringnya bahkan masih tertata dan sistematik seperti awal kali mengalas. Dalam piring itu nasi tergunduk disebelah kanan, rendang dan sayuran salad disebelah kiri. Sendok dan garpu yang bergerak selaras dan dinamis seperti ayunan tangan dirigen yang memimpin orkestra. Kacamata minus 1-nya terselip rapi di saku depan baju. Rambut legamnya diikat ponitail yang tinggi dan elegan.
Aku tersenyum miring melihat wajah-wajah disekitarku. Andai ada cermin yang terpancang diruang makan ini,mungkin aku akan melihat refleksi satu makhluk lagi yang terlihat memprihatinkan. Rambut superpendek dicat ungu yang tidak banyak membantu mempercantik penampilannya, juga mata minus 2 yang mungkin bertambah karena jarang memakai kacamata, belum lagi lingkaran hitam dikelopak bawah mata; kuyu, tak terurus, dan kusam. Mungkin seperti cucian yang belum sempat dicuci namun sudah terlanjur direndam. Lauk dipiringnya berantakan dengan komposisi yang sekenanya, banyak nasi dan sedikit sayur. Garpu teronggok asimetris ditepi piring sehingga beberapa butir nasi berceceran disekitarnya.
Lalu gundukan makan siang dipiring kami masing-masing sudah habis volumenya. Beberapa menit setelah meletakkan sendok garpu dan melirih berdoa untuk bersyukur, sang wanita pretensius membenahi lauk pauk yang tersisa, si lelaki muda membawa piring yang dipakainya sendiri ke tempat cucian piring, si perempuan muda berambut ponitail menata rapi piring lauk yang sudah dibenahi ibunya tadi dan membawa sisa-sisa piring kotor ke dapur. Sedangkan si perempuan aneh satu lagi meregangkan tubuh dan merentangkan kakinya dibawah meja, bersendawa agak keras, lalu dengan malas-malasan meninggalkan meja dengan acuh dan menuju ke kamarnya untuk berselonjor.
Kami menyebut perempuan aneh itu sebagai alien, alien di meja makan kami.
Tuhan tahu, tapi menunggu Ingin melihat dulu sebaik apa kita menjadi pemimpi yang baik Karena pemimpi yang baik adalah yang tak perlu malam untuk terpejam Dan tak perlu pagi untuk terbangun Atau menunggu terlelap untuk merangkai abstrak menjadi konkret "Siapalah aku berani mimpi seganjil itu? Tuhan memenuhi janji. Bahwa semesta akan memihak pendoa yang berkeingin keras." Wulan Ramdhani Karena seorang pemimpi itu bukan pengkhayal yang berpangku tangan Digenggamannya selalu ada kepingan puzzle, bakal calon sebuah mozaik indah yang akan utuh Mungkin menjadi pemimpi memang tidak semudah menjadi pengkhayal Mungkin menjadi pemimpi membutuhkan keberanian dan kegilaan Mungkin menjadi pemimpi harus memiliki keyakinan didepan refleksi yang akan tercipta nanti Dan menjadi pemimpi tidak semudah memejamkan mata lalu terlelap dengan segera Menjadi pemimpi adalah pertanyaan untuk menjawab akan menjadi apa kita nanti "setiap mimpi seperti bayi memiliki takdirnya sendiri-sendiri kadang, manusia memilih jadi Tuhan dengan mengakhiri terlalu dini" Gietha 'neng' Lestari
Karena pemimpi adalah petualang dan pejuang Bukan hanya sekedar pendaman keinginan tanpa adanya pengutaraan Semesta selalu menunggu pengutaraan Semesta membutuhkan peluh dan keringat sebagai persembahan selain doa Semesta pun membutuhkan mimpi dan pemimpi “Kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu! Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati.” Arai Pemimpi tak akan berhenti walau terjeda mimpi yang buruk Pemimpi tak pernah mempunyai tangga, tapi pemimpi memiliki banyak balok untuk disusun Di tengah kemiskinan realita, pemimpi selalu kaya dengan logika Karena hidup berawal dari mimpi, keringat, dan keinginan Ingat, Tuhan tahu, tapi menunggu Selamat berjuang para pemimpi yang baik "bangun kembali menara babel bermimpilah yang manis" Soemantri Gelar *Terimakasih untuk semua inspirasi-inspirasinya, semoga menjadi pemimpi yang tangguh
Bahkan, kadang saya iri melihat kehebatan mereka Setengah mengatup mulut dan bergumam sedikit salut, "keberuntungan selalu berbaik hati pada mereka, tapi tidak dengan saya" Bisa apa saya? Saya hanya bisa bicara sebaris dan diam dua baris Saya seorang skeptis yang terlalu pragmatis Energi saya selalu penuh karena saya belum berbuat apa-apa, kecuali bicara sebaris dan diam dua baris Padahal saya adalah pemimpi yang terlalu muluk-muluk Menghabiskan waktu dengan kontemplasi yang selalu berujung buntu Berharap rombongan urban membawa saya bereksodus Jauh... jauh menyebrangi antariksa yang konon garis batasnya masih taksa
Lagi-lagi, saya adalah pemimpi dan pengkhayal buruk yang terlalu muluk-muluk Lagi-lagi, hanya bisa bicara sebaris dan diam dua baris Siapa sih saya? Hanya seseorang yang gemar menamai planet terpaten dengan label sesuka-sukanya Yang bercincin itu, namanya planet Tajir. Yang paling kecil itu, namanya planet Prematur, dan yang paling dekat dengan bumi, itu namanya planet Anus.
Lagi-lagi... hanya bisa menggambar garis kasar di buku sketsa, memandanginya barang dua menit lalu membenamkannya pada dasar dus di sudut kamar "orang lain begitu lihai menggores, sepertinya mudah, tetapi saya tidak pernah bisa"
Lagi-lagi... memenuhi folder arsip tulisan yang bahkan setelah SAVE AS masih saja bingung untuk menjudulinya, selalu terjebak dengan angan-angan ending yang bombastis "lalu kapan tulisan-tulisan ini bisa segera terbit dengan nama pena yang bahkan telah dibuat jauh hari sebelum saya menyadari bahwa saya senang menulis?"
Lagi-lagi... selalu berakhir dengan mengelus dada yang sesak ketika nafas terjeda untuk serangkaian aba-aba dari sang pelatih futsal, selalu terinterupsi nyeri dan terengah, "rehat, napas saya tidak sampai, kontrol saya buruk, penglihatan saya kabur diblurkan refraktif miopi hingga sulit mendeteksi arah"
Dan lagi-lagi saya hanya bisa bicara sebaris dan diam dua baris Apa yang saya sukai selalu berparadoks tanpa sintesis Mencari kambing hitam atas ketidakmampuan dan mendewakan alasan yang menjadi tumpuan Ternganga melihat karya-karya cantik dari tangan-tangan lentik Membelalak melihat mereka yang menari gemulai di pita finish
Lalu bagaimana, bagaimana dengan mereka yang berpaham teoritis? Apakah mereka berhasil membeludrukan kanyataan dari sekedar selembar katun teori? Mencomot kutipan-kutipan maha dahsyat dari tokoh populer yang menjadi sumber inspirasi multifungsi Untuk falsafah, untuk gengsi, untuk panduan, semua saling sulang tinggi-tinggi Saya berlatah mencari untuk kutipan yang paling berlimpah misioner Bukan dari seorang pemikir, atau seorang filsuf, atau seorang penemu, atau seorang legenda, tapi hanya dari seorang tokoh rekaan antagonis yang lahir dari rangkaian imajinasi
"madness, as you know, is like gravity. All it takes is a little push!" The Joker (kegilaan, seperti yang anda ketahui, adalah serupa gravitasi. Yang dibutuhkan hanyalah sedikit dorongan!)
Baiklah, baiklah, saya memang dan mungkin berkemampuan minimalis Mau saya banyak, mimpi saya menjulang Tetapi saya ternyata kurang 'gila' Kurang gila untuk terus berusaha menyenggamakan keinginan dengan kemampuan-serba-terbatas agar lebih bersintesis Karena bakat tak pernah ada dan tak akan ada, yang ada hanyalah kegilaan Dan saya setuju bahwa saya memang harus gila, bukan hanya seperempat, sepertiga, atau setengah gila untuk semua elemen yang akan menjadi badge saya Bukan hanya untuk sekedar menggores, menulis, atau berpeluh-keringat-seorang-atlit saja yang mengharuskan saya gila Akan tetapi saya juga harus berani gila mengejar waktu dan kehidupan yang kini tak lagi merangkak, namun telah berlari Dan cukuplah saya mengakui bahwa ketololan saya adalah terlambat 'gila'
Mereka yang saya anggap hebat itu, akan saya kejar dalam diam-diam yang tak lagi dua baris Hingga saya tidak lagi berdiri sebagai tukang tepuk tangan plaudis dibelakang garis Mungkin nanti bukan hanya merubah nama-nama planet yang terpaten, tapi juga menemukan planet baru bersertifikat dunia atas nama saya.
*Sepertiga malam, di ruang sunyi, ditemani 2 stimulan; segelas kafein dan pesan pendek dari yang tersayang (Sg2011)