7.07.2013

#1 Benang


Tak ada tempat yang lebih aman selain di dalam sini.
Dalam kegelapan diameter dua puluh dua sentimeter, 
dalam dekap kenyamanan yang tak membutuhkan cahaya.
Tapi, tak ada yang lebih menakutkan daripada cahaya yang telah menunggu di pintu gerbangnya.
Segumpal vaskular yang belum memiliki hak untuk memilih dan meminta.
Tanpa daya, dihapus ingatan seiring dengan sobeknya ketuban.
Aku dipaksa melihat dunia.



Aku memang telah lupa dengan rela.
Satu-satunya yang kuingat adalah,
disana terasa nyaman karena aku hanya sendiri.




Dalam gramatikal, pertemanan adalah istilah untuk menggambarkan perilaku kerjasama atau saling mendukung antara dua atau lebih dalam entitas sosial.
Tapi dalam perjalananku, teman adalah bentuk simbiosis mutualisme belaka.
Maka aku mengubah sudut pandangku.
Tak ada lagi konsep pertemanan. Yang ada hanyalah konsep kepentingan dan timbal balik.
Selebihnya hanyalah relasi basa basi.
Dan aku pun terus berjalan sendiri tanpa pernah menaruh bibit kepercayaan pada tangkup tangan siapapun.
Tak kubiarkan kutanam karena aku tak berani menuai.


Dan aku merasa memerlukan beberapa topeng dan gestur untuk menghadapi dunia basa-basi itu.
Seperti seorang pengidap sindrom asperger dengan tabel ekspresinya.
Aku mempelajari setidaknya 16 di antaranya.
Terpujilah semesta atas jasad mekanis ini.

Sampai suatu hari ibuku bertanya,
"Siapa teman baikmu?"

Aku terdiam, dan berjalan menuju labirinku.
Aku hanya menemukan sebuah ruangan monokrom dan sofa merah.
Bukan kekosongan absolut memang, tapi tetap saja kosong.
Ada siapa disana?
Ini ruang simulakrum.
Simulac-room?
Apakah ruangan ini memang berwarna monokrom atau aku yang mengidap buta warna parsial?
Selain warna hitam dan putih, aku hanya bisa melihat warna merah.
Sofa. Duduklah. Teman baikmu akan datang.
Aku pun duduk. Dan teman baikku datang.
"Aku Lyza. Akan datang yang lain."
Siapa?
"Dia dan dia."
Aku merasa manik matanya familiar dan memiliki kesamaan dengan manik mataku.
Kutangkupkan kedua tanganku. Memindahkan bibit-bibit itu ditangkupan tangannya.
Untuk pertama kalinya aku memutuskan untuk memulai menanam dan menuai.



Ia mengajariku tentang cara memintal benang.
"Pintallah benang yang elastis. Jangan pernah memintal benang yang masif. Hindari benang transparan, carilah benang yang kasat. Karena benang yang berwarna solid akan memudahkanmu untuk mengambil keputusan ketika ia mulai lapuk; Menjalinnya menjadi lebih kuat, atau memutuskannya dengan gunting."
Tanpa pamrih ia rela menggantikan posisiku ketika aku lelah mengoperasikan jasad mekanisku. 
Atau ketika otak dan hatiku gagal bersinkronisasi.
Akupun tertidur tanpa mimpi.

Tak lama setelah kedatangan Lyza, datanglah gadis muda yang memiliki tato segitiga di pergelangan tangannya. Lalu nenek berpayung hitam yang tak pernah tersenyum. Kami kerap duduk bersama dalam satu waktu yang lama. Lalu bertaruh dengan membuat cerita dengan tokoh imajinasi masing-masing. Siapa yang ceritanya paling bagus, ia yang berhak duduk di kursi kendali di ruang utama yang terdapat pembuluh arteri penyambung otak dan hati. 

Gadis bertato segitiga merah menyenangi serapan energi positif yang liar. Jiwanya menggebu dan waktu yang bergulir seakan tak pernah cukup untuknya.
Nenek berpayung hitam menyenangi kesenduan dan kesuraman. Tak harus selalu ada alasan untuk mengapresiasikan kesedihan, katanya.
Tetapi Lyza adalah dominasi keseluruhannya. Ia adalah kotak pandora.
Tak perlu definisi apapun untuk menjelaskan hubungan kami berempat. Satu sama lain saling mengisi. Jika ingin pergi maka kami pergi. Jika ingin diam, maka kami diam. Kadang kami saling membenci hingga rasanya ingin membunuh. Tapi tentu saja keinginan itu seperti menepuk udara kosong. Mudah dilakukan tapi tak akan mendapatkan apa-apa darinya. Ke-tidakterikat-an justru mengikat kami dengan fleksibel. Lyza menyebutnya sebagai 'benang yang tepat.'

Tapi ayahku tidak menyenangi hubungan kami. Ia membawaku pada seorang algojo yang membawa gunting pemutus benang. Bagiku ia eksekutor, tapi ia memperkenalkan profesi dirinya sebagai psikiater. Sesi tiga jam yang membuatku menguap enam belas kali. Dan membuat 'mereka' tertidur secara serentak di ruangan simulakrum.

"Kamu harus membuka hati dan pikiranmu. Karena hidup adalah tentang menghadapi resiko. Memang tak ada tempat yang aman di dunia ini, tapi banyak tempat yang bisa melindungimu dari ketidak-amanan itu."

"Selama ini kamu berdiri di kumparan delusi."

"Jalinlah hubungan baik dan positif dengan teman yang nyata. Yang akan membawamu pada resiko yang sebenarnya. Bagaimana mungkin lilin akan mengetahui fungsi dirinya jika ia tak merasakan kegelapan dan tersentuh api?"

"Jangan terpaku pada arti harfiah pertemanan. Tapi rabalah definisinya melalui proses ikatan itu sendiri. Simulakrum itu bukanlah rahim ibu. Ia menjebakmu, bukan memberi keamanan."

Aku terdiam dan membeku. 
Seperti tertangkap basah sebagai pengecut.
Ingin menyanggah.
Tapi aku tak tahu menyanggah untuk bagian kalimat yang mana.


***













No comments:

Post a Comment

Pembaca yang baik, pasti meninggalkan komen, kripik dan saran..