3.15.2012

Runaway.



Like you to stay
Want you to be my prize

***

3.07.2012

em.

Aku pun belum berani,
untuk berniat memiliki lagi,,
bukankah,
sesuatu yang berharga dan langka selalu lebih indah untuk tidak dimiliki?
Agar tak ada rasa takut kehilangan,
sehingga malah memasukkannya ke kotak kaca,
dan membuatnya layu,
tidak, aku tak berani,
bahkan untuk sekedar bermimpi,
akan kupandangi saja,
kukagumi,
dan kucintai tanpa kusentuh,
hanya menatapnya kadang-kadang,
lalu kemudian merindukan diam-diam,
akan indah,
walau tak menggapai,
itu adalah langkah,
untuk mengingatkanku,
tentang artinya rasa, seperti dulu,
yang berharga memang tak harus dimiliki,
jangan lagi layu,
jangan lagi karenaku...

Selalu.

Aku menyampaikannya,
pada setiap angin yang berhembus,
dari selatan ke utara...

dan kadang hujan berkhianat,
pada awan yang menjadikannya,
lupa pada desahan amanat,
dan terbawa sampai pulang ke laut...

biarpun,
selalu terpaku pada pandangan pertama,
diujung gigir sana,
tetap membeku sampai membatu,
membuat biru menjadi abu...

aku rindu,
aku membiru,
aku meragu,
hampir terbujur...

dari mata sayumu, kutukar banyak,
dengan senyum dan sedih,
lalu menggambar dipasir,
menghapusnya,
menggambarnya,
menghapusnya,
menggambarnya,
dan giliran ombak yang menghapusnya...

Kekasih,
biar kau rindukan tugu itu tetap berdiri seperti dulu,
tidak,
semua adalah lintasan masa yang sengaja ditukar,
dengan air dari mata,
dengan perih dari hati,
dan membuatnya jadi lenyap dengan buih

dari alis tebalmu,
tempatku mengusap dan mengecup,
banyak yang kuukir di perjalanan,
dengan lengan kurusmu, kau bantu cukilanku,
merengkuh,
membuat candu untukku

tahukah,
keajaiban adalah ketika mata bertemu dan aku tertawan,
lalu kucuri start dan arus kulawan,
mengenggam gelangmu, menggoreskan eyelinermu,
tak pernah bergeser hingga sekarang
dari setiap asap yang kau hembus,
rela kutukar dengan nitrogen yang kugadai

selamat meminta maaf,
bukan di altar meminta ampun,
bukan di tiang harapan digantung,
aku selalu percaya hati yang memilih dimilikimu

aku selalu percaya hatimu,
aku selalu mencintaimu,
aku selalu merindukanmu,
aku selalu memilihmu,
aku selalu, aku selalu, aku selalu,

aku selalu tersiksa karena semua itu kurasa.



***





Untuk, selamat dimintai maaf.

2.20.2012

Merindu

Semalaman merindu, sauh yang terlepas belum juga menampakkan jarak

Sedang apa disana? Pasti kau pun sangat merindu

Masih ingat dengan permainan pareidolia kita?

Tentang kelinci-kelinci bulan?

Sejenak aku menangkap tanyamu, sedikit getir,

'mengapa kita terjauhkan dari dermaga?'

Mungkin ya, dermaga kita berbeda

Disini dermaga kita, jauh dari rimbun hutan dan pasir putih yang berkilau

Tapi dermaga kita selalu bermandi cahaya

Walau cahaya ungu bernada sendu, tapi itu bukan dari Hungaria

Itu cahayamu, cahaya yang kau suka


Semalaman merindu, merindu semua jejak yang kau buat

Segera kembali dan tantang lagi dengan berani,

tentu saja, karena kita tidak menghamba pada yang tak ramah

kita bukan orang-orang kalah


Semalaman merindu, maka kuputuskan berbincang dengan Neruda

Ia menyisipi kertas usang dan segenggam makna,

kuputuskan,

ini untukmu..

Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman,
berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!
Kereta kini melaju menembus hujan tanpa diriku.
Di Taltal musim semi belum kunjung tiba.

Tapi aku dan engkau, kasihku, kita bersama-sama,
bersama dari pakaian hingga tulang,
bersama di musim gugur, di air kita, di pinggul,
hingga akhirnya hanya engkau, hanya daku, kita berdua.

Bayangkan betapa semua bebatuan itu diangkut sungai,
mengalir dari mulut sungai Boroa;
bayangkan, betapa bebatuan itu dipisahkan oleh kereta dan bangsa

Kita harus saling mencinta,
sementara yang lainnya semua kacau, laki-laki maupun perempuan,
dan bumi yang menghidupkan bunya anyelir.

(Soneta, Pablo Neruda)


Selatan Jakarta, 21/02/2012

2.07.2012

Melancho(holic)


Murung itu sungguh indah, melambatkan butir darah...


Lalu, melancholia datang tanpa permisi, ga pake ngetuk, apalagi basa-basi..

Daripada nelangsa, kulangkahkan kaki kepersinggahan favoritku

Suasananya remang tapi bukan warung remak-remang

Banyak orang terkotak-kotak disana,

Mereka menggodaku, semua dan serempak

Keyes, King, Christhie, Sheldon, Albert, Pram, Stephany, Dee, Rusli, Muis dan lainnya mengerubungiku

Minta digoda dan dijamah

Bahkan mungkin juga minta diperkosa

Maaf, aku hanya bisa memerkosa kalian satu dulu, atau mungkin beberapa

Itu pun kalau aku kuat

"ah, tapi kamu selalu kuat."

Kata C.S Lewis, si Anglo-Irlandia

Maaf Lewis, malam ini aku tak tertarik denganmu.

Aku meraih Claudia, tapi tiba-tiba Calon Arang berteriak dari ujung sana,

"Binal!!! Aku hanya kau lirik, dasar nista!!"

Ah, si dukun itu, nantilah, kau sudah berkali-kali kubaca

Aku tetap meraih Claudia, si pasien rumah sakit jiwa yang cerdasnya tiada tara

Lalu, disana kami bercerita sambil sesekali saling mengelus punggung tangan

Aku biasa saja,

Claudia tidak biasa.

Respon tubuhnya terasa sedikit bergetar.

"Claudia, santai, aku hanya ingin kita berbagi murung."

Claudia tersenyum miring dan meredam hasratnya yang belok.


"Kalau kau murung, apa yang kau perbuat?"

Claudia memperlihatkan pergelangan tangannya, "self injury. Asik, nikmat."

Ada berpuluh goresan panjang mengerikan berwarna merah muda disana.

Aku menatapnya sok wajar, padahal dari ujung rambut sampai ujung vagina, sangatlah terasa ngilu.

"Kamu?"

Aku mengangkat bahu, "banyak. Bisa menyendiri, bisa menulis, bisa mencipta lirik lagu, bisa membenamkan kepala lama-lama di dalam bak, bisa konsentrasi membuat kentutku bersuara lebih baik.."

Claudia memutar bola matanya, "membosankan."

"Kalau kau senang, apa yang kau ekspresikan?"

Claudia bertanya tentang 'senang'.

Tahukah, yang biasa dipertanyakan seseorang adalah yang jarang mereka rasakan.

"Wajahku jadi mirip si Margareth."

Margareth si periang yang berseri.

"Hanya itu saja?"

Cemooh, sarkas, tapi penasaran.

Aku menatapnya prihatin, "Buatlah jadi merasakan."


Aku terdiam, kami terdiam.

Strawberry smootiesh tidak ikut diam, ia berteriak minta dicicip.


Inilah yang namanya menikmati murung, bagaimanapun caranya.

Malam ini hanya aku dan Claudia.



Nikmatilah saja kegundahan ini

Segala denyutnya yang merobek sepi

Kelesuan ini jangan lekas pergi

Aku menyelami sampai lelah hati


(Melancholia, Efek Rumah Kaca)




1.30.2012

Di ZOE kita menatap mangkuk.

Seorang pak tua jenius mengajak kami di gigir senja
"Ayo bertemu di semangkuk zuppa soup!"

Kali ini, di semangkuk Zuppa Soup
Biasanya kami bertemu di gumpalan putih pada layar dua dimensi
Menghabiskan tawa untuk mencibir apa yang ada
Menonton manusia yang petentengan dengan isi otak yang sarat isi

"Banyak orang pintar tak beretika.
Malah meresahkan.
Wah, mending jadi orang bodoh dong?
Ya ngga gitu juga kali!
Hahaha o'on dipiara... kambing noh piara! Dasar kesrek.
Hihihi, liat tuh, wignya aduhai banget!
Noh noh liat, tampangnya kaya tukang begal
Gila ya, sekarang tuh masyarakat menciptakan hegemoni baru, dengan norma yang mereka buat sendiri
Random walk... maksudnya om?
biasakan menonton manusia yang tidak manusia...
hadeuh...
Zuppa soupnya gimana menurut lo?
Hmm, yang di pizza hut gurih banget om, enakan ini.
Zuppa soup darimana sih asalnya?
Dari........"

Lagi dan lagi, sebuah peta terbentang tidak harus di atas meja
Tidak harus dengan tatap mata yang serius
Atau airmuka yang jenius
Atau dengan proposal pelempar isu

Yang kali ini semangkuk zuppa soup
Cekungan dialog dan monolog yang selalu teraduk
Bertukaran saling silang,
tanpa tensi siapa yang lebih dan siapa yang kurang.

Semua adalah yang diperkenalkan oleh pak tua yang menyebalkan,
dan segala pemikiran jeniusnya yang menyenangkan.





***








Suatu sore di ZOE 30 Januari 2012 , 6 mata menatap semangkuk ide dan zuppa sup.
JJ, SG, UMT.

Cerita tentang 31 Januari


Suatu hari, seorang pesakitan melarikan diri dari penjara. Ia berbelok ke hutan namun tak ke pantai, karna ia bukan Cinta di AADC. Pakaiannya compang camping, dan tiba-tiba ia menemukan sebuah gubuk berpenghuni didalam hutan angker. Ia mengetuk pintu itu, si pemilik rumah hanya mengintip dari lubang intip di pintunya.
"Mau apa?"
"Aku pesakitan, melarikan diri karena tertekan. Tolong selamatkan aku."
"Selamatkan? Dengan resiko besar? Kau kira gratis?"
"Akan kubayar dengan apa saja."
"HARUS kau bayar dengan semua yang kau punya. Tapi jaminannya apa? Kau penjahat!"
"Aku bukan penjahat lagi, sumpah mati aku telah menyesal seumur hidupku atas semua kejahatan yang telah aku lakukan."
Si pemilik rumah membuka pintunya sedikit, namun tetap berantipati. Tak mungkin baginya mempercayai orang begitu saja.
"Apa jaminannya atas semua omonganmu?"
"Pegang semua omonganku, jika ada yang terlanggar, maka kau boleh membunuhku."
Si pemilik rumah berdehem memikirkan tawaran barusan. Baginya itu sangat menggiurkan.
"Baiklah, aku akan menolongmu. Tapi kau belum tahu siapa aku."
"Aku tahu, kau adalah penyelamatku."

Akhirnya si pemilik rumah membukakan pintu selebar mungkin, mempersilahkan si pesakitan untuk masuk ke rumahnya. Dengan telaten si pemilik rumah merawat semua derita si pesakitan sampai ia merasa sembuh benar. Pesakitan merasa berhutang nyawa dan janji, ia menggenapi semua omongannya tanpa ada yang terlanggar. Sayangnya, si pemilik rumah tetap seorang antagonis yang rakus. Tak puas baginya dengan hanya meminta si pesakitan menemani ia di gubuk itu. Ia ingin memilikinya, memiliki jiwanya kalau boleh. Obsesi yang kompulsif membuat matanya buta. Dari tangga atas ia ingin melompat lebih atas ke tangga yang paaaling atas. Pesakitan hanya bisa menggangguk karena selain rasa berhutangnya ia juga memiliki rasa sayang yang besar. Ia telah memiliki rasa kemanusiaan yang sempat hilang beberapa silam sebelum datangnya terang.

Si pemilik rumah bertransformasi menjadi antagonis yang buruk. Pesakitan kerap bilang, "baru kali ini ku temui manusia yang tidak dapat dijadikan teman atau musuh, tidak tertebak, dan sangat sempurna semua permainannya."
Pesakitan tahu, pemilik rumah yang kini ia sayangi adalah seorang lakon yang memiliki banyak topeng dan kemampuan memanipulasi panggung. Seberapa sakitnya ia disakiti pemilik rumah, ia tidak pernah melangkah pergi. Ia tetap menunggu pemilik rumah memakai topeng protagonisnya.

Suatu saat ketika bercengkrama sore dalam adukan kopi, pemilik rumah bertanya,
"Aku sudah sangat jahat. Kenapa kau tetap ingin berdiri dan berlari bersamaku?"
"Aku seperti bercermin denganmu, dulu aku adalah pesakitan yang sangat brengsek dan banyak melukai. Sekarang aku melihatnya pada dirimu, jika aku bisa berubah menjadi baik, kenapa kamu tidak?"
Pemilik rumah menatap dengan kelam manik mata si pesakitan. Beratus-ratus hari pesakitan telah menemaninya di gubuk itu, dengan segala penghormatan dan kenyamanan. Tak sekalipun janji dan omongannya terlanggar. Tapi ia sendiri? Melompat kesana kemari, berbuat sesuka hati, memasang tapal kuda di kaki si pesakitan agar mengetahui kemana ia pergi...
"Kadang berbicara denganmu lebih sulit daripada berbicara dengan Tuhan."
Kalimat yang membuat pemilik rumah memutuskan untuk mengosongkan semua ruang gelapnya. Memberinya lampu yang temaram agar ia bisa lebih meraba dalam remang.
Pemilik rumah memeluk pesakitan dengan erat, tertumpah semua rasa yang dipaksa terpendam dihatinya. Semua rasa kemanusiaan tentang kemanusiawian.
"Belum, mungkin belum sekarang. Tapi maukah kau menunggu?"
Pesakitan menggangguk dengan takzim membuncahkan semua rasa merah jambunya.
"Aku kan sudah janji, tetap berdiri dan menemanimu berlari..."

***



31 Januari 2012
Kado ulangtahun untuk yang tak pernah melanggar, dari yang mempunyai banyak topeng.
Love you so much, SG.