2.17.2011

Meminta izin untuk kali ini.

Kenapa ya, hari ini hati saya meminta izin untuk merasa kurang beruntung
Tapi kurang beruntung untuk apa?
Untuk alasan apa dan yang mana?
Apa karena pagi tadi ada kutukan mampir, yang membuat saya susah membuka kelopak mata?
Lalu terperanjat dan mengeluh karena pejam yang terlalu lelap dan nyaman?
Benarkah itu kurang beruntung?

Atau ketika mendapati sahabat-sahabat terbaik saya mengirimi pesan menyenangkan di layar genggam, untuk menyapa hari baru saya, seperti biasa?
Benarkah itu namanya kurang beruntung?

Atau juga ketika ayah saya mengingatkan untuk pulang sore ini, yang berarti malam ini kami akan semeja makan lagi dengan menu favorit masakan ibu?
Benarkah itu namanya kurang beruntung?

Mungkinkah juga karena bumantara lagi-lagi menghadiahkan rintik yang saya suka, di hari Jumat yang diberkahi,
dan membuat saya betah menikmati bau udara dan tanah yang selalu saya tunggu?
Benarkah itu kurang beruntung?

Lalu, kenapa hari ini begitu tersiksanya saya dengan rasa ketidakberuntungan itu?

Oh, ternyata, sebabnya hanya satu,
Inbox yang menyimpan satu pesan kurang menyenangkan dan harapan yang terlalu dalam, tapi tak tersampaikan.
Seperti satu titik nila rusak susu sebelanga.
Harusnya saya merasa beruntung dan bersyukur.
Saya mendapat lebih banyak keberuntungan dibanding satu ketidakberuntungan, dan harusnya saya...........
Tapi baiklah, untuk kali ini biarkan saja merasa kurang beruntung.
Bukankah dari rasa sakit maka jiwa akan bangkit?
Hmm... (tersenyum)



21 Januari 2011 jam 11:55

Begini, namanya bosan.

Dari rasa bosan, aku menemukan dan melakukan banyak hal.
Mulai (lagi) menyapa orang-orang yang telah lama (lupa) disapa
Mulai mengingat hal-hal kecil yang kemarin terabaikan
Menikmati bunyi detik yang sering diremehkan
Mengobservasi orang-orang yang melintas direkaman retina
Merenungkan apa yang telah dan akan aku lakukan untuk udara lama di hari baru nanti
Menyesap aroma kayu yang terbawa gelombang airconditioner dari sisi sana
Memikirkan permainan selanjutnya, menentukan kali ini siapa saja pemainnya
Merasakan dengan dalam rasa kehilangan yang membabibuta
Menertawakan segala kesialan dan nasib buruk yang menimpa
Mengirim pesan 'maaf, kali ini tidak bisa ikut tahun baruan bersama.' untuk ayah, trimasketir, dan teman-teman dekat lainnya yang selalu tidak melupa untukku
Mencoba berbagai gerak senyuman dan berpantomim dalam remang
Lalu mata ini ingin terpejam beberapa detik, meminta kesempatan
Semua yang ada berseliweran, menggambar sketsa lagi dengan liar
Tegukan stimulan, semilir plinplan antara angin dan airconditioner,
rasa sedih dan patah,
rasa antusias dan bungah,
rasa rindu dan menunggu,
ternikmati dalam secangkir kebosanan yang sengaja diciptakan.
Semua terangkum dalam satu kesimpulan dan ucapan,
rasa terima kasihku untuk sang Pembuat Agenda yang memberiku rasa bosan.
Kusesap yang ternikmati dalam rentang jeda yang panjang.


Galeri Nasional, 31 Desember 2010 jam 13:43

Upacara nanti.

Di altar anda nanti, barisan paling depan,

akan ada saya yang tengah tersenyum

berdiri di atas gores dan karat yang kian coklat

Berdiri gamang dan limbung

Seperti ibu tiri pada putri Salju

Mencelos berulangkali, betapa beruntungnya, betapa beruntungnya

Andai saja, andai saja

Semakin banyak kata tanya mengapa dan kenapa

Setelah upacaranya, kemudian berlari dan memecah cawan

Tak ada acara untuk bersulang selain boneka jerami yang tertancap paku

Di buket bunga serta kartu ucapan selamat

Perjamuan tiga orang dan beberapa lalu berlanjut, dengan tarian penutup di atas bangkai-bangkai

Palang lonceng rapuh dan terjatuh

Semua yang ingin mati maupun yang tidak, menjadi segaris di akhir pengharapan

Tidak untuk satu dari tiga, atau dua dari semua

Darah mengalir bersatu kemudian membasah, buket bunga menjadi segar dan harum

Disemat kartu berujung lancip bertulis,

"selamat, semoga berbahagia"


27 Desember 2010 jam 4:26

Ah, selamat pagi.

Dan hari pun dengan lancang berganti
membuat aku jadi berpikir tak mengerti, apakah yang kemarin?
Mimpi yang gontai dan lesu
dibuatnya setengah lelah, dalam mati yang pendek, hanya 2jam
mimpi picisan, dan pagi pun merutuk
garis hitam dibawah mata kian kelam dan melekuk
cermin cemberut;
sial, kau buat refleksiku di puncak kesempurnaan sebuah kegagalan
buruk rupa dan merusak mata
garis getir di bibir, dan pantulan retina yang terlalu 'macam-macam'
begitu katanya
ah persetan
terlalu banyak yang lancang dari sekedar membuka hari dengan sekedar mematut si burukrupa
seperti pemabuk yang mencoba mengingat kejadian semalam
inginnya melempar kucing dengan kaleng
biar bisingnya jadi dua kali
pagi ini biar kubuat kusut
aku benci langkah jumawa manusia pagi yang ku lihat dari jendela kamar
benci mereka yang antusias melihat matahari
benci bumbu-bumbu yang baunya mulai menguar dari dapur
aku benci karena telah merasa bermimpi
dan aku benci karena sekarang telah pagi
dan pecundang pun merapatkan tirainya
tanpa ampun mengusir celah
dengan pongah kembali rebah
melempar kotak kecil elektronik yang layarnya menyampaikan senyum dari sebrang,
'met pagi!'
cih selamat pagi, ini edisi spesial untukku
melanjutkan marah pada mimpi, lagi
selamat pagi matahari, kita bertemu siang nanti.


13 Desember 2010 jam 6:27

Sketsa ruang yang ku cipta.

Ruang dimana dia yang kuinginkan, akan kubuat luas

pijakan yang seolah nyata walau mungkin tanpa gravitasi

merenda maksud tak tertangkap

dengan jaring sobek yang tangkainya tak tergenggam

tapi keinginanku tak lagi abstrak, kini mulai teraba

menjadi sesuatu yang mungkin bagai naskah absolut

akan dipakai untuk dimainkan, pasti walau itu nanti

tinggal ku berlobi dengan jarum jam

agar ada atmosfer yang membuatnya dapat menjadi cepat

tak lagi dengan satuan detik, tak lagi kasat

nanti pasti akan ada euforia dimana aku merasa segalanya positif

dan mengakui bahwa keinginanku tak lagi terlalu berani dan bermimpi

tanpa jeda, merangkai lagi cerita

dia yang kuiginkan memang terlalu jauh

makanya hanya ruangnya saja yang berani kusketsa

mewarnai harap dengan pensil hitam yang paling tajam ujungnya

mungkin dia akan mampir dan berselonjor, bersama

mungkin nanti di bangku yang sama,

tak lagi dia di atas dan aku di lantai

makanya, tak mungkin aku berhenti keras kepala

wujud sketsa yang selalu tersampir doa

nanti bukan sekedar goresan asal dan kasar lagi

didalamnya banyak pengaminan untuk semua semoga.



05 Desember 2010 jam 3:17

Siapa tahu.

Meditasi ini, bicara tentang hasrat dan kebusukan

Menguar, seperti formula yang tertumpah dari flacon

busuk dan menyengat, bak keringat para kuli pelabuhan

karena skala persentasi formula itu runtuh, makanya jadi begitu

ini memang eksekusi sebelum vonis

pelebaya yang pasrah pada sang antagonis

persis seperti konduktor orkestra berusia senja

padahal sumbang, tapi tanpa indra

sadar, tapi alzheimer, lupa ketukannya bahkan kertas not-nya

idiot yang (mungkin) tak (mau) menyadari kekacauan

penggesek biola tak mau kalah suara dengan si pemetik harpa

kacau, busuk, sampah

dan si konduktor senja hanya bisa tertawa,

"memangnya aku sedang apa?"

bagus.

bagusnya dilempar batu.

bagusnya diseret.

bagusnya digantung.

atau langsung dijagal.

siapa tahu, dia sadar setelah itu.

ya kan?

ya, siapa tahu.



02 Desember 2010 jam 23:21

Mannequin, mannequin.

(I'm not u'r mannequin

I'm not u'r imagination

It's my beautifful world, my Y and my new line.

It's mine, dear..)

Puji-pujian

di alamat yang salah

salah rumah, salah pintu

salah ketuk, salah salam

salah datang.

Seolah saya muncul tanpa cacat, seolah saya bersayap.

Anda salah,

Anda munafik, sahabat.

Tidak untuk lagu itu lagi.

Semua salah, saya salah, anda salah.

Jangan berlagak, sahabat.

Usaikan kunci E-nya.

Awal interval sudah keliru.

Tutup bukumu, semua usai, tak ada lagi tentang 'saya, anda dan anda'.



25 November 2010 jam 15:42